Apa yang datang dari Alloh, entah
peraturan, ilmu, cara hidup, dari yang terkecil, dari masalah sepele,
sampai masalah yang besar, dari cara mencari pekerjaan, sampai cara
beragama, apa yang di wariskan Nabi itu sudah cukup dan sempurna untuk
di ikuti, tanpa menambah atau mengurangi, kita hanya perlu tau semua apa
yang di wariskan, jangan karena tau sedikit lalu membutakan mata pada
pengetahuan yang lain, sebab apa yang di wariskan Nabi itu sudah
kelengkapan yang tak terbantah, sekalipun karena kita lebih memenangkan
nafsu, dan hati masih tertutup untuk menerima kebenaran, karena
ketakutan hilangnya entah kenikmatan, kedudukan, nama besar, lalu kita
mementahkan kebenaran, sama sekali Nabi itu tak menyembunyikan ilmu yang
di miliki, tapi adakalanya ilmu itu di perolah setelah menjalankan
suatu amalan, seperti seorang yang bisa merasakan manisnya daging jeruk,
setelah mengupas kulitnya. Nabi memberikan jeruk, lalu kita tak pernah
mau melakukan amaliyah mengupas kulitnya, maka sampai tua pun, daging
jeruk yang manis, mustahil kita rasakan, apa itu salah Nabi? Jelas
bukan, itu salah kita sendiri, karena maunya di kupaskan, padahal kita
punya nyawa, punya hati, punya pikiran, punya urat yang menggerakkan
tangan karena dapat sinyal perintah dari hati, dan pikiran membuat cara
terbaik menyelesaikan tugas, agar hasil akhir memuaskan dan banyak
manfaat yang di peroleh.
Majlis dzikir secara resmi ku buka, pertama aku ragu, apa nantinya akan banyak yang akan ikut dzikir, dan keraguan itupun sirna.
Pertama kali Majlis dzikir ku buka, dan
tak ada yang ku undang, artinya aku tak memakai kartu undangan. Dan
pertama kali yang datang hanya tetangga kanan kiri, dan itu pun tak
semuanya ikut, karena kenyataan di dunia ini ada orang yang anti dzikir,
dan hanya anti saja, entah kenapa mereka anti, jika di tanya juga
mereka tak akan mampu menjawab, sebab ilmu ke sana juga tak ada, yang
jelas mereka anti, sekalipun Alloh memerintahkan wadzkurulloha katsiro,
ingatlah Alloh sebanyak-banyaknya.
Dan yang jelas, orang yang anti dzikir
itu pasti hatinya tak akan tenang, dzkir bagi hati itu seperti air bagi
ikan, atau air bagi tanah, wa anzalna minassama’i ma’an, fa akhya bihil
ardho ba’da mautiha, lalu kemudian Alloh menurunkan hujan, maka hiduplah
karena hujan itu bumi yang sebelumnya telah mati, sebagaimana tanah
yang mati, tanah akan tandus, gersang, kering, panas, marah, suntuk, ya
kayak kita ada di tengah-tengah padang pasir di panas yang terik, apa
yang kita rasakan, kuat tidak kita bertahan di keringnya panas dan angin
panas. Begitulah hati yang mati, seperti tanah yang mati, di mana
rumput tak mau hidup, dan manusia tak kerasan berada di dalam dirinya
sendiri, selalu tak kerasan duduk dalam satu dudukan, karena rasa
suntuk, panas hati, sumpek, mudah tersinggung dan marah, dimanapun tak
nyaman, karena hati sebagaimana tanah padang yang gersang ada di dalam
tubuhnya, segala penyakit dan kesempitan pandangan hidup meraja, dan
semakin parah lagi jika kemudian apa yang menjadi permasalahannya
sendiri itu dia sendiri tak menyadari, kalau itu adalah dari dirinya
sendiri, dari hatinya sendiri.
Kegersangan itu sebenarnya tak jauh dari
apa yang keluar dari perut bumi, jika yang keluar dari perut bumi itu
limbah dan minyak, batu dan kerikil, racun dan lumpur yang mengandung
bahan berbahaya, maka dengan sendirinya bumi akan kering, sebenarnya tak
beda dengan hati kita, karena kita ini kenyataannya tercipta dari
tanah, maka segala persifatan kita ini tak akan jauh beda dengan tanah.
Apa yang terjadi dan menimpanya sehingga
menjadi amat mengenaskan, sebenarnya bermula dari perut, dan apa yang
menjadi isi perut itu bermula dari apa yang kita makan, dan apa yang
kita makan itu bermula dari rizqi yang kita cari, jadi halal haram itu
sangat berpengaruh pada hati.
Ketika makanan yang kita peroleh dari
rizqi yang haram, itu kita makan, di makan keluarga kita, di makan
anak-anak kita, maka rizqi itu tertelan, lalu di proses oleh pencernaan,
dasarnya rizqi yang tak halal, maka sarinya kemudian mengaliri darah,
lalu saripatinya menjadi sperma dan menetesi hati, menjadi racun yang
menggersangkan hati, maka jangan heran jika kemudian rizqi yang tak
hahal itu kemudian menjadikan anak kita menjadi anak yang sangat buruk
prilakunya, sebab persifatannya kita bagun hatinya dari makanan yang tak
halal, juga kita teramat mudah suntuk, marah, sesak, keras kepala,
pemarah, mudah tersinggung, irian , dengkian, tak pernah kerasan jika di
ajak berbuat baik, dan bersemangat jika di ajak berbuat jahat, itu
semua karena hati kita terbangun dari makanan yang haram, seperti tanah
yang di dalamnya mengalir minyak dan menumpahkan lumpur beracun.
Jika hanya menjadikan kita berbuat jahat
untuk diri sendiri itu tak apa. Tapi jika kemudian yang kita sudah
mempunyai sikap melahirkan keburukan kepada orang lain, maka siapapun
kita itu adalah telah menggolongkan diri dalam syaitan bergolongan
manusia, yang di sebut dalam surat Annas, yaitu setan dari golongan jin
dan setan dari golongan manusia.
Apakah kita itu seperti itu? Yang selalu
berusaha mencegah orang lain berbuat kebaikan, yang selalu merasa iri
dengki ketika orang lain melakukan kebaikan, dan orang lain mendapat
anugerah dari Alloh, apakah kita selalu sekuat daya menghalangi orang
lain melakukan kebaikan, jika diri melakukan kajahatan maka di benarkan,
jika orang lain melakukan kebaikan maka di salahkan, jika kita sudah
seperti itu maka sifat syaitoniyah kita telah mendarah daging. Karena
makanan yang kita konsumsi, dan telah meracuni segala darah, pikiran,
hati, perasaan, sehingga apapun yang di lakukan orang lain sekalipun itu
kebenaran, maka itu di anggap sebagai suatu kesalahan, karena mata juga
telah teraliri racun saripati dari makanan haram yang kita makan.
Alhamdulillah Dzikir pertama semua
berjalan lancar, dan jama’ah pertama langsung mengikuti talkin, untuk
menjadi pengurus, tapi besoknya ada laporan yang masuk kepadaku, katanya
Kyai Askan menemui salah satu pengikut majlis dzikirku yang bernama ibu
Anisah.
“Bu Anisah…, kamu semalam ikut dzikir di rumahnya Ian?” tanya kyai Askan.
“Iya… hampir semua orang dekat pada ikut.” jawab Bu Anisah.
“Halah Ian itu anak kemaren sore, dia itu
bisa apa, tau apa, kok kamu ikuti, yang di ajarkan ya kitab apa…?
paling-paling aliran sesat, nanti kamu di tangkap polisi, kalau
mengikuti alirannya, paling juga yang di bakar menyan, nanti kamu di
penjara Bu…, awas hati-hati Ian itu sekolah saja paling tingkat berapa,
orang tak tau apa-apa kok di ikuti, dia juga miskin, tak punya apa-apa,
ngikuti kok orang miskin, nanti kamu ketularan miskin.” kata Kyai Askan.
“La banyak orang yang ikut ngaji di sana,
la yang tak pernah mengaji saja juga ikut, bagaimana di katakan sesat,
la kami bersama-sama menghatamkan Al-qur’an, ya kalau Ian sesat, berarti
Al-qur’an juga sesat, la dia tak punya apa-apa, ndak sekolah tinggi,
Nabi juga kan miskin, tak punya apa-apa, juga tak kuliah, apa Nabi juga
tak boleh di ikuti ?” bantah Bu Anisah.
“Wah baru ikut ngaji, kamu sudah keminter, sok pinter.”
“Ya bukan masalah pinter, memang sampean
yang pinter, tapi itu kan kenyataan, la Ian itu juga ndak pernah utang
sama sampean, ndak pernah sekalipun menginjakkan kaki di rumah sampean,
juga ndak pernah nyolek sampean sedikitpun, la kok sampean urus, sampean
benci, apa salah dia?”
“aah… kamu akan melarat kalau begitu…”
“Melarat bagaimana, la ini lihat sendiri,
biasanya jualanku sehari baru habis, sekarang karena semalam ikut
pengajian di tempat Ian, sekarang lihat satu jam semua terjual habis,
orang datang seperti semut, ini tak aku saja, juga yang lain, la melarat
bagaimana, malah aku ingin di adakan pengajian tiap hari, kalau
daganganku laris, kan aku juga bisa naik haji.”
“Itu namanya pamrih, ngaji tapi pamrih.”
“Pamrih bagaimana? malah sebelum kami
ngaji, Ian menjelaskan kalau ngaji itu yang ikhlas, jangan punya
keinginan apa-apa, upayakan hati hanya melulu memenuhi perintah Alloh,
itu kata Ian sebelum pengajian di mulai, dia juga bilang kalau mau
meminta, ada tempatnya sendiri, yaitu saat berdo’a, tapi juga perlu di
ingat do’a itu kita melakukan do’a, bukan agar di ijabah, karena ijabah
itu haknya Alloh, dan kita hamba, jadi berdo’a karena melulu memenuhi
perintah Alloh, tiada yang lain, soal nanti isinya do’a itu apa dan
bagaimana, maka itu sekedar do’a.”
“Wah kamu akan sesat bener Bu…, sudah
mengajari aku sebagai Kyai, sok pinter…, pasti kamu itu sudah di minumi
air, agar menjadi budaknya Ian.”
“Wong aku ini ikut ngaji, kemauanku sendiri.”
“Alah nanti juga kamu di mintai uang.”
“Malah tidak, aku sering meminta do’a
supaya di sembuhkan dari sakit, tapi aku tak pernah di mintai uang sama
sekali, malah tak pernah bayar, sudah dapat air mineral gratis.”
“yaah… ikut orang bodoh, jadinya ikut bodoh, air saja di percaya mengandung kasiat obat.”
“Ya daripada minum obat dari dokter, yang
banyak efek sampingnya, ya aku lebih memilih minum air putih, kalau
sama-sama sembuhnya.”
“Itu namanya syirik”
“Syirik yang bagaimana…?, la air itu di
do’akan, di mintakan kepada Alloh, la kalau minta kepada Alloh di bilang
syirik, lalu yang tak syirik itu yang bagaimana…?” tanya Ibu Anisah.
“Ah ngomong sama orang bodoh susah…” kata Kyai Askan, sambil menggebrak meja jualannya Ibu Anisah.
“Lhoh kok gebrak-gebrak meja orang, kalau rusak, kamu mau mengganti?” kata Bu Anisah jengkel melihat tingkah Askan.
“Nanti akan ku buat tandingan wirid untuk menandingi wiridnya ian, akan ku buat wirid panjang umur.” kata Askan dengan bentakan.
“La kenapa musti membuat tandingan, la sampean mengadakan wirid jama’ah sendiri saja tak ada yang melarang.”
“Pokoknya akan ku buat tandingan.”
“Wirid kok tandingan, aku yang bodoh saja
tau itu tak benar, masak ada wirid tandingan, la dzikir itu kan harus
kalau tanding-tandingan apa bisa ikhlas.”
“Iya kamu sudah ikut wirid di tempatnya ian, jadi kamu belain dia.”
“Aku bukan belain ian, ian itu juga tidak
mengajak orang wirid, tapi semua yang ikut itu tak ada yang keberatan,
malah pada seneng, soalnya ada efeknya.” jelas Bu Anisah.
___________________________
Dan memang yang ikut wirid di majlisku semua punya cerita aneh-aneh sendiri.
Kayak Bu Anisah sendiri, yang katanya
biasanya dia yang uangnya banyak di pinjam orang, kalau sebelumnya walau
di datangi dan di tagih hutangnya saja orang yang ngutang-ngutang pada
marah, tapi sekarang malah orang yang pada punya hutang itu datang
sendiri untuk membayar hutang, bahkan yang sudah 10 tahun juga membayar,
dan yang lebih membuat senang jualannya laris.
Ada juga cerita Maskur, yang jualan
jajanan di pinggir jalan, awalnya Maskur ragu mau ikut, tapi dia ikut,
dan menyediakan air yang biasanya di taruh di tengah orang pada wirid,
besoknya airnya di ciprat-cipratkan ke tempat dagangannya,
Istri Maskur yang memang tak suka suaminya ikut dzikir bersama melihat apa yang di lakukan suaminya, berkata,
“Ah tak ada efeknya sama sekali mas..” kata istri Maskur.
“Ya ada tidaknya efek kan juga tak bisa langsung seketika.” jawab Maskur yang juga makin ragu.
Tapi kemudian sebentar tapi pasti,
orang-orang datang, dan terus berdatangan, terus berdatangan, bahkan
membeli dalam partai besar, dan anehnya hampir semua bukan pelanggan
lama, tapi orang yang tidak di kenal, sampai Maskur dan istrinya tak
terlihat, karena banyaknya pembeli yang mengerubung padanya.
Sekarang bukan Maskur yang harus ngomong
ke istrinya dulu kalau mau ikut dzikir, tapi malah istrinya yang selalu
ingin Maskur ikut dzikir, memang kadang kecendrungan nafsu pada sesuatu
itu sah saja di pakai penarik agar diri menjadi senang dan cenderung
pada jalan Alloh.
Seperti Maskur dan istrinya yang semangat
mendekatkan diri pada Alloh, dan keikhlasan itu bisa di latih dari
kebiasaan dan keseharian.
Hanya orang-orang yang mau meminum buah
fadhilah yang akan mengecap manisnya buah fadhilah, dan anugerah Alloh
itu hanya di berikan kepada orang-orang yang mau mendekatkan diri, tanda
Alloh menginginkan kita itu menjadi kekasihnya, adalah Alloh
menumbuhkan rasa di hati kita untuk mendekatkan diri, dan jika Alloh itu
tak menghendaki kita itu dekat dengan-Nya, sekalipun Nabi muhammad SAW
itu ada di depan kita dan mengajak sampai menangis air mata, maka tak
sedikitpun kita akan tertarik, sebab hidayah itu milik Alloh. Tak bisa
kita paksakan pada siapa saja.
Tidak ada kesusahan (bala bencana) yang
menimpa (seseorang) melainkan dengan izin Allah; dan sesiapa yang
beriman kepada Allah, Allah akan memimpin hatinya (untuk menerima apa
yang telah berlaku itu dengan tenang dan sabar); dan (ingatlah), Allah
Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu. (Ayat 11 : Surah at-Taghaabun)
Tanda kebodohan seseorang itu adalah
ketika telah merasa bahwa segala sesuatu itu bisa di kendalikan akal,
dan bukan seorang yang pintar, jika telah merasa karena akal pikirannya
telah bisa melakukan sesuatu yang orang lain tak bisa, padahal jelas
jika ada orang mati itu sama sekali tak bisa akalnya bisa
mengantarkannya ke kuburan, yang gotong mayatnya tetap saja tetangganya,
maka semakin seseorang itu merasa dirinya bisa, dan merasa orang lain
tak bisa seperti dirinya, maka jelas orang tersebut makin tak paham akan
keberadaan siapa dirinya.
Dalam perjalanan menuju Alloh s.w.t ada
sebahagian orang yang tertinggal di belakang walaupun mereka sudah
melakukan amal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang lain yang
lebih maju. Satu halangan yang menyekat golongan yang tertinggal itu
adalah kebodohannya yang tidak mau tunduk kepada ketentuan Alloh s.w.t.
Dia masih dipermainkan oleh nafsu dan akal yang menghijab hatinya
daripada melihat Alloh s.w.t pada apa yang dilihat. Pandangannya hanya
tertuju kepada alam benda dan perkara lahir saja. Dia melihat kepada
keberkesanan hukum sebab-musabab dan meletakkan pergantungan kepada
amalnya. Dia yakin yang dia boleh mendapatkan apa yang dia ingini
melalui usahanya. Sehingga atas apa yang di lakukan adalah melulu
ukurannya akal pikiran, bahkan karena akalnya itu, kemudian manusia itu
terseret pada akal-akalan. Mengakali diri dan mengakali orang lain, jika
sakit sekalipun, maka akan di akali biar sembuh, dan tak di baca kenapa
aku sakit, sehingga Alloh berulang kali memberikan peringatan, itu di
anggapnya karena sesuatu sebab yang menimpa, karena ketergantungannya
pikirannya pada hitung-hitungan akal, dan tak mau mengakui bahwa apapun
di dunia ini nyata adalah ciptaan Alloh, dan entah besok, lusa, atau
kapan pasti mati.
Ada seorang muridku yang bernama Suhandi,
masa lalu Suhandi amat gelap, dan suram yang di kejar adalah bisnis
yang menyandarkan pada akalnya, memang kadang perhitungan akal itu
kadang benar, tapi tak sedikit yang kemudian meleset, karena hal yang di
luar perhitungan akal, di saat perhitungan akal itu berjaya, dan
mendapat hasil yang maksimal dari jerih payah, maka akal akan cenderung
merasa berkuasa, dan mempunyai power lebih, tapi ketika ternyata
perhitungan salah, mka akal tak bisa berlari dari tubuh, keberadaannya
tak bisa mencerna sesuatu yang tak bisa di logika, dan logikanya tak mau
percaya itu telah terjadi, lalu dia berusaha mencari solusi di luar
akal karena akal sudah terlanjur percaya pada apa yang terlihat dan bisa
di akal, maka dia pun akan mengutamakan mencari yang akan bisa
menerima, paling tidak terlihat oleh kedua mata, sehingga akal akan
merasa di tenangkan.
Suhandi adalah pekerja yang ulet di masa
mudanya, ulet dan tahan banting, juga akalnya penuh perhitungan matang,
tapi sekalipun telah di perhitungkan dengan matang, apa yang di
perhitungkan ternyata kemudian meleset, dan dalam waktu sekejab
kebangkrutan pun mencengkeram perjalanan karir bisnisnya, lalu dia
mencari solusi ke dukun, ya dalam akal pikirannya, dukun lebih jelas
terlihat daripada Alloh yang tak terlihat, maka dukun itu dia jadikan
meminta suatu penyelesaian atas masalah yang dia hadapi. Dan pas saja,
ternyata setiap solusi yang di berikan dukun itu selalu membawa
kebangkitan atas bisnisnya yang ambruk, entahlah, setiap kejadian itu
memang sudah di rancang oleh Alloh dengan perancangn yang rapi, agar
kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran di dalamnya, di mana akan
menjadikan kita lebih hati-hati mengambil kesimpulan, dan tak tercebur
dalam lubang yang orang lain jelas-jelas kita tahu ceritanya.
Suhandi pun mulai menapaki lagi usahanya,
dan setiap waktu dia ke dukun itu dan juga punya dukun cadangan, yang
bisa di mintai saran, dan masukan akan rizqinya lancar, bahkan Suhandi
telah di minta berhenti sholat pun dia lakukan, karena dia merasa apa
yang di perolehnya dari limpaham materi sangat membuat hatinya senang,
walau tidak bisa di katakan hatinya tentram, oleh dukun itu, Suhandi di
tunjukkan dengan cara melihat kedepannya bagaimana bisnis Suhandi
kedepannya, dan dukun itu memakai alat seperti lampu ublik, yang memakai
sumbu, lalu lampu itu di letakkan di tengah air, dan secara sendirinya
katanya si dukun itu kemudian tau akan apa yang akan di lewati Suhandi
dalam mengurus bisnisnya, sehingga bisa memberikan solusi atas apa yang
seharusnya di lakukan Suhandi.
Jika seorang dukun bisa melihat masa
depan, ternyata dia meninggal di kamarnya dengan orang lain termasuk
anak istrinya tak ada yang tau, karena dukunnya Suhandi itu punya kamar
semedi sendiri, yang tak siapapun berani masuk, kalau si dukun sedang
menjalani semedi, ee tahu-tahunya si Dukun sudah meninggal, karena
keluarganya mencium bau busuk, setelah di dobrak pintunya, maka di
temukan dukun itu telah menjadi mayat, bahkan sudah ada singgatnya yang
sebesar jali kelingking, sedang memakani tubuh dukun itu.
Di tinggal si Dukun meninggal dunia,
mungkin yang paling sedih adalah Suhandi, daripada istrinya dukun, bukan
masalah sedih karena kasihan atau iba, tapi karena kemudian Suhandi tak
ada lagi yang akan menunjukkan solusi masalahnya. Itu artinya bisnisnya
akan bangkrut lagi, padahal Suhandi telah terlanjur membuat produk
banyak, karena memperhitungkan kalau si dukun akan berumur panjang, dan
segala permasalahan dagangnya akan selalu ada yang memberi solusi atas
apa yang di lakukannya, tapi kenyataannya dukun itu manusia, walau di
bilang bisa melihat ke masa depan, la kok umurnya sendiri dia tak tau
kapan masa kontraknya di dunia ini habis.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda