Aku segera ambil wudhu dan duduk membaca
wirid, yang kubaca surah waqi’ah 15 kali, untung aku telah hafal di luar
kepala, jadi setengah jam pun selesai, dengan kesungguhan aku berdoa.
Lalu keluar, pas nyampai di tempat majang lukisan, sebuah mobil kijang
warna biru gelap berhenti. Seorang pemuda turun dari mobil menghampiri.
“mas lukisannya harganya berapaan?” tanyanya.
“duaratus ribu mas.” jawabku.
“udah borong aja semua.” suara lelaki dari dalam mobil.
“udah mas, saya borong semua, tolong di
angkut ke dalam mobil.” kata pemuda itu, yang mengejutkanku, apalagi
Renges, dia dalam keadaan jongkok, kulihat matanya melotot, atau kayak
orang mau boker.
“udah nges, ayo di angkut ke dalam mobil,
tunggu apa lagi.” kataku mengejutkannya. Kami segera mengangkut lukisan
ke dalam mobil, dan di dalam mobil ada lelaki dan perempuan setengah
baya, sebentar kami ngobrol dan aku di beri kartu nama, lelaki paruh
baya itu bernama bapak Suwandi, pengusaha mebel dari Jepara.
Ah yang penting lukisanku telah laku,
setelah sholat magrib kamipun pulang ke kontrakan, tak lupa makan dulu
di warung padang, pesen rendang kesukaanku, renges sampai habis tiga
piring. Dan kami melenggang pulang dengan kelegaan di hati, uang ada,
rokok di tangan. Ah mau apa lagi, yah kami butuh istirahat, atas penat
beban pikiran karena harapan yang di paksakan.
“sekarang menurutmu Alloh ada di Jakarta tidak nges?” tanyaku pada renges. Ketika kami ada di dalam angkot.
“iya, iya ada…” jawabnya sambil ketawa, yang tak ada manisnya sama sekali.
“Alloh itu ada, dan selalu ada, tak
pernah melupakan kita, kita aja yang melupakan dia, kuasanya bisa
menggerakkan hati siapa aja, buktinya pada hati orang Jepara tadi.”
kataku setengah berfilsafat.
“iya, iya… Kamu memang anak pesantren,
jadi lebih ngerti, tapi aku lelah banget nih, kotbahnya nanti aja lah,
sekarang aku yakin aja, nebeng di keyakinanmu, wong juga sudah ngelihat
buktinya.” katanya sambil nyedot rokok djisamsoe.
Setelah hari itu, aku pun dapat job
lukisan, juga kaligrafi kaca. Sehingga kami tak perlu untuk pergi
menyusuri lorong, melewati jalan-jalan, menawarkan pada setiap orang
yang kami temui. Karena orang yang akan memesan lukisan sudah datang
sendiri ke kontrakan di Cipinang muara. Jadi aku tinggal beli material,
dan mengerjakan pesanan, tapi aku ingat tujuanku sebelumnya. Maka
setelah ku rasa cukup, aku pun kembali ke pesantren dengan uang lumayan.
Pagi itu aku menghadap kyai, setelah
sebulan di pesantren aku ingin pulang sekaligus ngamalkan ‘ngedan’ dari
rumah, karena kepasrahanku pada ALLOH, masih butuh penggemblengan,
mengingat masih ada keraguan atas berserahku pada Alloh, kelabilan
jiwaku, atas tawakal. Yang belum sebenar-benarnya, dan kyaipun
mengijinkan.
Tanpa menunggu lama aku pun berangkat
pulang, dengan naik bus jurusan Kalideres, lalu ganti metro mini ke
Pulogadung, baru naik bus ke Tuban, daerahku. Sampai di rumah aku di
sambut pelukan ibuku, di tanya ini itu, dan di ceritai tentang
pacar-pacarku dulu yang datang ke rumah, minta ijin menikah, aneh-aneh
aja. Juga lek Mukhsin yang saban hari datang minta di tulari ilmu, kang
Murikan, juga teman-temanku silih berganti datang, juga orang-orang yang
datang minta di obati. Baru seminggu di rumah, aku pamitan pada kedua
orang tuaku, pergi dengan alasan menjual kaligrafi. Untung di rumah ada
kaligrafi banyak. Dan saat itu yang ku ajak temanku Majid, karena
kaligrafi yang banyak Kami pun berangkat, pas kebetulan habis hari raya,
jadi dalam bulan syawal, yang ku tuju adalah Rembang, di taman kartini,
walau aku tak ngomong jujur pada Majid kalau aku akan ngejalani ngedan.
Sampai di taman kartini, kami segera
memajang lukisan. Dan kaligrafi. Sehari semalam kami tungguin, tak juga
ada yang membeli. Nawar juga cuma satu orang. Ah apakah karena niatku
ngedan tak murni, ku tunggangi dengan niat yang lain? Entahlah. Malamnya
kami tidur di masjid Rembang, sebelah alun-alun. Dan paginya Majid ku
ajak menawarkan lukisan dari pintu ke pintu, tapi tak juga ada yang
beli. Ah sial amat, sampai siang itu aku dan Majid nyampai di desa
Peterongan. Seperti biasa aku menawarkan lukisan dari pintu ke pintu.
“feb…febri…febrian….!” ada 3 cewek cantik
berlari-lari dari rumah memanggil namaku, aku dan Majid yang tengah
berjalan pun berhenti. Aku dan Majid berdiri mematung, heran! Kenapa ada
cewek cantik-cantik siang-siang kerasukan, sampai mengenalku, ah
bener-bener aneh.
“iya bener febri,” kata cewek satu, tinggi, langsing berkulit sawo mateng, berhidung kyak orang luar, berbibir tipis, setelah kutau namanya Tia, kepada cewek jangkung, berkulit putih pucat, kayak orang cina, bermata sipit, apalagi kalau ketawa matanya makin hilang, namanya Karti, dan yang larinya paling belakang, adiknya Tia, baru SMP kelas tiga, namanya Lola, orangnya imut.
“iya bener febri,” kata cewek satu, tinggi, langsing berkulit sawo mateng, berhidung kyak orang luar, berbibir tipis, setelah kutau namanya Tia, kepada cewek jangkung, berkulit putih pucat, kayak orang cina, bermata sipit, apalagi kalau ketawa matanya makin hilang, namanya Karti, dan yang larinya paling belakang, adiknya Tia, baru SMP kelas tiga, namanya Lola, orangnya imut.
“heeh, gak salah, febri.” kata karti.
“buktinya juga, kita panggil langsung berhenti, berarti iya.” tambahnya.
“benerkan kamu febri..?” kata Tia ketika telah nyampai di depanku.
“bener namaku febri, tapi mungkin bukan
orang yang kalian maksud.” jawabku, takut ada kesalahfahaman. Sementara
Majid malah bengong terlongong-longong di dekatku, kayak orang kesambet.
“ah tak mungkin salah, wong kami ini udah
kompak, mengidolakanmu sejak dulu…” kata Karti ngotot. Oo, rupanya
idolaku. Ah ada lagi.
“wah bener-bener, kalian salah orang…” kataku mencoba menghindar,
“bener, kami tak salah, dagunya, hidungnya, mulutnya, rambut panjangnya, wah tak salah..” kata Tia menelitiku satu-satu.
“udah kita bawa kerumah aja, pasti
cocok.” kata Karti yang segera memegang pergelangan tanganku dan
menariknya. Terpaksa aku ngikut aja. Sampai di rumah Tia aku di dudukkan
dan di tunjukkan berbagai majalah yang ada tulisan plus fotoku, terang
aja aku tak bisa menghindar, kecuali menjawab “iya” kontan ketiga cewek
berebutan memelukku, menciumku, mencubil pipiku, aku di serang mendadak,
tentu saja tak bisa menghindar, Astagfirulloh, moga-moga tak di catat
termasuk dosaku. Ya kalau di anggap dosa, di ampunkan oleh Alloh.
“ih febri, kami gemes..!” kata tia mencubitku,
“udah-udah,” kataku kikuk. Emang repot jadi terkenal.
“mas febri, sekarang lagi apa nyampek sini?” tanya karti.
“wah pasti lagi cari bahan untuk bikin cerita terbaru, iya kan?” kata Tia mengerling.
“nah masukin dong kita pada cerita terbarunya.”
“tau aja kalian.” jawabku singkat, agar
tak berbantahan, dan untuk Tia, karti, dan lola, ini kalian udah ku bawa
dalam cerita. Berarti aku udah tak punya hutang harapan pada kalian.
Kami berdua di jamu bak tamu kebesaran, bahkan makan mereka bertiga menyuapiku, huedan, bener-bener, padahal aku penulis kacangan, penulis angin-anginan, penulis kambuhan, lalu apa yang terjadi andai aku sekaliber, Habiburrohman Assayrozi, atau misal saja aku artis terkenal. Sore itu, kami jalan-jalan ke taman kartini lagi, kulihat betapa bangganya mereka berjalan di sampingku, seakan berjalan dengan orang yang benar-benar terkenal, ah biarlah mereka menikmati daya hayal mereka. Aku tenang saja. Sementara Majid mengikuti dari belakang, kayak nunggu uang jatuh.
Kami berdua di jamu bak tamu kebesaran, bahkan makan mereka bertiga menyuapiku, huedan, bener-bener, padahal aku penulis kacangan, penulis angin-anginan, penulis kambuhan, lalu apa yang terjadi andai aku sekaliber, Habiburrohman Assayrozi, atau misal saja aku artis terkenal. Sore itu, kami jalan-jalan ke taman kartini lagi, kulihat betapa bangganya mereka berjalan di sampingku, seakan berjalan dengan orang yang benar-benar terkenal, ah biarlah mereka menikmati daya hayal mereka. Aku tenang saja. Sementara Majid mengikuti dari belakang, kayak nunggu uang jatuh.
Aku di minta menginap, tapi aku tak mau,
bisa berbahaya, maka kami berdua pamit, dan tak lupa menghadiahkan semua
lukisan. Aku dan majid pulang. Dengan kegagalan total. Sekarang aku
memutuskan pergi sendiri, mungkin ini lebih baik, maka aku pamitan pada
orang tuaku, ku bilang mau main ke rumah teman, pagi itu aku berangkat
ke Bojonegoro, kemudian naik kereta api KRD jurusan Jakarta, aku
memutuskan turun di daerah yang tak ku kenal, agar perjalananku tak
tergantung pada siapa-siapa, uang di sakuku ku berikan pada pengemis
semua, aku ingin kepasrahanku total pada Alloh. Ku pilih turun di
kradenan Purwodadi. Daerah pedalaman.
Aku mulai melangkahkan kaki tak tentu
arah, tanpa bekal apapun, hanya kepasrahan, kepasrahan yang ku usahakan
setotal mungkin, ya Alloh inilah aku, aku yang masih tertempeli keakuan
yang menumpuk, aku yang berserah padamu lengkap dengan dosa-dosaku masa
lalu, bila kau tolak aku, aku sendirian, apapun tanggapanmu, apapun
kehendakmu, aku adalah orang yang berusaha berserah. Jerit hatiku, di
sela-sela kaki yang melangkah satu-satu. Aku terus berjalan, hanya
berhenti, kalau waktu sholat datang, mampir ke masjid, dan menjalankan
sholat, lalu berjalan lagi.
Malam telah tiba, aku yang tau jalan,
sama sekali tak takut tersesat, karena tak punya tujuan, jadi apa yang
harus di sesatkan. Aku tak punya arah, jadi tak takut kehilangan arah,
ku langkahkan saja kaki yang teramat lelah. Ketika waktu isyak aku coba
mencari masjid, ketika bertanya pada orang, malah tak di jawab, tapi di
tinggal pergi, tapi aku akhirnya menemukan mushola kecil, dan ada orang
berjamaah, aku segera ambil wudhu dan ikut berjamaah, perut yang
seharian ku isi air saja, terdengar berkrucukan saat aku sujud. Setelah
sholat, semua orang pergi, tinggal aku sendiri, mengenang satu-satu
perjalanan hidupku, sambil terus memutar tasbih, menuntaskan wiridku.
Dan tanpa sadar aku pun roboh tertidur, padahal nyamuk-nyamuk besar
mengeroyokku, tapi tak menggemingkan dalam tidurku.
Kira-kira jam 2 malam aku terbangun,
karena dingin yang menusuk tulang, tapi aku kaget, karena telah
berselimut, dan di sampingku ada obat nyamuk, pasti ada orang yang
menyelimutiku saat aku lelap, aku pun pergi ke tempat wudhu. Dan
menjalankan sholat malam, lalu wirid sampai tertidur lagi, waktu subuh
terbangun, saat adzan di kumandangkan, dan mengikuti sholat subuh, lalu
melakukan wirid biasa setelah subuh. Setelah wirid, matahari telah
meninggi, aku keluar dari mushola, di depan mushola ada gadis umur 17
tahun, tengah menyapu halaman.
“mas, itu ketela goreng dan kopinya di makan,” kata gadis manis itu, sambil menunjukkan ketela goreng, dan segelas kopi hangat.
“wah, makasih mbak, jadi ngrepotin aja.”
kataku berbasa basi. Ah tanggungan dari Alloh, gak boleh di tolak,
akupun lahap ketela, wah sayang tak ada rokok, yah kenapa, sejak kemaren
aku lupa ngumpulin uthis, untuk sekedar ngerokok, setelah makan akupun
pamitan melanjutkan perjalanan. Kembali aku melangkah dan melangkah,
cuma kali ini dengan harapan baru, harapan nemuin uthis, atau puntung
rokok, harapan baru ini cukup membuatku sibuk, apa sih berharganya
puntung rokok, cuma mungkin karena ada unsur kepentingan dunia, jadi
membuatku benar-benar sibuk. Yah aku kadang sibuk mengikuti seseorang
yang sedang merokok sambil berjalan. Terus ku kuntit kemanapun orang itu
pergi, ku ikuti masuk gang dan jalan-jalan kecil, sampai orang itu
membuang puntung rokoknya, yah kalau ternyata puntung yang di buang
kecil, kadang sampai habis, aku menyumpah “pelit amat, kenapa gak di
makan sekalian gabusnya di telan.” kataku jengkel. Dan kalau puntungnya
panjang, aku seperti menemukan bongkahan emas. Begitulah terus. Aku
betapa sibuknya, cuma karena puntung.
Tak terasa telah seharian aku berjalan, dan sampai di daerah pinggiran hutan, kubaca tulisan yang terpampang diregol desa, SELAMAT DATANG DI KEDUNG TUBAN.
Tak terasa telah seharian aku berjalan, dan sampai di daerah pinggiran hutan, kubaca tulisan yang terpampang diregol desa, SELAMAT DATANG DI KEDUNG TUBAN.
Segera kucari masjid, tak begitu susah,
karena adzan yang berkumandang, dan aku pun pergi ke masjid, mengikuti
sholat berjama’ah, mungkin nanti malam bermalam dimasjid ini, batinku,
selesai sholat aku pun duduk di emperan masjid, ku ambil satu puntung
rokok dan kunyalakan, dengan kenikmatan yang tersisa, inilah yang paling
nikmat, menikmati ketidak punyaanku, kemiskinan tiada tara. Kepapaan
tiada duanya. Tapi aku tak kawatir, dan tak takut, apapun yang
menimpaku, terburuk sekalipun, aku akan terima dengan kelapangan dada.
Aku tak takut karena kehilangan jabatan, karena aku tak punya kedudukan
apa-apa, cuma jadi hansip pun enggak, aku tak takut kehilangan harta
benda, karena uang cuilan satu rupiah pun tak punya, aku benar-benar tak
punya apa-apa yang harus di banggakan, lapar? Haus? Aku telah yakin
Alloh akan menanggungku, takut apa lagi?
Untuk menuju Alloh, ikuti sungai-sungai
dzikir, walau menabrak batu kebosanan, aliran itu adalah sabar. Lintasi
gersangnya padang puasa. Yang panasnya luruhkan hati yang melata.
Rumputnya kadang kita cintai. Karena tumbuh dari kesenangan hati. Basuh
jubahnya dengan istigfar. Kuatkan dengan sholawat. Lailahailallah,
terbawa ke satu muara, ketenangan jiwa yang merana, khauqolah, tak ada
yang mampu bergerak, dan tak ada yang dapat berhenti, keculi atas
idzin-Nya. Tak ada yang lebih menyenangkan dari pada tenggelam di
samudra makrifat. Bercumbu dengan kekasih yang telah lama di rindukan.
Ah kenapa aku malah menikmati puntung
rokok, ah syetan telah hampir menundukkanku, dengan barang yang
sebenarnya di buang oleh orang lain, yah puntung rokok, apa sih
berharganya puntung rokok? Aku segera membuang semua puntung rokok yang
seharian ini ku kumpulkan dengan kecintaan dunia, dan segera mengambil
air wudhu di samping masjid, kemudian duduk bersila memulai
wirid-wiridku, mungkin baru beberapa jam, kudengar suara ramai di depan
masjid, lelaki dan perempuan, lalu salah seorang menghampiriku.
“maaf mas, mas ini harus menghadap kepala desa.” kata seorang pemuda umur 17an.
“lho ada apa?” kataku heran.
“wah kampung kami, sedang rawan, banyak maling, kami takut nanti mas di sangka maling.”
“oo..begitu, ya udah mari menghadap.” kataku sambil beranjak berdiri. Kemudian di ikuti sekitar 15 pemuda pemudi, ku dengar bisik-bisik yang menganggapku gila, ya tak salah memang saat itu, aku sendiri tak tau persis keadaanku, sudah beberapa hari tak mandi, rambutku juga panjang terurai, tak pernah kucuci, kulitku pasti hitam berdebu, juga pakaianku yang pasti entah bagaimana kotornya, karena tidur di sembarang tempat. Di anggap gila? Itulah yang ku harap, atau mungkin aku lebih tepatnya ingin di anggap bukan dari bagian dunia.
“oo..begitu, ya udah mari menghadap.” kataku sambil beranjak berdiri. Kemudian di ikuti sekitar 15 pemuda pemudi, ku dengar bisik-bisik yang menganggapku gila, ya tak salah memang saat itu, aku sendiri tak tau persis keadaanku, sudah beberapa hari tak mandi, rambutku juga panjang terurai, tak pernah kucuci, kulitku pasti hitam berdebu, juga pakaianku yang pasti entah bagaimana kotornya, karena tidur di sembarang tempat. Di anggap gila? Itulah yang ku harap, atau mungkin aku lebih tepatnya ingin di anggap bukan dari bagian dunia.
Sampai di tempat kepala desa aku pun di
tanya ini, itu, di tanya KTP, di tanya langsung di cocokkan dengan KTP
ku, setelah itu aku di ajak nonton latihan silat Kera sakti. Aku santai
saja duduk di kursi, sampai seorang gadis umur 18 tahun menghampiriku,
“mas, ayo ke rumah makan dulu.” kata
gadis itu, yang segera ku ikuti dari belakang, sampai di rumah kepala
desa lagi, telah tersedia masakan opor ayam. Aku pun di suruh duduk, di
tinggal makan sendiri. Malam itu, aku menginap di rumah kepala desa, tak
ada yang istimewa, besoknya aku pamitan melanjutkan perjalanan. Jalan
kaki, menulusuri jalan, tanpa tujuan. Tapi baru satu kilometer,
berjalan, tiba sebuah sepeda motor astrea berhenti, seorang gadis
berseragam sekolah pengendaranya. Aku tak perduli, jalan saja, tapi
gadis itu memanggilku,
“mas ian…” aku pun terpaksa berhenti, ternyata anak kepala desa yang waktu berkenalan denganku namanya Maftukhah.
“eh embak…” kataku dengan panggilan menghormati, walau umurnya lebih muda dariku.
“la kok jalan kaki mas?, kenapa tak naik mobil aja?” tanyanya kawatir.
“la kok jalan kaki mas?, kenapa tak naik mobil aja?” tanyanya kawatir.
“sebenarnya mau kemana sih?”
“iya mbak, jalan kaki aja, dan aku tak punya tujuan.” jawabku agak lama, karena bingung, mau jawab bagaimana.
“tak punya uang ya?” wah nanyanya yang
enggak aja, mau ku jawab punya, jelas aku bohong, mau ku jawab tak
punya, aku diam aja. Dia menyodorkan uang 20 ribuan,
“ini ambil.!,” katanya , tapi tak ku ambil,
“kurang?” katanya, wah kenes juga nih gadis.
“bukan-bukan itu maksudku, tak usah…aku…”
aku jadi bingung. Dan dia sudah memasukkan uang ke sakuku. Yah udahlah
dari pada gontok-gontokan tak ada ujung pangkalnya.
“ayo naik ke motor, aku bonceng…, atau kamu yang di depan, aku di bonceng…”
“ah tak usah mbak, biar aku jalan kaki aja, ” kataku risih.
“bener gak mau, kalau gitu, ya udah ku
tinggal dulu.” kata Maftukhah. Yang segera berlalu dengan motornya,
sementara aku melanjutkan berjalan, dengan terus dzikir tanpa henti, aku
telah tak perduli apa di sekitarku, sampai jam 2 siang aku sampai di
daerah Cepu. Segera ku cari warung makan, sekedar nyari pengganjal
perut. Uang dari Maftukhah ku belikan nasi, dan setelah itu aku mencari
masjid untuk sholat dzuhur. Selesai sholat dzuhur aku melanjutkan
perjalanan lagi.
Sekitar jam limaan aku sampai di
padangan, kakiku telah pegal, dan butuh istirahat, aku mencari tempat
duduk yang enak untuk menyelonjorkan kaki, agar darah di kaki tak
menumpuk, kulihat regol depan rumah, tapi ada gadisnya seumuran 16
tahunan, aku gak jadi membelok, ku cari tempat yang lain saja, aku pun
meneruskan perjalanan, tapi baru tiga empat langkah, gadis itu
memanggilku,
“mas iyan…! Mas iyan….” apa telingaku
yang salah dengar, aku tetap melangkah, tapi suara gadis itu memanggil
lagi, sekarang malah kenceng.
“mas iyan..!” Aku berhenti, ternyata memang gadis itu memanggilku, dia menghampiriku,
“bener kan mas febrian?” tanyanya dengan tersenyum, ah paling-paling penggemarku lagi.
“benar namaku febrian, ” kataku tak ragu.
“benar namaku febrian, ” kataku tak ragu.
“jadi…, jadi, bener? ih tak di sangka…” katanya dengan raut muka berbinar, ku taksir gadis ini baru kelas 1 SMA.
“kok kamu tau namaku? Dan tau diriku?” tanyaku untuk meyakinkan dia pasti penggemar tulisan-tulisanku.
“kok kamu tau namaku? Dan tau diriku?” tanyaku untuk meyakinkan dia pasti penggemar tulisan-tulisanku.
“wah jadi orang terkenal, kok merendah
gitu, ini juga pasti sedang mencari bahan tulisan, aku ini penggemarmu
mas.” Benar memang dia salah satu penggemarku, yah memang manusia tak
bisa lepas dari masa lalu. Masa lalu tetap saja akan selalu mengikuti,
kemanapun kita pergi,
“ayo ke rumah, wah jadi grogi di datangi penulis terkenal.” katanya menggandeng tanganku.
“wah kalau mencari bahan tulisan, memang harus gini ya mas, sampai-sampai nggembel gitu.”
“heeh” kataku sekenanya.
“ck..ck… Huebat..! Jadi penulis jadi berat ya mas..?”
“ya jadi penulis kan setidaknya harus tau
keadaan, situasi, kondisi yang akan kita tulis, jadi bisa menjiwai,
bisa menyeret pembaca pada alur cerita.” kataku asal aja. Gadis itu
bernama Yulianti. Dia membawaku ke ruang tamunya, dan di kenalkan pada
kedua orang tuanya, yang ramah menyambutku, lama kami ngobrol tentang
karya-karyaku.
Setelah sholat magrib aku pun pamitan,
walau kedua orang tua Yulia, memintaku untuk menginap tapi aku tetap
melanjutkan perjalanan, ku putuskan kembali ke Cepu. Aku akan menuju ke
Ngawi saja, dan berharap untuk tak bertemu penggemar, ah kenapa rasanya
dunia ini sempit, kemana-mana masih saja ada yang mengenalku. Jam 10
malam aku sampai di stasiun kereta api Cepu. Aku memutuskan tidur di
stasiun saja. Setelah sholat isyak, ku selonjoran di kursi ruang tunggu
setasiun. Mengenang satu demi satu perjalanan di antara dengung nyamuk
yang mulai terasa mengerubutiku.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda