“Nafisah..”
“si nafisah suruh duduk menghadap kiblat,
dan disini aku menghadap kiblat kau mengahadapku, bayangkan saja
Nafisah di antara kita, kau arahkan tanganmu keperutnya dan aku ke
punggungnya, salurkan tenagamu, selanjutnya serahkan padaku, bagaimana?”
Macan mengangguk, lalu tanpa banyak cakap ia pun menelpon ibunya, dan menyarankan seperti yang ku katakan.
Sementara itu Nafisah yang di rawat di
rumah sakit Aisiyah Bojonegoro, di minta duduk oleh ibunya menghadap
kiblat, aku dan Macan juga duduk berhadap-hadapan, kami berdua
berkonsentrasi membangkitkan kekuatan sirri yang ada di tubuh kami,
Aku rasakan kekuatanku telah bangkit dan
mengalir ketelapak tanganku, juga kurasakan ada angin dingin, menghembus
lembut dari arah Macan kearahku, udara serasa bergumpal-gumpal, aku
membayangkan tubuh nafisah ada di depanku.
Memang kekuatan anugrah Alloh yang tak
terlihat ini begitu dasyad, aku pernah mencoba pada temanku Tarsan, saat
itu pemuda yang jago manjat kelapa itu di depanku, kami sedang
membicarakan tenaga yang ada di pusar, tapi pemuda itu tak percaya akan
ada tenaga sehebat itu, lalu aku menyalurkan tenaga ke tangan dan
mengaduk isi perutnya, padahal jaraknya denganku tiga meter, Tarsan
muntahkan semua isi perutnya, lalu aku coba menulis namanya di udara
dengan jariku, dan kupukul dengan tanganku, walau tanpa menyentuhnya dan
Tarsan terpental.
Aku memejamkan mata dan membayangkan
tanganku mengambil penyakit usus buntu yang ada di perut Nafisah,
sementara gadis itu yang tengah duduk, merasakan hawa dingin merasuk
dari depan dan hawa panas merasuk dari belakang, lalu dia merasakan
seperti ada ribuan semut memasuki tubuhnya, dan seperti mengambil
sesuatu dari dalam tubuhnya.
Nafisah merasakan seluruh tubuhnya seperti kesemutan,
Aku dan Macan masih duduk, menyalurkan tenaga,
“turunkan pelan-pelan can, tenaganya jangan di sentak…” kataku memberi aba-aba.
Dan selesailah proses pengobatan kami.
aku mengusap peluh di kening dan jidatku, begitu juga Macan.
Ku sruput kopi yang penghabisan dan menyalakan rokok.
“selanjutnya bagaimana ian?” tanya Macan.
“ya nanti telpon lagi, minta di ronsen ulang, moga-moga aja pengobatan kita berhasil, sekarang aku tak pamit dulu…” kataku.
Macan mengantarku dengan motornya, sampai ke terminal kampung rambutan.
Aku berangkat, memilih Bus yang langsung menuju Labuhan. Aku mendapatkan tempat duduk, dan tidur setelah bus berangkat.
Kondektur membangunkanku, meminta uang
tiket. Ah aku kaget, pias, setelah ingat uangku yang tiga ratus sudah ku
berikan Macan semua.
Ah sial aku, sementara kondektur itu menungguku, aku bingung, dah merogoh-rogoh saku, dan serr..!,
Di sakuku ada uang tigaratus ribu, ah pastilah Macan yang memasukkan tanpa ku ketahui,
Ah sudahlah yang penting aku punya uang
tuk membayar bus, ku berikan uang seratus ribu kepada kondektur, dan
setelah di berikan kembalian, aku tidur lagi sampai bus nyampai di
pertigaan Pandeglang, aku turun, ojek datang mengerubutiku, aku melihat
mang Sofyan, yang rumahnya, di kampung dekat pesantren,
“ojek mang..?”
Kataku ke arah mang Sofyan.
“ke rumah kyai ya jang..?.” tanyanya.
“iya mang., berapa?” tanyaku.
“lima belas ribu jang…”
“byuuh gak salah mang? Ini kan ojek bukan taksi…”
“sekarang ini BBM dah naik jang, penumpang jarang.., jadi ya kenaikan berlipat, mau gak jang…”
Terpaksa aku menyetujui. Daripada ribet
urusannya, padahal jarak antara pertigaan tugu dengan lereng gunung
putri ini tak terlalu jauh, paling juga tiga kiloan, sebenarnya kalau
jalan kaki lewat jalan kampung malah lebih cepat, tapi sudahlah.
Motor ojek mang Sofyan segera
mengantarku, motor itu menggerung-nggerung, karena jalan aspal yang
sudah rusak di sana -sini itu, lubang-lubangnya penuh dengan air bekas
hujan semalam.
Jalan yang ku lewati ini sebenarnya telah
di perbaiki berkali-kali, tapi uang untuk perbaikan jalan kebanyakan di
sunat sini, maka imbasnya jalanan hanya di perbaiki seadanya, jadi ya
begini, baru beberapa hari kelihatan halus, jalanpun akan rusak lagi.
Akhirnya nyampai juga, baru saja ojek ku
bayar, dan mang Sofyan berlalu, hpku bunyi, segera ku angkat, suara
Macan dengan nada bahagia.
“Ian syukur, adikku tak jadi di operasi, dah sembuh, dan sudah di ijinkan pulang, makasih ya ian…”
“Wah jangan berterimakasih padaku, kita kan cuma berusaha, kesembuhan ada di tangan Allah jua. Bersyukurlah pada-Nya.”
“iya…iya…wah ceramah terus..”
“eeh uangku, kamu masukkan sakuku, tanpa setahuku ya can?” tanyaku ketika ingat uangku ada di saku.
“ah enggak, ini masih ku pegang, iya…iya
.,nanti aku kembalikan, sekarang ku pinjam dulu.. Jangan kuatir..”
nadanya serius, setahuku Macan orangnya tak suka main-main, kalau bilang
a ya a kalau bilang b ya b.
Lalu kenapa ada uang di sakuku..
Para santri segera menyambutku, dan bersalaman mesra, mereka-mereka seperti saudara-saudara kandungku.
“mas ian udah di tunggu kyai” kata
Mujahidi,. Bibirnya masih seperti dulu, di kelotoki karena sariawan,
sehingga kelihatan jontor sana-sini, wajahnya juga makin banyak
lubangnya bekas jerawat batu di penceti, malah lebih kelihatan seperti
kayu di makan rayap, yah biarlah itu kesenangannya sendiri.
Aku segera berlalu, kulihat kyai berdiri
di bawah pohon melinjo, aku segera menghampiri, dan bersalaman mengecup
tangannya dengan takzim.
“bagaimana, Macan tak mau?,” tanya kyai.
Sambil mengajakku duduk di kayu pohon sengon yang telah mengering, dan
telah tumbuh jamur di sana-sini, jamur kecil-kecil berwarna kuning
kemerahan.
“dia tak mau kyai….”
“ya sudah kalau tak mau, nanti kamu menjalani sendiri, kamu sanggup, menjalani laku gila?”
“sanggup kyai..” jawabku mantap, “sekarang pun kalau kyai memintaku berangkat, aku akan berangkat kyai…”
“tak usah buru-buru, mungkin sebulan
lagi…, nanti setelah sholat ashar, kamu aku baiat, dan nanti malam mulai
melatih ilmu rogo sukmo…”
“bagaimana aku melatih ilmu itu kyai?, sedang aku tak punya…” tanyaku meragu.
“ilmu itu telah ada dalam dirimu, hanya kau tak tau, nanti kalau ingin melepas sukma baca ini…” kyai membisiki telingaku.
“wah cuma dua lafat itu kyai..” tanyaku heran.
“iya cuma itu, dan bayangkan tempat yang akan kau tuju…” kata kyai.
“apakah ada pantangannya kyai?”
“tidak, tidak ada pantangan, tapi
hati-hatilah, karena bila merogo sukmo, kau akan melihat aneka macam
mahluq Alloh, dan kalau bertemu jin fasik, pasti akan berantem, kalau
kau merasa tak mampu lebih baik menghindar, dan jika kau butuh sesuatu
di alam sukma, bayangkan saja dengan hayalmu…”
“terima kasih kyai, saya mau istirahat
dulu…” setelah berpamitan aku pun menuju, ruang pembuangan jin, yang
luas. Untuk tidur siang sebentar, dan aku agak masuk angin, maka aku
akan meminta pijit pada jin.
Pintu gerbang besi bercat hijau kubuka,
suara menderit khas besi yang tak pakai oli terdengar. Dan udara dingin
menusuk kontan kurasakan, nyeess! Lebih dingin dari AC karena udara
dalam rumah pembuangan jin ini tak berjalan.
Rumah ini walau tak pernah di masuki
orang, tapi tampak bersih keramiknya. Cat temboknya banyak yang
mengelupas, dulu cat ini aku juga yang mengecatkan, dengan motif whoss,
yaitu kain di sobek-sobek seperti kain pita, setelah segenggaman tangan
lalu di ikat, nah ujung kain itulah yang di buat menjadi motif, di
celupkan ke cat dan di kecrok-kecrokkan ke tembok. Untuk hasil yang
sempurna, cat tembok putih di campur cat pigmen sebagai pewarna. Dan
binder sebagai pengikat, maka setelah kering warna akan menyatu, jadi
orang melihat seperti kertas wallpaper yang di tempelkan.
Warna tembok ku motif warna bunga lavender, dan di tembok laen ku motif bunga tulip.
Aku segera mencari tempat untuk tiduran,
aku dekati tiang besar, ku cium bau wangi menusuk, aku tak jadi, karena
mengira pastilah jin wanita, nanti bisa-bisa tak tidur, malah main
cinta.
Aku memilih di ruang sebelah, ruang ini
luasnya delapan kali lima meter, cukup luas, aku menggeletak di pinggir
tembok. Ku eratkan jaketku, untuk mengurangi hawa dingin. Jam tangan ku
lihat pukul sebelas siang.
Ku rasakan ada jin yang mendekatiku, dari
arah kananku, karena pipiku menebal, ku ucapkan salam dalam hati, dan
kukatakan aku ingin di pijat, walau aku belum bisa melihat mereka karena
rendahnya ilmuku, tapi aku bisa merasakan kehadiran mereka.
Kurasakan tanganku ada yang memegang dan
memijid-mijid, juga kepalaku, lalu kakiku juga ada yang memijid, rupanya
dua jin yang memijidiku, aku mulai keenakan dan mengantuk, sebelum
tidur aku minta di bangunkan jam dua, akupun tertidur.
Aku terbangun, ketika kurasakan ada yang menggelitik kakiku, kubuka mata dan kulihat jam menunjukkan jam dua lebih satu menit.
Aku pun bangun dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Lalu beranjak pergi.
Mengambil sabun yang biasa kuselipkan di bawah para-para, kemudian pergi ke sungai,
“gak makan dulu mas? Nasinya ada di dapur…” kata Jauhari dan Kholil, ketika berpapasan denganku.
“ah nanti aja.., ” aku segera berjalan di
jalan berbatu yang menuju sungai, dan melompat ke pematang sawah,
setelah melewati dua kotak sawah aku pun sudah sampai di tempat
anak-anak pada mandi, masih ada tarsan dan majid masih sibuk mandi, aku
pun bepgegas mandi, setelah mengganti sarung dengan celana pendek khusus
mandi, aku pun mencebur,
“awas mas, banyak lintah…!” suara Tarzan
memperingatkan, tapi terlambat, karena ada kurasakan sesuatu menempel di
dekat mata kakiku, aku segera keluar dari air dan naik keatas batu
bundar pipih, sebesar kerbau yang di tempati Tarzan mencuci.
“wah ketampel lintah nih…” kataku melihat binatang hitam ada garis coklat, yang tak lain lintah .
“biar mas tak ambilnya mas…” kata Tarzan
Kemudian tanpa jijik, membetot lintah dari kakiku.
“untuk apa zan?”
“biasa mas, untuk memperbesar…”
“jangan terlalu besar, nanti tak ada wanita yang mau menikah denganmu lo…”
Setelah mandi aku cepat-cepat kembali ke
kamar, dan sholat dhuhur, melakukan dzikir setelah sholat, dan pergi
kedapur, ternyata teman-teman masak urap, yaitu sambal kelapa, karena
paling mudah, kelapa tinggal manjat, lalapan daun pepaya dan daun kopi
muda, sedap juga.
Setelah makan terdengar adzan sayup-sayup
sampai dari masjid yang teramat jauh. Aku bergegas mengambil air wudhu
dan sholat ashar, setelah dzikir aku pun menghadap kyai, untuk di baiat.
Teman-temanku semuanya telah berkumpul.
Aku pun di minta duduk menghadap kyai,
tangan di jabat dan menerima ijab, dan kobul, seperti dalam pernikahan.
Cuma isinya bukan tentang nikah, tapi siap sedianya diri menjalankan
syariat Islam secara kaffah, dan bersedia, menjauhkan diri dari segala
macam perbuatan dosa.
Baiat pun selesai, dan kami mendengarkan
petuah-petuah kyai, dari bagaimana baiat di lakukan oleh Rosululloh, dan
di jelaskan untung ruginya.
Hari makin sore, para santri melakukan tugasnya masing-masing, aku memilih memasak.
Menggoreng jengkol dan membuat sambel tomat, wah sedap sekali.
Malam itu setelah isyak aku di suruh kyai latihan ilmu rogo sukmo dalam kamar.
Pintu kamar ku kunci, deg-degan juga aku,
karena aku belum tau akan bagaimana nantinya. Ku duduk membaca
Alfatehah tiga kali, Annas tiga kali, Alfalaq tiga kali, ayat kursi tiga
kali, lalu kutiupkan tangan dan ku usapkan ke seluruh tubuh.
Kemudian aku tiduran, memejamkan mata dan
membaca doa yang tadi siang di ajarkan kyai, tak lupa membaca basmalah
tiga kali tanpa napas.
Leess!! Aku seperti begitu saja tertidur,
tau-tau aku telah di atas tubuhku sendiri. Melayang di udara, sementara
jasad kasarku tergeletak dalam kamar.
Aku segera keluar kamar menembus dinding,
bersalto di udara, terbang kesana kemari, hinggap di pucuk pohon
kelapa, lalu terbang lagi, sungguh terasa bebas dan nyaman, aku
menghampiri majlis dzikir, masih melayang-layang, kulihat semua santri
selain diriku tengah konsentrasi dengan wirid masing-masing, sementara
kulihat kyai juga tengah duduk memangku bantal tidur, dan tangan
kanannya tak henti memutar tasbih, kyai menatapku dan tersenyum, lalu
mengangguk,
Itu sudah cukup sebagai isyarat bagiku,
akupun melesat pergi, membumbung tinggi ke angkasa yang gelap, dan hanya
di terangi oleh beberapa bintang yang nampak.
Sebenarnya tujuanku adalah desaku sendiri
di kawasan kabupaten Tuban, karena aku selama ini teramat heran, dengan
sebuah sekolah madrasah, yang angker sekali, aku ingin menyelidiki ada
apa sebenarnya di sekolah itu.
Madrasah itu awalnya di sebelah rumahku,
tapi karena di sebelah rumahku terkena rencana perluasan masjid, maka
madrasah itu di pindah ke lahan kosong, untuk membangun madrasah itu
tentulah di butuhkan tanah urukan untuk menyamaratakan tanah, dan tanah
untuk batur itu di ambil dari tanah sekitar, maka terciptalah parit,
hampir mengitari madrasah, kalau kemarau parit itu sama sekali tak ada
airnya, sampai tanah dasar parit retak-retak, tapi kalau musim hujan
datang, parit itu penuh air, dan anehnya, akan banyak ikan muncul di
parit itu, dari ikan sepat, mujaer, lele, bandeng. Dan ikan-ikan yang
lain, anehnya kalau ikan itu di ambil dan di makan, maka orang yang
memakan akan keracunan.
Madrasah itu jauh dari rumah penduduk,
rumah paling dekat adalah tujupuluh meteran, sehingga madrarah tak
diberi penerangan listrik mengingat kalau malam madrasah tak di gunakan
kegiatan apa-apa, tapi memang ada lampu bohlam dan dulu sudah terlanjur
di pasang, tapi belum sempat di beri saluran kabel listrik, tapi sungguh
aneh walau tanpa saluran kabel, kalau malam lampu di madrasah itu
sering menyala sendiri.
Keluarga yang tinggal paling dekat dengan
madrasah itu adalah keluarga pak Makrum, yaitu istrinya bu Rah, anak
perempuannya usia sebelas tahun, dan kedua anak laki-laki, yang satu
berusia sembilan tahun, yang satu berusia dua tahun, keluarga pak Makrum
adalah pindahan dari desa lain.
Tapi tak sampai setahun tinggal di situ,
semua keluarganya meninggal satu persatu, dari si balita meninggal, di
susul kakaknya, kakaknya lagi, kemudian istri pak makrum, dan terakhir
pak makrum sendiri meninggal, selang satu bulan, anehnya tanpa di
dahului sakit sama sekali. Yang selamat adalah anak pak Makrum yang
telah menikah dan di bawa hidup di daerah suaminya.
Sekitar limapuluh meter di depan madrasah
ada sebuah sumur pompa, di buat oleh santri, dan saat kemarau panjang,
di sumur pompa ini tak perduli siang maupun malam sumur ini selalu di
datangi orang untuk mengambil air, mengingat sumur lain kering, tapi
sumur di depan madrasah ini tak pernah kering.
Dan pasti di musim kemarau, akan ada
cerita-cerita aneh, dari orang yang tunggang langgang saat mengambil air
di malam hari, lalu melihat hantu, macem-macem ceritanya, ada yang
melihat orang yang tinggi tiga meter, ada yang melihat pocong, ada yang
melihat orang menggantung di pohon.
Sukmaku melesat cepat, angin menggemuruh
di telingaku, dan kibasan angin sampai melepas ikatan rambutku, sampai
rambutku berkibaran. Kulihat kebawah, kerlip lampu beraneka warna, dan
gedung-gedung menjulang, pasti ini Jakarta, pikirku, karena kulihat dari
angkasa, di sana-sini, lampu-lampu mobil berkelak-kelok, berderet-deret
seperti sisik naga raksasa.
Baru beberapa menit terbang aku telah
sampai di jakarta. Ku membumbung tinggi, kadang menukik ke bawah. Ah
betapa enaknya terbang, aku jadi ketagihan kulihat dari atas kerata api
berjalan, aku menukik turun, dan terbang di samping kereta api, kulihat
penumpang di dalamnya, lalu aku terbang diatas kereta dan hinggap di
atasnya. Tapi segera terbang lagi, mendahului kereta api, dan lebih
cepat sehingga rumah, pohon, jalan, desa, berkelebat cepat, hanya nampak
bayangan berkeledepan.
Sekejap saja aku telah sampai di sekolah madrasah yang ku tuju. Sebentar aku berdiri di udara depan madrasah.
Perlahan aku masuk, keadaan sangat sepi. Aku kitari ruangan demi ruangan.
Ini mungkin jam sepuluh atau jam sebelas, karena aku tak bawa jam, jadi kurang tau waktu.
Kulihat dua orang pemuda, kira-kira umur
tigapuluhan, dua pemuda ini wajahnya kembar, kalau ku rasanya bukan dari
golongan jin, tapi dari golongan arwah penasaran, wajahnya cukup
ganteng cuma pucat seputih kapas, di kedua lingkar mata mereka ada
lingkar hitam.
Aku turun ke tanah, dan berjalan menghampiri mereka berdua.
“siapa kalian??” tanyaku
“hei kau bisa melihat kami?.” jawab mereka hampir serempak.
“kenapa tak bisa?”
“berarti kau juga arwah penasaran seperti kami?..”tanya mereka balik.
Dan prasangkaku tak salah. Bahwa mereka arwah penasaran.
“oo jadi kalian yang selama ini membuat isu hantu, menakut-nakuti warga sini..?”
“kami hanya butuh tempat, dan tak mau di ganggu, jadi kami takut-takuti warga…”
“apakah kalian juga yang menewaskan seluruh keluarga pak Makrum?”. Tanyaku.
“ah, apalah artinya hidup buat
mereka…malah susah aja, miskin, dan kalau mati setidaknya membantu kami,
agar orang takut tinggal di daerah ini..” kata salah satu arwah itu.
“kalian keji sekali, melihat kalian jadi
arwah penasaran, tentu kalian hidup selalu berbuat jahat, tapi setelah
matipun masih melakukan kejahatan…”
Aku jadi ingat kejadian waktu aku kecil
teman sekolahku meninggal dengan mata mendelik dan lidah terjulur keluar
ketika pulang dari sekolah.
“apakah kalian juga yang membunuh Muflida, gadis kecil yang berumur sepuluh tahun.?” tanyaku penasaran.
“heh gadis itu, aku yang mencekiknya…, karena dia melihatku…” kata salah satu arwah, dengan senyum mengejek.
“apakah kalian juga yang membuat anak bernama Saeri, yang tulang kering kakinya patah, dan sekarang jadi anak pincang?”
“aku yang memukul kakinya dengan kayu…hahaha..” kata arwah satunya.
“sekarang juga kalian harus hengkang dari sini, minggat sejauh-jauhnya ….!”
“e,e,e kau ini siapa? Berani melarang kami tinggal di sini, kami di sini sebelum kau lahir,”
“baiklah aku akan memaksa kalian,” kataku melompat menerjang.
Aku ingat kata kyai kalau di alam gaib
supaya membayangkan yang kita inginkan, maka aku membayangkan tanganku
membara, mengelurkan panas yang berlipat-lipat, lalu dengan tangan itu
aku memukul mereka, mereka berdua kaget dan meloncat mundur, tapi
tubuhku yang enteng bisa melayang segera memburu, dan satu pukulan
mengenai salah satu dada arwah itu… Dia menjerit di seret kawannya
mundur, karena dadanya telah berlubang, segenggaman tangan, dan
mengeluarkan bau sangit terbakar.
Asap tipis mengepul dari luka yang terbakar itu, dan arwah itu mengaduh-aduh, sementara temannya segera memanggulnya.
“tunggu besok disini kalau berani, guru
kami akan menghajarmu…” katanya sambil melesat pergi , melompati jendela
madrasah yang tinggi.
Aku tak mengejar, aku juga melesat pergi,
pulang kerumahku dan mau melihat jam dinding, ah ternyata baru jam dua
belas kurang seperempat.
Aku keluar lagi melayang keatas masjid,
turun di ujung mustaka, berdiri melihat sekitar, depan masjid adalah
jalan raya, dan tempat angker lagi adalah dekat jembatan, dimana waktu
pembangunannya dulu, mengakibatkan banyak korban, entah korban jatuh
dari menara bok, atau tertumbuk palu paku bumi.
Aku melesat ke arah jembatan yang
berjarak dua ratus meter dari masjid, dan hanya tiga detik aku telah
berdiri di atas jembatan, suasana sepi, tapi pandangan mataku menangkap
sosok baju putih melayang malah di jauh sekali di pertigaan jurusan
makam, tanpa pikir panjang aku melesat mengejar sampai di pertigaan aku
turun dan clingak-clinguk, aku ingat di pertigaan ini sering terjadi
kecelakaan, ada anak taman kanak-kanak yang di hantam mobil dan seketika
meninggal di tempat.
Juga ada seorang petani yang mau pergi kesawah di tabrak mobil dan terseret lima meter, walau tak sampai mati.
Keadaan masih sunyi, aku tak melihat
bayangan putih tadi, kulihat gerobak tukang bakso yang memang biasa
mangkal, orang-orang memanggilnya wakman, kulihat dia masih duduk di
plester regol, sambil menghisap rokoknya, tiba-tiba ia membuang puntung
rokoknya dan menginjaknya dengan sendalnya, lalu beranjak ke gerobak
baksonya.
“iiih mrinding…ada apa ini..?” keluhnya.
Dan wakman mendorong gerobak baksonya berjalan, saat itulah aku melihat perempuan baju putih bertengger di atas gerobak bakso,
“hei siapa kau…!?” bentakku.
Perempuan itu kaget dan melayang pergi.
Dengan suara ketawa yang menggidikkan bulu roma. Aku pun segera
mengejar, ah pasti ini kuntilanak… Dia melesat kearah rumah salah
seorang pengasuh pesantren. Karena melayangnya pelan, akupun dengan
mudah menyusul, dan menghadangnya.
“huu….huuu..jangan tangkap aku…huu” dia menangis.
“aku tak bermaksud menangkapmu, tapi aku hanya ingin tau kau ini siapa?” tanyaku dengan lembut.
Dia menghentikan tangisnya, memandangku,
aku di pandangnya begidik juga, perempuan ini sungguh menyeramkan
sekali, jika aku bukan sukma mungkin aku telah lari pontang-panting.
Rambut perempuan ini awut-awutan, dan di
sana-sini nggimbal lengket oleh tanah, sementara, wajahnya putih, tanpa
darah, di sekitar matanya menghitam, dan matanya melotot keluar tanpa
cahaya, pipi kanan kirinya berlubang, sehingga giginya terlihat, dan ada
ulat-ulat yang keluar dari pipi…putih, kecil-kecil menggeliat..
“kau ini siapa nyai?” tanyaku lagi.
“aku ini istri kamituwo gerot.” katanya
tanpa menggerakkan giginya, sehingga suaranya seperti suara yang teramat
jauh, tapi jelas di telingaku.
Aku mengingat-ingat nama kamituwo gerot,
ingatanku pun tertuju pada sumur gerot, yaitu sumur yang di bangun
sesepuh desa dulu, ada enam sumur penjuru desa, yang dibuat oleh pendiri
desaku. Enam sumur juga di sebut sumur gede. Karena memang sumbernya
teramat besar, dan menjadi tumpuan mengambil air bagi semua penduduk
yang kekeringan,
Dulu sumur-sumur itu selalu di adakan
ngunduh sajen, yaitu acara nanggap wayang untuk mengucap terimakasih
pada danyang penunggu desa, tapi setelah di sadarkan oleh kyai fatah dan
kyai sidik maka acara-acara itu pun di hilangkan.
Kamituwo gerot, aku berpikir.
Dan ada kamituwo ya adanya di kampung Degan,
“sampean dari mana nyi? Dari kampung apa?…”
“aku dari kampung Degan…” suaranya masih tetap terdengar dalam.
“kok sampean klambrangan gak karu-karuan begini nyi? Boleh aku tau sebabnya?”
Perempuan ini menjerit melengking kemudian dia menangis hahahuhu…ah perempuan..jadi hantu masih, juga cengeng.
Aneh begitu saja kisah perempuan di
depanku ini, terpampang runtut seperti melihat filem layar lebar,
namanya juga alam gaib, jadi serba gaib, nyleneh dan tak masuk akal.
Perempuan ini bernama Sunti. Seorang
ledek dari daerah Tambak boyo, untuk mendapatkan penglaris maka dia
mencari orang yang mumpuni dalam memasang susuk pengasihan, ada orang
yang menyarankannya ketempat kamituwo gerot, maka pergilah Sunti
ketempat kamituwo, yang umurnya lebih pantas jadi ayahnya, Sunti umur
delapan belas tahun dan kamituwo umur empatpuluh lima tahun.
Saat itu kamituwo adalah duda, yang istrinya minta cerai, karena tak tahan dengan kesenangan suaminya yang suka main perempuan.
Memang ilmu kejawen kamituwo terkenal
ampuh, dari ilmu kekebalan, aji kesantikan, sirep, gendam, pasang susuk
pengasihan sampai aji pelet, sehingga jangankan perempuan yang masih
perawan, yang sudah punya suamipun bisa di buat meninggalkan suaminya.
Melihat Sunti yang cantik, menik menik,
tentu saja kigerot langsung jatuh hati, maka ketika tau gadis itu
meminta susuk pengasihan, maka ki gerot pun memberikan susuk yang
terbaik, tapi juga memelet Sunti dengan ilmu pelet yang paling hebat.
(maaf, sebenarnya ini tak pantas di
ceritakan, tapi semoga menjadi pelajaran untuk tidak mendatangi aneka
macam dukun dan paranormal.)
Pelet yang di pakai ki gerot adalah kulit kemaluan wanita perawan yang meninggal di rebu wage,
Jika ada perempuan meninggal di saat itu
maka kigerot malamnya akan membongkar makamnya dan menguliti kemaluannya
mayat, setelah itu, kemaluan tadi di keringkan, dan bila di butuhkan
akan di cuil sedikit dan di campurkan dalam minuman, dengan
mantra-mantra.
Malang nasib Sunti, dia meminum teh yang
telah di campur ramuan pelet yang ganas itu, seketika gadis itu mabuk
kepayang pada kigerot, dia seperti telah minum bergalon arak cinta,
Maka ketika ki gerot menuntunnya kekamar dan mengajaknya berzina, Sunti tak kuasa menolaknya.
Begitu juga ketika Sunti telah pulang kerumahnya dan kigerot melamarnya, maka Sunti pun ho-oh aja.
Setelah menjadi istri kigerot, Sunti
masih menjadi penari ledek, karena di dukung oleh susuk ki gerot yang
ampuh, Sunti pun menjadi ledek yang laris dengan bayaran tinggi, dan
uangnya semua masik ke kantong ki gerot, membuatnya jadi orang terkaya
di kampung Degan.
Tapi sesuatu yang di lakukan di luar sunatulloh atau aturan hidup yang di atur oleh Sang Pencipta, maka adalah kerusakan.
Alloh taala melarang sesuatu, bukan untuk
kepentingannya, tapi untuk kehidupan tentram manusia, sebab sesuatu di
larang itu karena bahayanya lebih besar dari manfaatnya.
Seperti memasang susuk, karena Alloh melarangnya, maka itu adalah perbuatan yang membahayakan diri, dunia dan akhirat.
Di samping tidak bersyukur atas anugrah Alloh, juga terlalu tak menerima kodrat yang telah Alloh berikan.
Satu ketika, seperti biasa, Sunti di tambah lagi susuk intan di dagunya oleh kigerot.
Awalnya tak apa-apa, tapi selang tiga hari dagu Sunti membiru, dan Sunti kejang-kejang.
Ki gerot pontang-panting, membawa Sunti kerumah sakit, tapi pihak rumah sakit tak tau penyakitnya..
Sementara Sunti sudah berulang kali tak sadar, dan akhirnya Sunti meninggal dengan wajah lebam membiru.
Hari itu juga Sunti di kuburkan, dengan sederhana.
Namun esoknya semua orang kampung Degan, geger karena melihat makam Sunti kosong. Dan mayatnya hilang tak tau kenapa.
Awalnya yang tau adalah penggembala kambing yang biasa menggembala di area pemakaman.
Ketika dia tau bahwa kubur Sunti di bongkar orang.
Sebenarnya apakah yang terjadi? Malam itu
setelah siang tadi Sunti di kuburkan, kira-kira jam satu dinihari,
nampak pekuburan Sunti bergerak-gerak, asap tipis bau daging terbakar
menyeruak, tiba-tiba bleg..! Terdengar ledakan seperti petasan dalam
tanah, dan terlemparlah tubuh Sunti, seperti gedebok pisang tapi
langsung melayang pergi.
Sementara itu ketika jam menunjukkan jam
tiga seperempat, seorang perempuan tua tergopoh-gopoh, berjalan
melintasi jalan raya dekat pemakaman, orang biasa memanggilnya nyiyam,
seorang dukun beranak yang mendapat panggilan di desa karanglor, dia
harus melewati pekuburan Degan, ada rasa merinding di tengkuk nyiyam.
Perempuan umur enampuluh tahunan itu
menguatkan hati, memang dia rasa malam ini terasa sunyi, suara jengkrik
aja tak ada, atau suara katak setidaknya untuk menghiburnya.
Hanya suaru burung hantu, kadang dari
jauh terdengar satu, malam yang teramat mencekam, bulan di ataspun yang
tinggal seujung kuku seperti di selimuti warna hitam, walau tak ada
mendung, kabut tebal mulai turun, walau tak menahan jarak pandang, tapi
bagi perempuan tua setangguh nyiyam, itu bukan apa-apa, walau sebagai
manusia, rasa takut seperti menggelitik perasaannya.
Soal di goda hantu, perempuan tua ini
pengalamannya sudah tak terhitung lagi, dari di tiup obornya terus, di
lempar kekali, bahkan pernah di temukan warga di tengah-tengah pohon
bambu, sehingga warga harus mengeluarkanmya dengan menebangi pohon
bambu.
Keadaan teramat sunyi, hanya sandal jepit
tipis, yang sebagian sudah berlubang karena gesekan, terdengar
srek-srek, seakan paling berisik sendiri, ah entah telah berapa tahun
sandal ini menemani tugasnya. Melintasi malam, mengukur keihlasannya
menolong perempuan yang akan melahirkan, yang kadang hanya di upah
setandan pisang, atau cuma ucapan terimakasih saja.
Nyinyam mengetatkan selendangnya, ketika
dia rasakan bulu kuduknya makin meremang, ah makam juga sudah terlewati,
dan di depan adalah pos kampling, apa yang di takutkan, mungkin masih
ada yang jaga…, tapi kenapa seluruh bulu di tubuhnya berdiri semua,
nyiyam mempercepat langkahnya, apalagi di pos kamling jarak sepuluh
meter dia melihat bayangan orang dari mata rabunnya. Bajunya putih dan
sarungnya putih.
Nyiyam telah memutuskan, dia tak akan
menyapa pada petugas ronda, dan kalau dia di sapa akan menjawab, dan
kalau tak di sapa maka akan berlalu saja, tapi kenapa dia merasakan
makin merinding saja.
Tepat di depan bayangan yang ada di pos,
“mau kemana nyi…?” suara perempuan,
serrr…! semua bulu kuduknya berdiri tegak semua, kepalanya sampai terasa
keribo, bukan suara perempuan yang membuatnya merinding, walau itu juga
iya, tapi yang lebih membuatnya merinding adalah suara itu seperti
suara dari alam lain, bukan alam ini, tapi alam kegelapan.
“ss….ssa…s..siapa.,k..kau..?” nyiyam
merasakan lidahnya seperti selembar triplex yang di emutnya, kaku tak
bisa di gerakkan untuk mengeluarkan ucapan.
Perempuan di depannya ini menunduk,
rambutnya gimbal, dan masih ada tanah menempel. Sebagian rambut menutupi
wajahnya hingga tak terlihat.
“hii…hik…hihihh….” terdengar suara
tertawa yang teramat aneh, yang membuat kaki nyiyam gemetar. Bahkan
kencing pun merembes dari jaritnya ketika bau bangkai menyengat terbawa
angin, bau bangkai orang mati.
Walau bagaimana nenek tua ini masih berusaha tabah, untung ia ingat Alloh, setidaknya mengurangi, ketakutannya.
“kau ini siapa nduk?, kembalilah ke tempatmu nduk…?” kata nyiyam yang mulai kuat menahan batinnya.
“aku Sunti nyai…, aku tak di terima nyai…tolooong aku nyai…huhuu” suara perempuan itu mengguguk.
“aku tak bisa berbuat apa-apa, aku ini orang bodo…” kata nyiyam kemudian dalam hati membaca ayat kursi berulang-ulang.
“aduh nyai panas…panas… Aduuuuuh kau
apakan aku nyai..?” perempuan itu menjerit dan tubuhnya seketika
melayang keatas, dan melayang pergi sambil ketawa hahahihi.
Sejak malam itu, rumah ki gerot pun di
ganggu dan di teror Sunti yang krambyangan, sampai karena sudah tak
kuat, dukun yang anti ngaji itupun mengundang orang-orang untuk mengaji
di rumahnya, sampai gangguan dari Sunti tiada lagi.
“Maukah kau ku sempurnakan?” tanyaku pada sunti.
“hihi….bocah bau kencur …mau melawanku, hiiihii….!”
Aku tanpa kata lagi jariku kuputar, seakan melingkarinya lalu kutulis bak di tengah, seketika.
“hai apa yang kau lakukan padaku?” tanyanya, karena tubuhnya terkurung.
Lalu kubaca basmalah tiga kali, tahan
nafas, kullu saiin halikun illa wajhah. AllahuAllahu. Allahu akbar!!,
tangan yang telah tersaluri tenaga dari pusarku ku hantamkan berbareng,
dengan tapak tangan terbuka kearah Sunti, dan hlukgh!!, terdengar
ledakan kecil, dan sebuah asap mengepul, bersatu tersedok ke satu titik
lalu lenyap.
Mungkin sudah jam tiga pagi, aku segera
melesat, diatas desaku, melesat kucepatkan, aku ingin mencoba paling
cepat les.. Kurasakan aku telah ada dalam tubuhku sendiri. Dan kulihat
jam tanganku, jam tiga seperempat.
Aku menata bantal dan tidur, ah pengalaman rogo sukmo pertamaku. Lumayan mengesankan.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda