Sebagian orang ingin membunuh sepi,
dengan tikaman paling sederhana, lalu sepi mati dan tak pernah datang
lagi selama hidupnya, tapi sebagian pejalan pencari hakikat selalu
mencari sepi seperti mencari anak yang hilang, yang sangat di kasihi,
yang bisa mencerai beraikan hati, sekaligus juga manautkannya. Sebab
hanya dengan kehilangan yang fana hati bisa menemukan yang kekal.
Sukmaku segera membumbung, melesat
melintasi gunung batu dan malam yang membeku, laut yang mencair, dan
perahu yang mencari harapan, setiap nafas itu adalah perjuangan, atau
keterbuangan hembusan tanpa makna, tanpa aksara, sampai juga di satu
pemakaman umum, dan satu makam di keramatkan, dan orang mencari serpihan
harapan yang mungkin di tinggalkan orang yang telah mati atau di tindih
tipuan salah satu tipu daya dari sekian banyak tipu daya setan yang
telah di rancang sedemikian rupa untuk menyesatkan manusia pada puncak
ketersesatan.
Aku juga tak tau kenapa aku tertarik ke
arah yang tak ku mengerti, lalu aku melesat lagi sampai ke masjid tua,
yang lantainya dari papan kayu, yang sudah halus di elus kaki-kaki yang
mengurai harapan, dari sisi yang di yakini kebenarannya, ku lihat orang
ramai sholat, aku sekalian mengambil wudhu dan ikut barisan jama’ah,
sekalian sholat isya’ yang belum ku tunaikan.
Tak ada seorangpun yang melihatku,
selesai sholat aku mengkonsentrasikan tujuanku, tapi aku malah terseret
ke arah air terjun kecil, lalu baru melesat lagi dan berhenti di dekat
pohon sawo tua, ku lihat jin lebih tinggi dari pohon sawo tua, mungkin
tingginya ada sepuluh meter lebih, aku mengitarinya dengan melayang di
udara.
Ku lihat tubuhnya biru tua, bukan hijau,
tapi biru ke arah ungu, matanya merah menyala, tak ada taring, tapi
lengannya sebesar pohon kelapa, aku yakin perwujudannya seperti itu
karena sifat yang di milikinya, bibirnya basah oleh darah, entah darah
siapa, tiba-tiba tangannya mengibas menyerangku, aku menghindar, dan
berkali-kali aku di serang, aku berkelit seperti burung srigunting,
meliuk di antara ketiaknya yang bau bangkai, dan membuatku merasa mual
mau muntah, aku mencoba mengitarinya dengan ikatan gaib tak terlihat
yang ku bangun dengan lafad Ba’, seperti jaring laba-laba, berulang kali
ku kitari tubuhnya, dan setelah dengan susah payah ku ringkus, aku
menyeretnya, ku seret sepanjang perjalanan, dia menyumpah-nyumpah dengan
bahasa sunda yang tak ku mengerti, ku seret terus sampai di pinggir air
terjun. Dan ku ikat kuat-kuat di akar-akar pohon yang menjuntai. Lalu
ku pukul telak dengan petir yang ku bayangkan tercipta dari takbir, dia
pun pingsan. Lalu aku pun melesat pergi lagi. Setengah jam ku tempuh
perjalanan jauh, dan sampai di tubuhku, kamar telah sepi, Safi telah
tertidur sambil mengigau-ngigau, aku pejamkan mata, mengucap syukur,
Alloh telah mempermudah dan memberi ijin tugasku. Dan aku berangkat
tidur, setelah ku lihat jam di meja menunjukkan jam dua dini hari.
Jika segala masalah selesai semudah
pembuat roti mencampur tepung membuat adonan roti, dan semangat karena
hasil akhir yang di harap kenikmatan merasakan setiap gigitan, walau
nafsu itu sesepele makanan melintasi lidah dan semua telah tak bisa di
bedakan jika telah di keluarkan, nilai nafsu sebenarnya tak sebernilai
ketika di banding perjuangan memuaskan kepuasannya.
Perjuangan yang meneteskan setiap
keringat dari pori-pori, dan di nikmati lebih cepat dari kedipan mata,
dan selalu rasa bosan itu meraja, sekalipun seorang lelaki jatuh bangun
memperjuangkan gadis yang siang malam di mimpikan, tak akan lama juga
akan bosan jika telah di raihnya.
Dan jika hal itu tidak juga di sadari, maka manusia hanya mengulang-ulang kisah yang sama di waktu dan kondisi yang berbeda.
——————————————-
Toni masuk kamarku dengan wajah yang tak bersemangat seperti biasanya, bahkan ku candai dia tak tertawa.
“Kenapa, kok murung amat..?” tanyaku datar, sambil memainkan game Bubblet.
Arif, Ibnu, Heri, Fathur, menyusul masuk, semua pada tertawa ngakak.
“Ada apa kok pada ketawa?” tanyaku heran.
“Ini mas si Toni sudah dapat foto dari perempuan yang di ajak telpon-telponan.” jelas Arif.
“Bener Ton? Coba sini aku lihat…!” kataku.
“Udah ku hapus.” jawab Toni.
“hahahahah jelek banget mas..” sela Ibnu.
“Lebih jelekan dari Kunti, ampun deh, tua, monyong, hitam, aku malah jadi merinding melihatnya, hahahaha…” canda Arif.
“Ah yang bener, apa separah itu…? Coba mana Ton…”
Toni mengulurkan hape lipatnya, lalu ku buka.
“Di mana kamu nyimpennya?” tanyaku.
“Ya masih di inbox sms.” jawab Toni.
Ku buka inbox dan memang perempuannya
jelek banget, sudah hitam, gemuk, mulutnya kayak omas, rambutnya di
lepas memang kelihatan serem.
“Ya kan ada baiknya Ton, kamu tau sebelum
terlambat, setidaknya kamu kan tidak yang-yangan setiap malam, sudah
habis pulsa banyak, ee taunya perempuannya kayak gitu, emakmu saja gak
bakal ridho kamu kawin sama orang kayak gitu.” jelasku.
“Di ikat di bawah ranjang untuk nakutin tikus mas…” canda Ibnu.
“Ah itu pasti bukan foto asli.” bantah Toni.
Semua terdiam, memang bisa jadi bukan foto asli.
“Ya untuk membuktikan kan mudah, misal itu foto orang lain, ” kataku.
“Caranya bagaimana.?” tanya Toni.
“Ya bilang ke perempuan itu, kalau itu
bukan foto asli, lalu minta foto baru, foto yang setengah telanjang,
atau telanjang sekalian, jika itu yang di foto orang lain, apa mungkin
mau di minta foto telanjang?”
“Terus kalau dia tak mau?” tanya Toni.
“Ah gampang itu aku yang atur, dia pasti
mau, ya maksudku, biar jelas sekalian, daripada uang kamu habis untuk
hal yang tak karuan juntrungnya, telpon-telponan sama cewek mulu, aku
dengar saja telinga rasanya gatel…”
“Lalu caranya bagaimana?” tanya Toni.
“Sekarang kamu telpon saja, minta foto
yang baru, untuk membuktikan foto itu asli, maka kamu minta foto yang
setengah telanjang, atau yang telanjang.” jelasku.
“Kalau dia tak mau?” tanya Toni.
“Ya langsung saja tutup hapenya…, nanti
kalau dia nelpon lagi biar aku yang jawab.” jelasku. Udah ku jamin dia
mau ngasih foto yang telanjang. Memang aku kalau lagi ngacau, lebih
ngacau dari siapa saja.
Toni menelpon, dan pasti jawabannya
perempuannya marah-marah, dan tak mau memberi foto telanjang. Toni
menjawab akan memutuskan hubungan. Hape di tutup sama Toni.
Aku kasihan sama Toni, dia sudah 4 tahun
di Saudi, dia kerja di Saudi karena ibunya bekerja jadi pembantu di
rumah manajer pabrik semen, makanya dia walau umurnya di bawah duapuluh
tapi bisa bekerja di pabrik semen, tapi gara-gara telponan sama TKW,
gaji bulanannya ludes, bukan masalah membeli pulsa, tapi TKW yang selalu
ngajak telponan selalu minta di kirimi pulsa, kalau ndak ngirim akan di
putuskan, ya anak muda seumuran Toni ya jelas susah melepaskan
kesenangan walau cuma mendengar suara cewek yang mendesah-desah.
Sebab kadangkala orang yang kesepian
cenderung di bisiki syaitan sampai mempunyai kelainan hayalan. Dari
mendengar desahan saja bisa membangkitkan birahi, ya ujung-ujungnya
melakukan onani yang merusak badan dan pikiran, sekalipun aku tak bisa
menghentikan kebiasaan buruk orang-orang itu, setidaknya aku berusaha.
Bahkan dari usaha yang buruk sekalipun, jika tidak tercatat sebagai amal
baikku di sisi Alloh, tak apa-apa, asal teman-temanku bisa utuh
uangnya, bisa mengirimkan kepada orang yang lebih berhak, yaitu istri
dan anak atau keluarga mereka. Bukan di berikan kepada orang yang bicara
di hp yang ah-uh tak karuan
Lama juga kami menunggu hape Toni bunyi lagi, tak juga bunyi. Safi masuk, sambil nelpon dengan suara perempuan, semua tertawa.
“Fi… udah kasihan, jangan seperti itu, matikan hape nya.” kataku. Safi segera mematikan hape nya.
“Coba panggil pak Bunawi ke sini…” kataku pada Arif. Yang segera beranjak ke kamar pak Bunawi.
Sebentar kemudian pak Bunawi muncul di sertai Arif.
“Pak Bun… pak Bun suka telpon telponan sama cewek ya?” tanyaku pada orang tua berumur 55 tahun itu.
“ah gak juga…” jawab pak Bun.
“he pak Bun, cewek yang pak Bun telpon, dan pak Bun kirimi pulsa itu bukan cewek beneran.” kataku.
“Tidak kok itu cewek, kami malah mau ketemuan kalau aku cuti nanti, kami mau ketemuan di Indonesia.” jawab pak Bun.
“Wah bisa pedang ketemu pedang, gini pak Bun, yang pak Bun telpon itu sebenarnya Safi.” jelasku.
“Lhoh kok bisa nomer cewek itu ada di Safi?” tanya pak Bun tak mengerti.
“Bukan nomernya ada di Safi, tapi itu ya Safi itu…” jelasku. “Coba Saf, kamu telpon pak Bun biar aku tak banyak menjelaskan.”
Safi pun menelpon pak Bun, dan hp pak Bun
pun bunyi tanda ada telpon masuk, lalu di angkat oleh pak Bun, dan Safi
bicara dengan suara perempuan, pak Bun gemetar.
“Bagaimana pak Bun? Sudah percaya dengan
ucapanku? Sudahlah kembali ke tujuan awal, ke Saudi itu untuk mencari
uang, bukan untuk menghabiskan uang untuk mengisi kesepian, ya kalau
sudah jauh-jauh ke Saudi, tapi malah pulang tidak bawa uang, hanya habis
untuk telpon telponan, mending pulang, kerja kumpul keluarga, biar
pendapatan sedikit asal berkah, daripada sudah jauh anak istri, tapi
malah hati tak tenang, namanya tak kuat cobaan dan ujian.” kataku dengan
halus menjelaskan.
Pak Bun salah tingkah, ya tak apa-apa
daripada terlanjur kemana-mana, aku harus menjelaskan kebenaran, semoga
nantinya di jadikan pelajaran, walau aku sendiri tak berharap banyak,
sebab kebanyakan manusia selalu kalah oleh nafsunya.
Hanya orang yang selalu sadar, dan ingat
akan selamat, eleng lan waspodo, sebab tipuan nafsu itu memang sulit di
lawan, nafsu itu seperti duri dalam daging ikan, jika tanpa duri,
nyatanya ikan itu butuh duri, tapi jika memakai duri maka ikan akan
sulit jika mau di makan.
Seperti tulang di tubuh manusia, jika
tanpa tulang, jelas manusia itu akan lemes seperti plembungan kempes,
jadi membutuhkan tulang, tapi karena ada tulang maka manusia jadi patah
tulang dan kalau di pukul jadi benjut.
Nyatanya manusia itu butuh nafsu, agar
punya semangat hidup, mengejar bayangan yang ingin di raih, tapi juga
karena nafsu manusia punya sifat pembunuh dan suka menghalalkan segala
cara untuk meraih apa yang harapkannya.
Suara hp Toni bunyi, dan di lihat ternyata ceweknya itu yang nelpon, namanya sih keren, Cintia, aku angkat.
“Halo mas Toni…” suaranya mendayu-dayu kayak ayunan.
“Maaf mbak ini siapa?” tanyaku.
“Mas Toninya ada?”
“Ada mbak, ini lagi di pegangi temen-temennya.” jawabku asal sambil memberi isyarat jari agar yang lain jangan ribut.
“Memangnya kenapa?” tanya dari Cintia
“Gak tau mbak, tadi ngamuk-ngamuk,
pelernya sendiri di pukul-pukul pakai batu bata, sampai setengah
hancur.” jawabku ngawur. “Ini juga di pegangi berusaha berontak, maunya
katanya ngancurin pelernya sendiri, tadi sih bilangnya sedikit-sedikit
katanya biar tak di miliki perempuan, gak tau maksudnya apa, kasihan
juga, dia jerit-jerit…” ku kasih isyarat pada yang lain agar membantu
membuat suara gaduh.
“Pegangai tangannya, jangan sampai narik pelernya lagi.” kata Arif.
“Kakinya-kakinya jangan di lepas…” kata Safi.
“Darahnya itu jangan netes di kasur.” kata Ibnu.
“Aduuuh lepas…lepas… biar aku mati saja” kata Toni..
Suasana jadi ramai, ada yang menggebrak meja, ribut amat, macam menangani orang gila yang lepas.
“Percuma aku hidup..” kata Toni.
“Awas dia mau gigit lidahnya, janggel giginya dengan sepatu.” kataku menambahi.
“Mas…! , maass.. ada apa sebenarnya?” kata Cintia panik.
“Ya gak tau tadi habis telponan kok jadi
kayak orang kerasukan, apa tadi nelpon minta apa ke ceweknya gak di
kasih, jadinya setengah edan gini…. ambil tambang ikat di pohon..”
kataku seakan mengalami hal yang sebenarnya. Di selani teriakan semua
temanku ramai, padahal kami lagi nongkrong santai di dalam kamar.
“Iya… iya mas bilang aku mau ngasih apa yang dia minta, jangan menyiksa diri.” kata Cintia panik.
“Mau ngasih apa mbak?” tanyaku pura-pura tak tau.
“Udah pokoknya bilang sebentar lagi ku kirim..” jawab Cintia.
“Oh iya mbak akan ku kasih tau, he Ton…
udah jangan ngamuk, mbak ini mau ngasih apa yang kamu minta…. hee jangan
biarkan Toni pegang bata itu… ambilkan obat merah.” kataku. Dan hape
Cintia di matikan.
Sungguh sandiwara yang aneh… memang sesuatu yang serba bayangan harus menyelesaikannya dengan bayangan.
Sepuluh menit kemudian ada kiriman MMS masuk di hape Toni, dan tetap foto wanita itu yang terkirim dalam keadaan telanjang.
“Nah sekarang bagaimana Ton, apa mau di
lanjut, kamu kirim pulsa ke cewek itu, atau mau kamu nikahin atau
bagaimana, sekarang sudah ku tunjukkan kenyataan.” kataku mengingatkan.
“Rasanya masih tak percaya kalau dia sejelek itu, padahal suaranya merdu habis.” kata Toni lemes,
“Dunia itu tak sesederhana itu Ton, dalam
agama saja seorang lelaki tak harus asal cantik saja mencari pendamping
hidup, nabi mengajarkan, kalau mencari pendamping hidup yang bernasab,
nasabnya baik, bukan anak zina yang gak jelas bapaknya, juga kalau bisa
yang kaya, kalau bisa yang cantik, dan kalau bisa yang sempurna
agamanya, kalau cantik terus di tinggal sebentar sudah di bawa kabur
lelaki lain kan juga makan hati. Jadi cari yang jelas jangan yang cuma
lewat hape, moroti uangmu, kan uang kamu bisa di belikan sawah, nanti
pulang dari Saudi bisa di garap sawahnya atau di garapkan orang lain,
atau di belikan sapi atau kambing, di suruh merawat orang, nanti kan
bisa di jual, daripada kamu kasihkan orang yang tak jelas gitu… apa kamu
mau di Saudi sampai tua?”
“Iya mas…, memang aku sudah habis banyak,”
“Iya kamu ngirimi dia pulsa tiap hari,
dia jual pulsa itu pada temannya di sana, insaf, mending nanti pulang
cuti, nikah sekalian.” kataku.
“Iya makasih mas…, mungkin kalau mas tidak mengarahkan, aku akan makin habis-habisan.” kata Toni.
Pabrik semen punya tiga cabang tempat,
yang dua di daerah Bissa, dan Tahamah. Dan ketiga pabrik itu penulis
kaligrafinya cuma aku, jadi satu saat bisa saja aku di kirim ke Bissa
atau ke Tahamah. Di Bissa menurut teman-temanku daerahnya dingin, jadi
biasanya yang pulang dari sana bibir akan pecah-pecah, dan kulit ari
pada terkelupas, karena hawa dingin dan matahari terik, jadi orang kayak
kena penyakit panas dalam.
Sedang di Tahamah adalah pabrik baru yang
baru di bangun, juga baru selesai, jadi amat membutuhkan banyak tulisan
kaligrafi, entah untuk pintu kantor, nama-nama manager dan nama vila,
sampai papan rambu jalan.
Sepertinya dalam waktu dekat aku akan di
kirim ke Tahamah, teman sepenerbanganku sudah di kirim ke Tahamah,
namanya juga pabrik baru, jadi segala fasilitas belum selengkap pabrik
lama, aku akan sering di kirim untuk mengerjakan pekerjaan kaligrafi,
dengan sistim kirim dan balik lagi, tak seperti yang lain tinggal
menetap. Memang resiko pekerjaan, kerjaan ringan tapi wira-wiri.
——————————————-
Muhsin datang ke kamar, sambil menenteng tas kresek.
“Ini mas ada titipan dari Mabrur, dia
tadi siang main ke tempatku, dan mengucapkan terima kasih karena
masalahnya sudah beres.” kata Muhsin.
“oo ya syukur kalau begitu.”
“Saya juga mau mulai puasa mas.”
“Ya bagus, puasa itu untuk tempat lahan
ilmu, puasa itu untuk membersihkan tanah hati, jika mau di tanami ilmu,
maka puasa, seperti tanah mau di tanami padi maka di bersihkan dari
rumput dan batu, juga di cangkul, agar di dapat kesuburan yang di dapat,
biji-biji fadhilah dari Alloh akan tumbuh dengan subur, lalu di siram,
di pupuk dan di istiqomahi dengan dzikir, kapan mulai puasa?” tanyaku
kemudian.
“Baiknya kapan mas?” tanya Muhsin.
“Kapan saja tak masalah, ingat ikhlaskan
dalam menjalankan, jangan punya pamrih apa-apa, jangan punya keinginan
pengen bisa sesuatu, laksanakan dzikir karena memenuhi perintah Alloh
wadzkurulloha katsiro, ingatlah Alloh sebanyak-banyaknya, banyak menurut
Alloh tak terbilang menurut manusia, di akherat saja sehari sama dengan
limaratus tahun di dunia, dan jangan mengeluh waktu dzikir, jangan
membuat kalkulasi, dzikir segini selesai segini jam, sebab dalam dzikir
itu tak bisa di kalkulasi, hitungan penetapan itu hanya agar seseorang
itu istiqomah, walau di dalamnya menyimpan banyak rahasia, tapi jangan
mengkalkulasi dzikir dengan itungan jam dan ketetapan waktu, sebab Alloh
sendiri membuat penekanan, wayarzuqhu min khaisu la yakhtasib, Alloh
memberi rizqi dalam artian umum, sebab rizqi itu bukan cuma harta, tapi
juga waktu, kesempatan dan berbagai macam, itu dengan arah yang tak
dapat di prediksi, di hitung, di khisab, makanya ada istilah to’yul
wakti, atau melipat waktu, seperi Nabi SAW, mi’roj ke langit tuju sampai
sidrotul muntaha, hanya memerlukan waktu satu malam, kalau di
perhitungan dengan ilmu paling canggih di jaman ini, mungkin langit satu
saja butuh waktu jutaan tahun perjalanan kecepatan cahaya baru sampai,
cahaya matahari yang sampai ke bumi bukan cahaya yang di hari ini, tapi
cahaya yang ribuan tahun silam, makanya kalau sudah unsur Alloh, maka
tidak bisa di hitung dengan perhitungan manusia, sebab Alloh itu
menjadikan yang mustahil di pemikiran manusia menjadi sesuatu yang
nyata, kalau diri masih eyel-eyelan dengan kekuatan akal sendiri, maka
tak akan keluar dari kemuskilan, sebab masih menyandarkan pada kekuatan
akal sendiri, jika mendekatkan diri pada Alloh harus mau menutup indra,
dan biarkan Alloh memberikan nur makrifat kepahaman pada hati, dan
menjauhkan diri penyandaran pada akal,” kataku panjang lebar.
“Iya… insaAlloh mas, mohon bimbingannya.” kata Muhsin.
“Jika menemui hal aneh, misal mimpi di
temui oleh orang berjubah putih, ingat jangan mudah tertipu oleh
rupa-rupa syaitan, orang Arab juga semua berpakaian putih, lalu mimpi
ketemu orang berpakaian putih misal kamu kemudian sampai di suruh ini,
di perintah itu, maka kamu nurut, berarti kamu telah di sesatkan.”
kataku.
“Lho kok bisa mas, misal aku di suruh membaca qur’an, apa aku juga di sesatkan, kan itu membaca qur’an.” kata Muhsin.
“Iya itu di sesatkan, kamu sendiri tau
kan, orang ibadah itu bagaimana, niat solat itu bagaimana, niat puasa
itu bagaimana? Kan ujungnya lillahi ta’ala, karena Alloh ta’ala, la kok
kemudian kamu menjalankan bacaan Qur’an karena di perintah oleh orang
yang kamu temui di dalam mimpi yang berjubah putuh, bukankah kamu
membaca Qur’an berarti karena perintah orang dalam mimpi itu, bukan
menuruti perintah Alloh, paham tidak..”
“oo ya…ya.. baru aku berpikir kesana…”
“Ingat namanya ikhlas dalam toreqoh itu,
tak menganggap ibadah yang kita jalankan itu perbuatan kita sendiri,
tapi itu adalah perbuatan Alloh, sebab semua tubuh, jiwa, ruh, hati dan
sampai kita bisa bergerak dan melakukan ibadah dengan cara dan ilmunya ,
itu tidak ada lain atas izin, kesempatan dan kekuatan Alloh yang di
berikan pada kita, sehingga tubuh mati kita bisa hidup dan bergerak
melakukan ibadah, maka ibadah itu secara hakikinya bukan perbuatan kita,
karena bukan perbuatan kita, maka tak selayaknya kita mengharap
balasan, nah baru amal itu bernilai, dan pantas mendapat balasan yang
setimpal.”
“Jika wirid, upayakan hati dzikir, dzikir
itu ingat dan dzikir itu hanya Alloh dan nama-namanya, wadzkurulloh,
ala bidzikrillahi, jadi semua berhubungan dengan Alloh, dan dzikir itu
di hati secara umumnya, dan di latifah-latifah secara penempatannya,
cukup ketika wirid itu hati menuliskan lafad Alloh, dan memegangnya dan
menahannya dalam dada, sampai dada itu terasa pecah dan mengalirkan
cahaya ilahiyah, serasa dingin seperti aliran air dari kulkas, mengaliri
seluruh urat, dan menenangkan, menunjukan hati telah mulai subur,
setiap waktu cahaya makrifat itu menyinari hati, tapi jika hati penuh
oleh keinginan nafsu, maka cahaya makrifat itu berlalu tanpa efek sama
sekali, seperti kita bercermin di kaca, sementara kaca tertutup berbagai
macam barang, itu seperti ketika cahaya makrifat melintas di hati dan
hati tertutup berbagai keinginan nafsu, maka ada ilham yang sampai di
hati tak terbaca.” kataku
“hm… iya mas..”
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda