“Aku selalu mendoakan ibu…”
“Tapi doamu tak sampai, kenapa kau tak masuk agama Muhammad, aku tak kuat lagi di siksa…”
“Mama…huhu..” Evo masih menangis.
“Aku pergi anak ku …masuklah agamanya Muhammad..”
Tiba-tiba tubuh Jauhari melemah, dan ambruk.
“Mama… mama jangan tinggal Evo ma… Mama.”
Evo menjerit lalu tubuhnya gelosor pingsan lama Evo pingsan, sementara
Jauhari telah lama sadar, tapi masih kelihatan bingung, kayak orang
habis di nyalain petasan tepat di depan hidungnya.
Sementara setelah Kyai menyalurkan tenaga
prana dari jauh, Evo mulai bergerak-gerak sadar, karena peristiwa itu
Evo kemudian masuk Islam, mempelajari doa anak kepada orang tuanya.
Setelah sholat ashar, keluarga Evo meninggalkan pesantren, wajah Evo
sudah tak sedih lagi, nampak jelas ada gurat-gurat harapan yang kuat di
dasar hatinya, sehingga wajah cantiknya berpendaran.
Belum sampai setengah jam mobil Evo dan
keluarganya pergi, datang lagi dua mobil, satu mobil toyota model lama,
satu lagi mobil sedan polisi. Setelah mobil itu parkir. Orang-orang yang
ada di dalam mobil segera keluar, dari mobil toyota kijang, nampak
keluar dua lelaki satu berperawakan sedang bajunya warna coklat susu,
umurnya sekitar empat puluhan tahun, orang ini bernama Setiono, sering
di panggil pak Nono, adalah kepala desa Pasir Seketi.
Yang keluar dari mobil bersamanya adalah
carik Sanusi, orangnya berperawakan tinggi gagah, kumis melintang
sangar. Sementara mobil yang satu lagi adalah mobil polisi, berisi tiga
orang polisi. Kelima orang itu segera menemui Kyai di rumahnya.
Aku tak mengerti masalahnya, sampai Kyai
memanggilku, karena aku sedang masak di dapur menyiapkan makanan untuk
berbuka puasa. Merebus singkong, dan membakar ikan asin. Bau ikan asin
yang terbakar segera memenuhi udara, memanggil cacing dalam perut
bergerak-gerak sehingga menimbulkan suara berkerutan, rupanya bau ikan
asin pun sampai ke rumah cacing-cacing dalam perut itu.
“Feb, di panggil Kyai..” suara Majid yang
wajahnya melongok dari balik gedek yang sebatas dada, pemisah dapur
dengan dunia luar, yang memanggil Feb cuma Majid, dia adalah teman
sekolahku di SMA. Karena tau aku di pesantren lalu dia menyusul, Majid
sama denganku dari Tuban cuma beda kecamatan, dia dari Bangilan,
perawakannya biasa malah agak pendek, tingginya setelingaku, wajah nya
paspasan, ganteng kagak, jelek ia, karena wajahnya berlubang-lubang
bekas jerawat batu, tapi memang hobynya mencet jerawat, kalau sudah
mencet jerawat, maka ia akan berusaha sekuat mungkin supaya jerawat itu
kena, kalau sudah kena, senangnya seperti mendapatkan harta karun
terpendam.
“Gantiin di dapur ya?”
“Udah sono, biar aku yang ngurusin”
Akupun melangkah meninggalkan dapur
menuju tempat Kyai menerima tamu. Nampak di situ juga Mujaidi, rupanya
di panggil juga, Mujaidi adalah santri dari Bekasi. Sebenarnya awalnya
bukan santri, tapi berobat karena kecanduan narkoba, setelah sembuh,
kemudian memutuskan menjadi santri.
Mujaidi perawakannya tinggi kurus, aku
aja sepundaknya, umurnya masih delapan belasan, bibirnya tebel hitam,
sering sariawan, lalu di kelotoki kulitnya, wajahnya agak lonjong, sama
dengan Majid, wajah mujaidi juga berlubang-lubang karena bekas jerawat
batu, hobinya sama dengan Majid, memenceti jerawat, kalau Mujahidi sudah
memenceti jerawat maka ia akan lupa waktu, lupa makan, bedanya dengan
Majid kalau Majid mencet jerawatnya kalau sudah meletus, bekas
letusannya di usap-usapin ke tembok, tapi kalau Mujahidi lebih
profesional mencetnya aja dia pake kain, sehingga kalau jerawatnya
meletus, letusannya tak kemana-mana, kainnya juga di basahi cairan anti
septic.
Peralatan pencet memencet jerawat milik
Mujahidi juga lumayan lengkap. Yang aku pernah lihat, ada batu kali,
manfaatnya adalah kalau batu di jemur di matahari, dan setelah panas
maka di tempelkan, ke jerawat yang belom mateng, maka akan segera
mateng, adalagi amplas nomer 2000, gunanya untuk mengamplas tempat
jerawat yang terlalu dalam. Ada juga jarum jahit, untuk ngorek-ngorek
jerawat yang sudah terlalu berakar.
Aku segera duduk di sebelah Mujahidi, yang melemparkan senyumnya kena mataku,
“Mas ian.” kata Kyai.
“Iya Kyai.”
“Entar malem, bareng Mujahidi ikut ronda
sama orang Paser Seketi. Mereka membutuhkan bantuan kita, untuk
menangkap pencuri yang meresahkan warga.”
Akupun mengiakan, sambil melirik Pak
Lurah dan rombongannya. Maka setelah sholat magrib, dan menjalankan
wirid wajib, aku dan Mujahidi pun berangkat setelah berpamitan kepada
Kyai. Gelap mulai merayap, kampung Pasir Seketi dari pesantren jaraknya
kira-kira empat kiloan, cuma harus melewati hutan kopi yang panjang
serta grumbul-grumbul yang gelap mengerikan, tapi kami menganggapnya
biasa, karena memang kami biasa hidup di alam bebas. Jam delapan lebih
kami, tiba di desa Pasir Seketi. Di hadang pemuda-pemuda desa yang
membawa golok garang.
“Siapa?” tanya pemuda gempal memakai topi coklat. Di belakangnya berdiri pemuda yang lain siaga.
“Aku ian.” jawabku keras untuk menghilangkan kecurigaan. Dan rupanya pemuda itu mengenaliku.
“oo mas ian, ayo mas kerumah Pak Lurah,
Pak Lurah sudah menunggu, tadi berpesan kalau mas ian datang supaya
langsung di bawa ke rumah.” kata pemuda itu seraya menggandengku. Di
ikuti oleh anggukan hormat dari sepuluh pemuda, di mata mereka
memancarkan kekaguman ketika memandangku dan Mujahidi.
Memang kisah pesantren kanuragan Pacung,
lereng gunung putri, sudah menjadi buah bibir, tentang Kyai dan
santrinya yang sakti-sakti, itu membuatku bangga sekaligus takut, takut
satu saat cerita mereka terbukti, dan kami tak sakti, lemah, tentu akan
kecewa mereka dan nama pesantren Pacung hanya isapan jempol belaka.
Kami bertiga sampai di rumah Pak Lurah,
dan memang di serambi depan Pak Lurah telah menunggu kedatanganku.
Melihatku dan Mujahidi datang, Pak Lurah segera menyongsong
kedatanganku.
“Ah saya sudah berharap-harap cemas,
jangan-jangan nak mas Iyan gak datang, mari-mari.″ kami di ajak masuk
kedalam rumah dan duduk di kursi.
Sementara di terhidang beraneka macam
buah, gorengan, dan entah makanan apa lagi, aku yang tiap hari makan
singkong rebus, tentu ingin mencicipi buah semangka yang telah di
potong-potong warnanya ada yang kuning dan merah. Aku melirik Mujahidi,
tentu dia juga merasakan apa yang ku rasakan, oh benar sekali, kulihat
jakunnya naik turun amat cepat. Karena ludah yang di telannya, dan tanpa
sadar dia mengulurkan semangka kuning, aku menyodok kakinya dengan
kakiku. Kebetulan Pak Lurah kedalam sebentar, memanggil istrinya, dan
anaknya di minta menyediakan minuman, semangka kuning yang telah
ditangan Mujahidi, segera cepat di lahap, ketika Pak Lurah keluar,
semangka itu telah hilang termakan tak tersisa sampai kulit-kulitnya.
Pak Lurah keluar bersama istri dan anak perempuannya, sambil membawa minuman di nampan.
“Ini lo bu murid dari Pesantren Pacung,
anak-anak muda yang sakti-sakti.″ terdengar suara Pak Lurah yang benar
membuat aku jengah, serba salah, tapi aku berusaha bersikap wajar.
Anak Pak Lurah bernama Anggraini,
wajahnya ayu wajah polos anak desa, tapi aku kaget ketika Anggraini
meletakkan minuman matanya mengerling, bagaimana pun aku lelaki normal
wajarlah kalau berdesir hatiku. Setelah kenal-kenalan istri dan anaknya
Pak Lurah ke dalam, tinggal aku, Mujahidi, dan Pak Lurah. Sementara satu
pemuda dan dua orang desa yang sebelumnya menemani Pak Lurah telah
melanjutkan ronda. Aku melanjutkan pembicaraan sambil sekali-kali
mencicipi tahu isi dengan cabe kesukaanku.
“Sebenarnya ada pencurian yang bagaimana sih pak, kok sampai meminta bantuan Kyai?”
“Begini lo nak mas Febri,” Pak Lurah mulai bercerita, setelah menarik napas panjang.
“Desa Pasir Seketi adalah desa yang
damai, tak pernah ada pencurian, kehilangan. Sampai satu hari… Anak
perawan desa ini ada yang hilang, namanya Nining. Sehari dua hari Nining
tak muncul, kedua orang tuanya menyangka Nining pergi ke kota menyusul
abangnya yang bekerja di Jakarta, jadi orangtuanya kemudian menghubungi
abang Nining yang ada di Jakarta, tapi abangnya mengatakan, Nining tidak
menyusul ke Jakarta, semua orang bertanya lalu kemana Nining, sampai
seminggu kemudian tubuh Nining di temukan di sungai pinggir desa sudah
tak bernyawa. Semua orang geger, siapa yang tega melakukan kekejian
seperti itu? Setelah di periksa forensik ternyata Nining di perkosa
sebelum di bunuh, polisi berusaha menyelidiki tapi hasilnya tak
ada. Pembunuh Nining tak bisa di temukan. Sampai sebulan kemudian,
lagi-lagi Melati perempuan desa ini pun menghilang, malah menurut ibunya
Melati malam itu menghilang dari kamarnya, karena memang jendelanya
terbuka, seluruh desa telah diubeg-ubeg tapi Melati tak di temukan,
sampai seminggu kemudian mayatnya di temukan di sungai dulu Nining di
temukan. Ini jelas bahwa penjahat yang menculik adalah penjahat cabul
belaka. Tapi kami tak tau bagaimana dia beraksi.” Pak Lurah berhenti
bercerita, dia mengambil rokok Dji sam soe dan menyalakannya, aku dan
Mujahidi pun ikut-ikutan mengambil rokok dan menyalakannya, selama ini
kami ngerokok tingwe alias ngelinteng dewe. Itu pun tembakau puntung,
maka rokok Dji sam soe terasa nikmat sekali, asap mengepul-ngepul
bergulung.
Pak Lurah melanjutkan ceritanya.
“Kami tak mau kecolongan lagi, maka
perondaan di tingkatkan, di bantu para polisi, sampai seminggu yang
lalu, kami meronda, salah satu rombongan peronda melihat bayangan dalam
gelap malam, “berhenti.!!” tapi bayangan itu, malah berlari, dan
ternyata menggendong karung di pundaknya, tak salah lagi, penculik,
sebagian rombongan segera mengejar, yang lain memukul kentongan
memanggil bantuan, semua orang berlarian ke arah suara kentongan, dan
setelah tau semua mengejar, saat itu Pak Lurah sendiri dan tiga polisi
ikut mengejar. Betapa saktinya orang itu, dengan masih menggendong orang
yang diculiknya dia melesat meloncati pagar meloncat ke wuwungan atap
rumah, lalu meloncat ke atap yang lain, polisi mau menembak tapi takut
mengenai perempuan yang di panggul, lalu penculik itu berhenti dan
menoleh, seperti mengejek. Lalu melesat cepat, dan hilang di telan gelap
malam. Tempat sekitar penculik itu menghilang sudah kami aduk-aduk tapi
kami tak menemukan apa-apa, dan yang hilang kali ini gadis bernama
Tunik, seminggu kemudian kami menemukan nyawa Tunik di buang begitu saja
di sungai ujung desa. Maka setelah kami adakan rapat, kami memutuskan
meminta bantuan Kyai Lentik …,” belom lagi Pak Lurah menyelesaikan
ceritanya, tiba-tiba terdengar jeritan istri Pak Lurah dari dalam.
“Anggraini..! Anggraini pak.” Pak Lurah segera lari ke dalam, aku dan Mujaidi segera mengikuti, nampak bu Lurah menangis.
“Anggraini hilang pak,”
“Hilang gimana?”
“Tadi di kamar, sekarang nggak ada..”
“Sudah di cari kemana-mana?″
“Sudah pak tapi kgak ada.”
Tiba-tiba di tabuh kentongan bertalu-talu. Aku segera menghambur ke arah suara kentongan, di susul Mujahidi.
“Kejar..!” “penculik tangkap…!”
Aku berlari cepat, Mujahidi menyusul di
belakangku, orang berserabutan mengejar. Tubuhku terasa ringan, aku
dapat menyusul yang lain, malah aku tak sadar ada paling depan di antara
pengejar. Kulihat bayangan meloncati sebuah pagar, di pundakya
kelihatan karung, tentunya berisi, ah pasti Anggraini, aku makin cepat
mengejar, semangat, meloncati pagar, meloncati sungai kecil, menerobos
kebon pisang. Aku berhenti membungkuk mengatur napas, mengusap keringat
yang membasahi jidatku. Aku baru sadar kalau aku sendiri, kemana yang
lain, aku tengak tengok tak ada orang, yang lain pada kemana, tapi aku
tadi benar-benar melihat orang itu lari kesini, dengan sinar bulan yang
seperti kuku, ku coba mengenali tempat sekitarku.
Perlahan pandanganku mulai jelas.
Kuburan. Benar tempat ini kuburan, mungkin pemakaman orang desa Pasir
Seketi, tapi semakin ku perhatikan ini pemakaman tua, terlihat yang tak
begitu terurus, dan batu nisannya dari batu yang menyerupai batu candi,
semua hitam berlumut. Segala pohon melintang kesana kesini, rumput
setinggi lutut, pohon besar di tengah pemakaman, sungguh tempat yang
angker, mungkin dulu aku kalau tidak di gembleng Kyai mengitari pulau
Jawa dan tidur di sembarang tempat yang lebih serem dari tempat ini,
tentu aku akan takut.
Aku melangkah berhati-hati sambil kaki
meraba-raba, sekali waktu mataku menengok kearah aku datang mengharap
ada yang menyusulku, tapi keadaan teramat sepi, aku mau memutuskan tuk
kembali, tiba-tiba terdengar, suara daun kering terinjak,
”Siapa?” kataku, tak yakin. Muncul di depanku bayangan manusia, pakaiannya hitam-hitam dan memakai penutup wajah hitam.
“heh cuma mas ian ha ha ha.” suara orang itu dan bentuk tubuhnya yang tinggi besar, aku seperti pernah mengenalnya.
“hah kau penjahat cabul…” kataku sambil masih tengak tengok, mengharap orang yang datang.
Sebab kalau sampai aku berhadapan dengan
lelaki ini sendirian bisa berabe. Apakah begini rasanya kalau mau
berkelahi, tubuh gemetar. Bagaimana aku menghadapi orang ini, kulihat
tubuhnya tinggi besar, berotot, kalau di bandingkan denganku tubuh kecil
ceking, tangan kecil kurang gizi, jangankan berkelahi salaman aja kalau
tanganku di remasnya tentu seperti meremas kobis. Apalagi sampai
berantem, aku takut membayangkannya.
Terus terang selama ini belum pernah aku
berkelahi, pernah juga mau berkelahi, waktu aku kelas SD, kelas dua,
kursi yang ku tempati di tempati sama anak lain, lalu ku suruh dia
pergi, tapi tak mau malah ngajak berantem, lalu dia memegang hidungku,
akupun menangis sekencangnya. Tanpa sadar ku pegang hidungku yang
mancung. Wah bagaimana kalau nanti hidungku di pukul sampai patah, pasti
tak bisa ku banggakan lagi, apalagi kalau sampai aku mati.
Ah aku kan masih punya hutang ama teh
Ipar, warung yang dekat pondok, apa aku lari aja ya, eh pembaca jangan
mengira aku ini pengecut, aku lari cuma mau bayar utang, apa aku jujur
aja ya sama orang di depanku. Aku pergi dulu bayar utang, nanti balik
kesini, dia bisa nunggu sambil ngrokok-ngrokok, kuraba sakuku, tadi
sebelum pergi aku sempat menyambar rokok Djisamsoe yang ada di meja pak
lurah, tapi alangkah kecewaku, rokokku hilang pasti terjatuh saat
kejar-kejaran tadi, ah pupuslah harapanku, tapi kalau di pikir-pikir
kalau untuk bayar hutang saat ini aku sendiri tak punya uang.
Eh kamu jangan hiha hihik kalau baca,
pasti kamu ngira aku pengecut, bener aku mau bayar utang tak bermaksud
lari, ini pilihan sulit tak seperti yang kau kira, aku hanya takut kalau
mati masih menanggung utang. Dan aku tak takut berkelahi, soal aku di
terminal Pulogadung di todong preman kemudian semua uangku di minta lalu
ku berikan, itu memang karena aku tak mau berkelahi dan tak suka
berkelahi, kalau mau orang di depan ku ini, daripada berkelahi mending
main gaple, atau skak, atau macan-macanan, atau yang lebih gampang lagi,
suit.
Yang kalah harus mengakui kalah, jadi gak
ada yang terluka, eh pembaca jangan ketawa-ketawa aja, aku tahu kalian
menganggapku pengecut, lagian kalau aku mati, kalian kan gak tau
kelanjutan cerita ini, oke aku ngalah memang aku pengecut, lalu kalian
mau apa?
Bingung, terjadi pergolakan dalam
pikiranku. Ah aku masih berharap ada pemuda kampung yang datang kesini
membantuku, repotnya kalau menjadi orang udah terlanjur di anggap sakti,
keringat mengucur, dari semua pori-pori tubuhku, bahkan punggungku
basah.
Padahal udara sangat dingin sekali.
Sesaat hatiku lega, ketika kulihat bayangan mendekati. Tempat aku dan
orang bertopeng itu berhadapan. Tapi rasa legaku segera sumpek lagi,
karena yang datang ternyata Mujahidi, wah sama aja, parah. Bisa tambah
runyam ini urusan. Gimana gak runyam, Mujahidi ini lebih pengecut lagi,
mungkin embahnya pengecut. Sama ulat aja takut, jangankan ulat, di
tubuhnya di rambatin kecoak aja gindrang-gindrangnya aja tak henti,
merinding terus.
“hua ha ha, rupanya pendekar dari
pesantren Pacung lagi yang datang, sungguh bangga bisa bertarung dengan
orang gagah.” kata orang bertopeng itu dengan nada menghina, mungkin dia
sudah tau kalau kependekaran kami cuma cerita saja,
“heh Muja, kenapa kamu kesini..?” tanyaku berbisik, setelah dia ada di dekatku.
“Aku cuma ngikuti mas ian, soalnya tadi arah larinya kesini. Dia tuh siapa mas?”
“ya ini orangnya yang suka nyulik gadis.”
“Waduh bahaya kalau begitu mas, mending
lari aja mas..” Mujahidi beringsung sembunyi di belakangku, itu sudah
aku kira, jadi aku tak terkejud melihat tingkah Mujahidi. Lalu bisikku.
“eh apa enggak perlu pake alasan?”
“ya enggaklah ya lari, lari aja,” aku baru saja mau menyetujui usul Mujahidi, tiba-tiba orang bertopeng itu telah bicara,
“ah jangan banyak bacot, terima
seranganku.” kaki orang itu lurus menendang keperutku, gerakannya begitu
cepat. ngehg.! perutku kena tendangan telak.
Aku tak sempat lagi mengelak, atau lebih
tepatnya tak tau cara mengelak, karena memang tak tau bagaimana
bertarung, perutku mulas bukan main, tapi aku masih untung jatuhku
menimpa Mujahidi yang ada di belakangku.
Aduh perutku mules banget. Ah mungkin
bisa jadi alasan aku beol dulu, tapi setahuku dalam cerita silat tak ada
yang menghentikan pertempuran untuk beol dulu, apa nanti tak
malu-maluin. Tiba-tiba bruuuet…! Angin ke luar tanpa bisa ku cegah lagi,
Mujahidi mendorong ku, “ah kentut, buh baunya seperti kentut gendruwo…”
Mujahidi memegangi hidungnya seakan-akan yang ku kentuti hidungnya. Dia
berbangkis-bangkis. Aku segera berdiri, setidaknya mulas di perutku
berkurang.
Tiba-tiba kudengar bisikan halus di
telingaku, jelas aku tau itu suara Kyai. “Mas ian, baca Basmalah.” panas
seperti balsem cap lang, mengalir deras ke setiap urat-uratku, mengalir
keujung jari kaki tangan dan kakiku. Sehingga tubuhku makin lama makin
ringan, dan kakiku serasa tak menapak lagi kebumi, mengalir ke kepala
sehingga mataku makin lama makin jelas melihat, tempat inipun menjadi
seperti siang di penglihatanku. Bahkan seekor nyamuk yang terbang kian
kemari tampak nyata sekali, suara nyamuk yang hinggap pun terdengar
kakinya menapak di nisan.
Aku tak tau apa yang terjadi denganku, hawa yang mengalir dari pusarku masih terus mengalir.
“huahaha…., pendekar, jawara tai ayam,
curot, murid pesantren Pacung tak ada isinya..,” suara orang bertopeng
itu memecahkan sunyi yang menyelimuti pemakaman tua itu.
“Mati saja kalian.” setelah mengatakan
itu tubuh orang itu berkelebat. Kaki di hantamkan lurus kearah ku, kaki
satunya menekuk. Tapi di pandanganku serangan itu seperti filem dalam
gerakan lambat.
Tiba-tiba kurasakan ada tenaga dari dalam
tubuhku. Aku menyamping, kaki yang menderu ke arahku, ku cengkeram dan
ku tarik sehingga lelaki itu terlempar mengikuti tendangannya. Dan
tanganku menelusup menghantam lehernya dengan pergelanganku.
Hugh!!, tubuhku terseret oleh tubuhnya,
kaki kiriku yang terangkat segera memalu belakang kepalanya sementara
tanganku menarik lepas kain penutup kepalanya, dan bret..! Aku kaget
bukan main.
“hah carik Sanusi…!” orang yang menjadi maling para gadis itupun kaget , tutup wajahnya lepas.
Lebih kaget lagi dia tak menyangka akan
seranganku. Cepat beruntun, telak, aku sendiri kaget, dan tak tau apa
yang menimpaku sehingga mampu menyerang begitu jurus yang kupakai
seperti jurus taici. Mujahidi juga terlongo-longo menyaksikan sepak
terjangku.
“Setan alas. Bajulbuntung, tai kebo,
jiampot, rupanya punya simpanan hah.” umpat carik Sanusi panjang pendek,
lalu segera mencabut goloknya.
Aku pun segera mencabut golokku. Golokku
ini di bilang golok biasa ya memang golok biasa, karena sering ku pakai
memotong kayu bakar. Soal kesaktiannya sudah tak terhitung berapa nyawa
ayam termakan ketajamannya. Golok ini pemberian Kyai, karena memang aku
tak punya uang untuk membeli golok, golok ini bergagang kayu sawo kecik,
di buat oleh orang Ciomas. Kampung pembuat golok paling punya nama di
tlatah Banten.
Sebelum membuat golok besi di tancapkan
di tanah pada waktu bulan purnama, dan baru di ambil bulan purnama
kemudian, sehingga besi nya menjadi besi kuning tahan karat dan tua.
Ilmu kekebalan yang bagaimana pun akan terluka tersentuh golok ini,
karena di isi oleh Kyai. Tapi aku tak mau terbawa oleh cerita mistik
tentang golok, makanya golok ini kubuat bekerja di dapur.
Suing…! terdengar desingan ketika Sanusi
menyerangku dengan ilmu goloknya, aku tak mengerti ilmu golok, tapi yang
jelas serangan Sanusi tak bisa di anggap remeh, goloknya menderu
menjadi beberapa bagian, lagi-lagi kekuatan dalam tubuhku seperti
menggerakkanku, aku mengikuti saja. Ketika tubuhku juga berkelebat yang
jelas di seluruh tubuh ku seperti ada sentakan-sentakan kecil seperti
setrum listrik, yang membuat golokku berkelebatan kesana kemari. Sangat
cepat dan tak terduga. Mengurung Sanusi dari segala arah, wut,wut,
betbetbet. Begitu suara nya.
Trang…! Golokku berbenturan dengan golok
Sanusi, tak terasa apa-apa, tapi golok Sanusi terlepas dan dia memegangi
tangannya. Ada kekuatan yang menarikku mundur, badanku pun melayang
seperti kapas, kemudian hinggap di tanah dengan perlahan melayang.
Kulihat Sanusi terhuyung, ternyata hasil seranganku sungguh mengerikan,
beberapa detik kemudian terlihat di sana sini tubuh Sanusi penuh luka
sedalam setengah senti. Bahkan pakaiannya tercabik-cabik tak karuan,
Sanusi melenguh lalu melemparkan sesuatu kearahku, ku kira itu sebuah
tulang kecil-kecil, dan bulz asap mengepul tipis.
Tiba-tiba saja telah muncul, empat pocong
mengurungku, aku kaget dan ngeri melihat empat pocong yang wajahnya ada
yang cuma tengkorak, ada yang biji matanya sudah hilang satu, biji mata
yang satu keluar seperti mau jatuh. Sementara tempat hidung telah
gerowong, juga rahang dan giginya hilang, aku pontang panting karena
pocong itu tak mempan di bacok, golokku membal ketika mengenai kain
pocong itu sehingga aku panik, dan hanya bisa menendang tuk menjauh kan
pocong itu, tapi ketika pocong itu terjengkang maka tubuhnya seperti
memantul, tegak lagi.
“hai Mujahidi bantu aku.” aku berteriak
panik karena sudah lelah, tapi Mujahidi rupanya pingsan tubuhnya
menyender ke pohon sambil berdiri. Ah rupanya aku harus berjuang
sendiri, tenaga di dalam tubuhku melontarku ke atas, tubuhku melayang
ringan di atas pocong-pocong, lalu bersalto dua kali dan hinggap di
dekat Mujahidi. Ku dekati dia memang benar-benar pingsan, mungkin
pingsan saat melihat pocong-pocong itu, uh matanya sampai melotot dan
mulutnya terbuka lebar.
Tiba-tiba terdengar bisikan Kyai di
telingaku, “mas Ian kalau membacok pocong itu baca takbir.” Mendapat
pesan seperti itu aku lantas menggenjot tubuh, berkelebat bak anak panah
lepas dari gendewa membabat empat pocong sekaligus. Sambil membaca
takbir, dan memang golokku bisa merobek kain ules mereka. Dan blesss.!
Begitu saja pocong-pocong itu berhamburan seperti debu yang di taburkan
ke udara. Hilang.
Aku berdiri sejenak memandang
berkeliling, carik Sanusi telah tak ada dia tadi melempar tulang
kearahku langsung kabur. Ku dekati Mujahidi, ah enak-enakan dia pingsan,
ku coba membangunkan dengan cara apa saja tapi tetap aja pingsan, aduh
nih orang nambah kerjaan aja. Sekarang mungkin jam dua dini hari, embun
sudah mulai turun. Aku berpikir pasti Anggraini di sembunyikan di
pemakaman tua ini. Ku tinggalkan Mujahidi, menuju arah tadi aku pertama
kali aku melihat carik Sanusi datang, untung penglihatanku terasa
terang, sehingga aku dapat melihat jelas sekitar ku.
Nampak makam-makam yang aneh berbatu
nisan batu ukir, mungkin makam zaman Hindu kuno, pohon kemboja, randu
alas, dan pinggir makam di tumbuhi pohon bambu yang rapat. Aku berhenti
di sebuah nisan aneh bentuknya seperti kepala kuda, tapi patah sampai
matanya, juga telinganya yang keatas sudah patah, aku bersandar, tapi
ketika aku sandari nisan kepala kuda itu bergeser, aku terkejut, karena
tanah yang ku injak terbuka begitu saja dan aku pun jatuh ke sebuah
tangga semen, menuju kebawah. Sebentar aku terkejut, rupanya di makam
ini ada ruangan rahasia, pantas Sanusi selalu dapat menghilang kalau di
kejar orang kampung.
Rupanya rahasianya di sini, perlahan ku
turuni tangga golok ku keluarkan, untuk berjaga-jaga dari sesuatu yang
tidak ku inginkan, dinding bawah tanah ini lumayan rapi, karena di semen
walau asal-asalan dan kasar. Ada lampu minyak menempel di dinding yang
cahayanya bergoyang-goyang karena tertiup angin yang masuk. Wah gila
juga si carik Sanusi menciptakan tempat seperti ini, ruangan bawah tanah
ini ada dua aku masuki ruangan satu, luasnya kira-kira empat kali tiga
meter, ada meja kursi, piring, mangkok dan peralatan masak, ruangan ini
rupanya dapur dan tempat makan, aku ke ruangan satunya lagi, rupanya
yang ini ruangan tidur, ada ranjang kayu berkelambu. Ku dekati ranjang
kayu, dan aku terkejut, menemukan Anggraini walau sebelumnya sudah
mengira Anggraini ada di situ.
Mata gadis itu melotot tubuh Anggraini di
geletakkan begitu saja, di kiri kanannya bertaburan bunga aneka warna,
pasti di sini juga gadis yang lain menemui ajalnya, aku merinding juga
membayangkannya, seperti banyak mata gadis yang mati memandangku,
meminta keadilan, atas kehormatan dan nyawa yang terenggut tanpa sisa.
Tiba-tiba hawa yang keluar dari pusarku mengalir, deras menuju jari
telunjukku, dan kuikuti saja ketika tanganku bergerak, membuka totokan
yang ada di tubuh Anggraini, aku masih tak mengerti apa yang bergerak di
tubuhku, sampai di pondok pesantren nanti aku akan bertanya kepada
Kyai.
Anggraini setelah bebas dari totokan
segera saja menghambur memelukku. Menangis sejadi-jadinya. Aku sempat
gelagapan, maklum aku tak pernah di peluk wanita, kringetan juga,
gemeter. Apalagi meluknya dengan erat. Aku lelaki normal, bagaimanapun
juga, walau imanku kuat, pasti imron kgak bakal kuat. Sebelum setan
membisikkan yang enggak-enggak, aku segera melepaskan tubuh Anggraini
dari tubuhku.
“Sudahlah, sekarang sudah aman.”
“Tapi aku takut sekali kak.” katanya mengiba, air matanya berderai-derai membasahi pipi.
“Sekarang mari pulang, kuantar ke ayah
ibumu, pasti mereka sangat mencemaskan keselamatanmu.” Anggraini
mengangguk, kemudian kami keluar, Anggraini masih menggenggam lengan
kiriku. Mungkin takut, mungkin menyukaiku, ah tak taulah, aku kasihan,
gadis muda begini, mengalami pengalaman yang mengerikan, tak
terbayangkan bagaimana dia di perkosa dan dibunuh seperti gadis-gadis
yang telah mati menjadi korban carik Sanusi.
Kami berjalan pulang ke Pasirseketi, di
tengah jalan kami bertemu dengan serombongan para pemuda yang semalam
ikut mengejar Sanusi. Semua ribut menanyakan bagaimana Anggraini bisa di
temukan bagaimana penculiknya, agar tidak bertanya terlalu banyak, maka
ku katakan penculik yang selama ini, membuat resah warga desa adalah
carik Sanusi. Sontak para pemuda itu kaget tak percaya, tapi setelah
Anggraini mengiyakan, maka mereka marah, dan berbondong-bondong
mendatangi rumah Sanusi. Aku dan Mujaidi melanjutkan perjalanan
mengantar Anggraini. Sampai di rumah Bu lurah yang sangat kuatir
keselamatan anaknya segera menghambur memeluk anak semata wayangnya.
Tangis-tangisan ramai terdengar.
Sementara istri dan anaknya
bertangis-tangisan Pak Lurah mengajakku dan Mujahidi keruang depan, ku
ceritakan dengan singkat sampai para pemuda yang mau mendatangi rumah
carik Sanusi. Ketika tau yang menjadi biang segala pembunuhan adalah
Sanusi Pak Lurah terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala tapi segera
mengajakku untuk mendatangi rumah Sanusi sebelum terjadi sesuatu yang
tak di inginkan. Aku dan Mujahidi mengikuti Pak Lurah yang melangkah
tergesa, namun di jalan tak henti-henti mengucapkan terimakasihnya.
“Sekali lagi aku dan segenap warga desa,
khususnya aku pribadi sangat berterima kasih dengan nak mas Ian, kalau
tak ada nak mas Ian, apa jadinya Anggraini, mungkin kami tinggal
menunggu mayatnya di temukan di pinggir kali.” Pak Lurah berjalan sambil
menangis haru.
“Sudahlah pak, yang penting semua telah berlalu.” aku mencoba bersikap bijak, walau kedengarannya wagu.
Yah bagaimana kata bijak keluar dari
mulut pemuda seperti aku, rambut panjang sepunggung, walau selalu ku
ikat dengan rapi, anting kecil di telinga kananku, wajah hampir mirip
perempuan, yah mungkin karena pergaulanku, sebagai pelukis motor
airbrush. Sehingga tampang cuek dekil, seenaknya, semua melekat begitu
saja dalam diriku, bagaimana mungkin, kata bijak bisa keluar dari mulut
ku, kalau ada kata bijak mungkin kata itu akan terbang karena tak punya
bobot mati. Sampailah kami di rumah carik Sanusi.
Teriakan para pemuda ramai terdengar bersahut-sahutan.
“Bakar saja rumahnya, seret saja keluar,
lalu bacok rame-rame. Di rajam saja, terlalu enak kalau mati cepat.”
tapi semua pemuda tak ada yang berani maju, melewati pagar rumah Sanusi.
Karena setiap melewati pagar, paku-paku segera beterbangan, malah telah
ada dua pemuda yang terluka lengan dan pahanya kena sambitan paku.
“Bagaimana ini nak mas?” tanya Pak Lurah.
Aku menggeleng tak tau.
“Hei Sanusi ayo keluar serahkan dirimu!”
Tiba-tiba Pak Lurah berteriak, dan teriakan Pak Lurah di jawab dengan
meluncurnya paku kecil hitam kearahnya. Aku segera berkelebat, tring…!
Sepuluh paku rontok jatuh ke tanah, tertangkis golokku.
“Bagaimana ini mas?” tanya pak lurah kawatir, aku menggeleng.
“Tak tau lah pak,” sementara waktu telah
beranjak pagi kicau burung mulai terdengar di sana sini, orang-orang
sudah tak ada yang berteriak-teriak lagi, mungkin sudah lelah, sehingga
keadaan hening.
Kulihat rumah carik Sanusi, rumah yang
besar namun biasa saja, dinding rumah bagian depan menggunakan kayu
tanpa di cat. Dan dinding rumah bagian belakang menggunakan bambu yang
di anyam, sedang lantai rumah geladak setinggi kurang lebih tujupuluh
senti dari tanah. Depan pintu utama ada balai-balai yang ada tangga
kecil dari kayu. Balai-balai kayu itu selebar duakali empat meter.
Tiba-tiba terdengar suara mobil datang, rupanya mobil polisi. Dua polisi
keluar dari mobil, lalu menghampiri Pak Lurah,
“Bagaimana pak keadaanya?” tanya polisi itu setelah ada di dekat Pak Lurah.
“Wah sulit pak.”
“Sulit bagaimana.”
“Yah setiap orang mau maju langsung di hujani paku, sudah ada korban dua orang.”
“Bagaimana kalau kami menyerbu?”
“Apakah itu tak berbahaya sekali?” aku maju menimpali.
“Pak polisi, bagaimana kalau saya maju mengajak berunding carik sanusi?”
“Lho anak muda ini siapa?” tanya polisi
itu di tujukan pada Pak Lurah. Mungkin dia curiga, karena tampangku,
yang lebih mirip kriminal daripada orang baik-baik.
“Oh dia murid Kyai Lentik, yang kami
mintai bantuan, sebenarnya Sanusi sudah terluka parah karena semalam
telah bertarung dengan nak mas Ian.”
“oh maaf saya tak tau.” wajah polisi itu
menatapku kagum, kemudian menghormatiku dengan sedikit membungkuk,
sementara temannya manggut-manggut.
“Bagaimana menurut nak mas?” tanya polisi itu di tujukan padaku.
“yah gimana seandainya aku maju
mengajaknya berunding, sementara pak polisi menghadang dari pintu
belakang, kalau-kalau dia lari?”
“yah patut di coba.” Dua polisi itu pun
kemudian berjalan memutar menuju belakang rumah, sambil mencabut
pistolnya, aku mengeluarkan golokku bersama sarungnya kepada Mujahidi.
“wah apa kgak terlalu berbahaya mas?
Nanti kalau mas Ian di sambitin paku, aku kgak bawa tang tuk
nyabutinnya.” Mujahidi menerima golok ku dengan ragu.
“Udahlah berdo’a aja.”
“Kalau menurut saya di kepung aja, yang
satu ngepung yang lain makan, gantian gitu, lama-lama juga dia pasti
kelaparan dan mati.”
“ah kamu ini.” aku menepuk pundak
Mujahidi seraya melangkah maju, semua mata menatap kearahku, orang-orang
kampung Pasir Seketi juga sudah mengerumuni tempat itu mungkin juga
dari desa-desa tetangga, mereka menonton dari jauh, seakan ini tontonan
yang gratis. Aku tak perduli, dengan langkah mantap aku melangkah maju.
Semua mata tegang menatapku, aku berhenti
dua meter dari tangga kecil untuk naik ke balai rumah Sanusi, sambil
menunggu kalau-kalau ada paku yang menyambar. Lengang aku berkata,
“Carik Sanusi, aku tak bersenjata, aku mau berunding,” kataku seraya
membuka lebar-lebar lenganku, kalau-kalau dia mengintip dari dalam maka
akan melihatku tanpa senjata, lalu aku memutar tubuhku untuk meyakinkan.
Suasana masih hening tak ada jawaban.
Setelah menunggu beberapa menit aku melanjutkan melangkah maju. Melewati
anak tangga satu-satu, lalu menginjak papan paling tepi dari
balai-balai rumah itu, braak!!
Pintu depan rumah itu lepas, melayang
cepat ke arahku yang berdiri dalam posisi yang tak menguntungkan,
dibelakang pintu itu Sanusi yang dengan goloknya beringas menyerangku.
“Mampuslah kau, anak setan alas..! Kau
telah menggagalkan semua usahaku selama ini.!” aku yang terpelanting
karena hantaman daun pintu, tak bisa menghindar lagi ketika Sanusi
menghantam kepalaku, semua orang yang menonton menjerit, mukaku pun
pucat. Ah mati aku ! Tapi, prak!! Golok Sanusi telak mengenai kepalaku,
tapi aku tak merasakan rasa sakit sama sekali, malah kekuatan dalam
tubuhku, menggerakkanku dengan cepat, tubuhku begitu ringan berkelit
dari timpaan daun pintu tau-tau telah berdiri di belakang Sanusi, dan
melakukan totokan sana-sini, sehingga Sanusi jatuh menimpa daun pintu
yang jatuh dahulu.
Tubuhnya kaku, karena totokanku yang tak
ku sadari telah mencabut semua ilmu yang di miliki, seketika semua orang
bersorak.. Lalu terdengar suara berteriak “habisi penjahat cabul…”
kontan semua orang menyerbu. Pagar pun roboh di terjang orang-orang
kampung yang marah, aku tak bisa menahan ketika tubuh Sanusi dihujani
golok, batu, pentungan, massa rupanya teramat marah. Pengeroyokan baru
berhenti setelah terdengar suara tembakan.
Semua orang kampung yang mengeroyok
mundur, tubuh Sanusi, tak berbentuk lagi, aku yang berdiri di atas
balai-balai melihat dengan jelas, betapa mengerikannya, wajahnya telah
tak di kenali lagi, terlalu hancur, juga tubuhnya sudah tak karuan,
darah seperti di tuang begitu saja, sungguh kengerian yang tiada tara,
aku berjalan meninggalkan tempat itu menghampiri Mujahidi yang juga
terbengong, aku segera menarik tangannya tuk segera meninggalkan tempat
itu, Pak Lurah melihatku, dan menghampiri.
“Nak ian, mampir dulu ke rumah dan tunggu
aku di rumah, biar aku mengurus dulu di sini.” aku manggut aja, lalu
menyeret Mujahidi untuk bergegas pergi. Dalam perjalanan, Mujahidi
selalu menyanjungku.
“ah bener- bener kagak nyangka saya,
kalau mas Ian sehebat itu, punya ilmu kebal lagi, uh uh, apa kgak sakit
mas tadi dibacok di kepala? Wah saya ampek teriak mas tadi, ngira kepala
mas ian pasti belah, ee, ternyata kgak apa-apa.”
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda