“Harapan dan angan-angan itu sangat
berbeda sekali, harapan itu selalu dari sisi kebenaran dan akherat atau
Alloh, tapi kalau angan-angan atau hayalan itu dari sisi dosa, dan dunia
contoh seseorang tak akan menyukai istri orang lain, itu namanya
khayalan, kemudian di bawa hayalan itu di pikiran di pupuk dengan aneka
gambar nafsu, tapi jika kemudian hayalan itu di buktikan atau di usung
kepada kenyataan maka akan bernama perselingkuhan, zina, padahal apa
yang di kenyataannya tak enak, itu kalau di angan-angankan akan
seakan-akan nikmat sekali, seperti orang ingin bakso, tapi baru habis 1
mangkok sudah lantas tak mau lagi, padahal semalaman tak bisa tidur
karena menghayalkan dan menginginkan bakso itu di bayangkan di makan
segigit demi segigit, tapi setelah di rasakan ya nikmatnya tak
seberapa.”
“Sebaliknya harapan itu selalu
berhubungan dengan akherat, atau perbuatan mulia, atau ridho Alloh,
misal seseorang tak akan menyukai atau berharap agar orang yang sudah
punya suami itu menjadi miliknya, sebab memang bukan miliknya, dan bukan
haknya, antara harapan dan angan-angan itu sama-sama belum terjadi,
tapi secara prakteknya dan jalur keluarnya beda. Walau secara bentuk
tempat keluar sama dalam artian seperti dua paralon. satu mengeluarkan
limbah, dan satu mengeluarkan air bersih.”
“Jadi orang yang menyukai saya itu tak benar kyai?” kata Dewi.
“Ya, dan lebih baik di hindari.”
“Lalu bagaimana solusi anak saya dengan suaminya kyai?” tanya ibunya Dewi.
“Itu suaminya berapa kali sebulan pulang ke rumah?” tanyaku.
“Biasanya sebulan datang sekali, itu juga tak menyentuh saya sama sekali, hanya sama anak-anak.” jawab Dewi.
“Apa mungkin dia punya penyakit?” tanyaku lagi.
“Iya itu yang selalu di jadikan alasan kenapa dia tak mau menyentuh saya.” jelas Dewi
“Lalu penyakitnya apa?”
“Dia punya penyakit di rusuknya, kalau
kambuh ya katanya nyeri sekali, sudah di obatkan kemana-mana kyai, tapi
sampai sekarang malah makin parah saja.”
“Begini saja nanti kalau suaminya pulang, di bawa kesini saja, biar aku bicara sama dia.”
“Dia seorang insinyur kyai, sepertinya akan susah bicara dengannya, dia selalu mengutamakan logika.” jelas Dewi.
“Iya tak apa-apa, bawa saja dia kemari.”
“Baik kyai kalau begitu nanti akan saya bawa kesini, kami minta diri saja.” kata Dewi.
———————–
Seminggu kemudian Dewi datang lagi
membawa suaminya, seorang pemuda yang berkulit kuning, tinggi sedang, di
wajahnya ada sedikit keangkuhan, aku juga tak heran jika seseorang
bekerja sebagai seorang manager sebuah perusahaan besar, itu biarlah
menjadi pembawaannya, dia mengenalkan diri bernama Suryo Wisanggeni,
nama yang aneh menurut penilaianku, mengingat nama adalah do’a setiap
kita memanggil orang yang mempunyai nama indah, maka akan seperti
mendo’akan orang yang kita panggil.
Aku sebelumnya telah memberitahu Dewi
agar suaminya di bawa ke rumahku dengan alasan mau di obatkan penyakit
di rusuknya yang nyeri, yang menurut Dewi bahwa penyakit itu telah di
bawa berobat ke dokter atau ke shinse, atau paranormal terkenal, tapi
tak juga sembuh.
Ketika Suryo menatapku, aku melihat pancaran keraguan di wajahnya, sebab aku memang selalu terlihat kecil tak berdaya.
“Sakitnya apa mas?” tanyaku ku tujukan pada Suryo.
“Aku sakit di rusuk sebelah kiri.” kata Suryo.
“Lalu sudah di obatkan di mana saja?” tanyaku.
“Ah sudah pegel aku nyari obatnya mas.”
“Apa sama sekali tak ada perubahan?” tanyaku.
“Sama sekali tak ada mas, tapi ada satu
yang menjadikanku agak enak, yaitu minum darah ular kobra, maka beberapa
hari sakitku seperti hilang, tapi seminggu kemudian aku sakit lagi,
lalu aku konsumsi darah ular kobra lagi, maka sakitku pun mendingan
lagi, dan seminggu kemudian sakit lagi, dan mulai ku hentikan, ketika di
tubuhku banyak timbul benjolan-benjolan,” kata Suryo sambil menunjukkan
benjolan di lengan, pundak, punggung, dan di bagian tubuh yang lain.
“Apapun walau pengobatan sekalipun kok
itu dari hal yang di haramkan Alloh, maka pasti ada akibat buruknya, dan
juga ada akibat baiknya, tapi akibat buruknya lebih mendominasi.”
“Lalu penyakitku ini bisa di obati tidak?”
“Ya semua penyakit bisa di obati. Cuma
kadang suatu penyakit itu harus di diagnosa dulu, agar penyebab penyakit
bisa di ketahui, dan solusi obat bisa di tepatkan dalam mengobati, jadi
tak asal, kalau asal saja mengobati ya tak akan sembuh, karena penyebab
penyakit tak di potong akarnya.”
“Memangnya bisa di diagnosa.” tanya Suryo ragu.
“Mendiagnosa penyakit sebenarnya
gampang-gampang susah, begini saja, kalau menurutku segala penyakit itu
pemberian Alloh, kadang dengan maksud menegur, seperti kenapa sampean
penyakitnya di rusuk, kenapa tidak di mata, atau di jempol, atau di
tempat lain? Kenapa di rusuk? Sampean mestinya orang cerdas, wong
sekolahnya tinggi, la saya malah ndak pernah sekolah.”
“Maaf, apa bisa penjelasannya tidak muter-muter?” kata Suryo.
“Begini, manusia itu kan di ciptakan
Alloh, itu mau di akui atau tidak di akui, manusia itu tetap penciptanya
adalah Alloh, juga segala pengaturan hidupnya itu di bawah cengkeraman
Alloh, bahkan orang yang Alloh kehendaki mati, ya pasti mati, sekalipun
dia lari bersembunyi di lubang semut sekalipun, maka akan tetap nyawanya
bisa di cabut oleh malaikat maut, juga Alloh memberikan penyakit di
tempat-tempat tertentu, agar kita sadar isyarat yang Alloh berikan lewat
penyakit itu, namanya membaca khalil akhwal, membaca kehendak Alloh
mencangkup segala kejadian itu ada maksudnya, seperti penyakit sampean
yang kenapa di letakkan di rusuk, kenapa rusuk yang sakit?, kenapa tidak
di tempat lain?, padahal bisa saja sakit di tempat lain, karena wanita
itu di ciptakan dari rusuk lelaki, dan jika seorang suami itu mendzolimi
istrinya, maka akan di letakkan penyakit di rusuk lelaki itu agar suami
menyadari kekeliruannya, iya bisa saja jika di obatkan penyalit itu
akan sembuh, tapi jika suami tak mau menyadari kekeliruannya, dan
meminta maaf pada istrinya, maka di jamin penyakit itu akan
datang-datang lagi, sebab akar permasalahannya penyakit tidak berusaha
di selesaikan, obat ampuh seharga jutaan bahkan trilyunan apa bisa
mengalahkan kehendak Alloh?”
“Iya memang kalau di pikir-pikir memang masuk akal.” jawab Suryo.
“Ya sekarang di hubungkan pada kenyataannya, apa yang ku katakan itu benar apa tidak?” tanyaku.
“Iya memang benar mas”
“Nah sekarang mas Suryo ini pengen sembuh atau tak pengen sembuh?” tanyaku.
“Iya saya pengen sembuh.” jawabnya.
“Kan mudah, tinggal minta maaf sama
istri, lalu nanti soal kesembuhan biar ku do’akan, bagaimana? Nanti di
lihat sembuh apa tidak? kan bisa di buktikan. Bagaimana? Ingat meminta
maafnya yang tulus, dari lubuk hati terdalam, dan jika kembali
mendzolimi istri, ya saya sendiri tak bisa menjamin jika penyakitnya tak
kembali lagi, nah sekarang ku tinggal sama istri, silahkan saling
mema’afkan.” kataku lalu berdiri dari kursi dan membiarkan dua orang itu
mencurahkan hatinya.
Seperempat jam kembali aku ke ruang tamu, dan kedua orang itu saling berpelukan dan saling mengakui kesalahan.
“ehmm..!, bagaimana mas Suryo? Sudah minta ma’afnya?”
“Sudah mas..” kata Suryo dengan air mata masih berlinang.
“Sudah yang lalu jangan di ungkit-ungkit,
sekarang mulai membuka lembaran baru, saling terbuka sesama suami
istri, bagaimana rasa sakit di rusuknya mas?” tanyaku.
“Alhamdulillah sudah enakan mas…,”
“Ingat jangan lagi mendzolimi istri,
jadilah pasangan yang saling melengkapi, saling terbuka dan saling
mengerti, dunia kalian berdua, adalah dunia kalian berdua, buatlah dunia
kalian berdua senyaman dan sebahagia sesuai yang kalian harapkan,”
“Kami sangat berterima kasih mas, dan
kami tak bisa membalas dengan apapun yang lebih berharga dari apa yang
mas lakukan pada kami berdua,” kata Suryo.
“Bagiku kalian saling rukun dan saling
sabar menghadapi cobaan hidup, itu lebih dari cukup, sehingga tak
bertambah lagi anak yang menjadi tersia-sia, kurang perawatan dan
perhatian, karena orang tuanya berpisah, lalu anak tak mendapat kasih
sayang, lalu tentu saja akan mempengaruhi kejiwaannya, yang pada
akhirnya akan menyusahkan orang lain.” jelasku.
——————————————-
Beberapa hari kemudian Dewi dan Suryo datang dengan kedua anaknya, ku lihat mereka sudah rukun.
“Kedatangan kami ke sini, yang pertama
mau mengucapkan terima kasih, dan yang kedua kok waktu air dari kyai itu
kami pel kan rumah, kok kedua anak kami sakit panas sehari, itu kenapa
kyai?”
“Wah aku juga ndak tau, aku tidak semua
tau, tapi itu biasanya, jin yang ada di rumah membuat serangan karena
mereka merasa di usir.”
“Jadi tak masalah kyai?”
“Tak apa-apa, la sekarang rumah kalian rasanya bagaimana?”
“Alhamdulillah rasanya tentram kyai.”
“Ya itu sudah bagus, segala sesuatu itu
yang penting hasilnya, bagaimanapun cara, itu hanya cara, semua
tergantung hasilnya baik, atau tak baik, jadi jangan takjub dengan cara
aneh-aneh untuk menyelesaikan masalah, jika hasilnya tak baik juga untuk
apa perlunya cara yang aneh.” jelasku.
“Iya kyai kami mengerti.”
“Lalu bagaimana penyakitnya mas Suryo?” tanyaku.
“Alhamdulillah sudah baikan mas, juga benjolan-benjolannya kok sudah kempes.”
“Syukur kalau begitu, tapi ingat sama istrinya yang baik.”
“insaAlloh mas… do’anya, semoga saya tak mudah lagi tergoda..”
“Ya harus dari kemauan diri juga mas,
misalkan mau nikah lagi lakukan dengan cara yang benar, ijin istri,
kalau istri tak mengijinkan ya jangan maksa. Wong semua wanita itu
rasanya sama, seperti makanan kalau sudah masuk perut, mahal atau murah
di perut tiada beda, yang membedakan wanita itu kesolihannya, jika
sholekhah ya akan menjadi penerang rumah tangga, jika di tinggal maka
akan menjaga harta dan kehormatannya, selalu membantu suami seperti
tangan satu dengan tangan lainnya, tangan satu memakai jam tangan,
tangan lainnya memakaikan, tak masalah tangan lain itu tidak ikut di
lingkari jam, sebab kehormatannya sudah terbawa oleh tangan satunya,
istri yang solekhah juga penentu mutu anak nanti akankah menjadi anak
yang kasar atau anak yang lemah lembut, penuh kasih, jika sang ibu suka
membentak, maka akan mempengaruhi detak jantung anak, jadi anak akan
lebih cepat detak jantungnya, dan akan lebih cepat pemompaan darahnya,
secara otomatis anak akan menjadi kayak motor ngebut, apa-apa serba
ingin buru-buru, apa-apa ingin cepat selesai, tapi jika ibu itu lemah
lembut , mengutamakan pengertian, menasehati dari hati ke hati, maka
anak juga akan dewasa berpikir, penuh perhitungan, menjalankan segala
sesuatu dengan kehati-hatian, Ayah ibu yang suka cekcok, mendahulukan
ego, saling pengen menang sendiri, sering banting pintu, maka akan
menjadikan anak juga suka menang sendiri, jadi pelajaran dalam keluarga
itu akan menjadikan anak nantinya akan menjadi seorang garong, atau
seorang yang berjiwa lemah lembut, dulu ibuku semasa aku kecil, suka
menceritakan, kisah para sufi, kisah para ulama’ besar, seperti kisah
syaikh Abdul qodir jailani, atau syaikh Abu khasan Assadzili, atau
robi’ah adawiyah, ketika aku mau tidur, itu sangat mempengaruhi kejiwaan
anak, sehingga tidak matrialis, tidak tamak, rakus, loba, dan akan
dengan sendirinya terpatri dalam ingatan, lalu perlahan menjadi
suritauladan yang harus di anut, dan menjadikan anak punya pikiran yang
dewasa, maka itu di biasakan, apalagi di jaman ini berbagai tontonan
yang tak mendidik mudah sekali di ikuti oleh anak, dan gaya-gaya an,
hanya karena mengikuti teman-temannya, ujung-ujungnya kerusakan.”
“Makasih kata petuahnya pak.”
“ya sama-sama, ini juga menasehatiku”
Kedua orang itupun pulang, sedikit
mungkin yang aku beri, tapi dalam hatiku, aku tak akan berhenti untuk
berbuat baik untuk orang lain, bukan karena aku merasa pintar, tapi aku
merasa jika aku mengandalkan amalku sendiri, maka aku sama sekali tak
punya amal ibadah apa-apa, karena aku merasa belum ikhlas dalam beramal,
dan masih jauh dari akan di terima Alloh, kalau aku tak menanam modal
amal dengan mengajak orang lain menjadi baik, maka aku akan mati dalam
kerugian yang nyata.
Di manapun, kapanpun, bagiku tak ada kata
berhenti, untuk mengajak pada kebaikan, agar aku bisa menanam modal
amal pada orang yang ku ajak, soal merela mau atau tidak mau itu bukan
lagi urusanku, tapi kuasa Alloh, aku hanya melaksanakan perintah Alloh
“wa’mur bil urfi, wanha ‘anil mungkar” perintah kebaikan dan cegah
perbuatan merusak, tak perlu dengan kekerasan, tapi dengan kasih sayang,
dengan kelembutan, dengan bukti nyata kebenaran itu adalah mendamaikan,
dan keburukan itu merusak, dengan alasan apapun, merusak itu tak benar,
dan mengajak orang lain dengan membakar, merusak, menghancurkan, dengan
kemarahan, sama sekali tak akan di ikuti, malah orang akan antipati,
dan benci, aku hanya ingin menjadi air bening, yang tak menyembunyikan
batu di dasar sungai, semua wajar, batu terlihat jelas, orang yang
melihat, tak rela jika tak meminum airnya, dan merasakan kesegaran
merambati tenggorokan, dan orang yang telah minum akan merasa ingin
mencuci muka, dan orang yang mencuci muka akan berhasrat untuk mandi.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda