Jam sembilan pagi, ada istirahat sebentar
dan para pekerja menyebutnya dengan SAE, atau ngeteh, orang Arab
biasanya berangkat kerja membawa sarapan pagi, roti kubus, kubus terbuat
dari tepung di uleni dengan air dan garam, lalu di pipihkan dan di
tempel ke tembikar tanah, makannya di sobek dan di cocolkan ke kare,
rasanya? ya kalau aku gak doyan.
Jam 9 aku menghadap manager administrasi,
soalnya waktu berangkat dari Indo aku di janjikan mau di naikkan gajiku
kalau sudah di Saudi. Sebenarnya sudah sering ku dengar kata-kata
JANGAN PERCAYA DENGAN UCAPAN ORANG SAUDI, kata itu sering ku dengar dari
teman-temanku yang pernah bekerja di Saudi, selalu bilang, JANGAN
PERCAYA UCAPAN ORANG SAUDI, JANGAN MAU DI BERI JANJI TANPA ADA HITAM DI
ATAS PUTIH, JANGAN MAU DI SURUH KERJA YANG BUKAN TERMASUK YANG TELAH DI
SEPAKATI WALAU DI JANJIKAN UPAH LEBIH.
Tapi aku langgar semua kata itu, pertama aku percaya pada manager yang mengatakan : nanti setelah di Saudi gaji ku naikkan.
Dan jam 9 itu aku menghadap ke manager
untuk mengkonfirmasi janjinya. Tapi dia bilang, sekarang masa training,
nanti setelah 3 bulan, setelah masa training, gaji ku naikkan. Begitu
katanya meyakinkan.
Setelah 3 bulan aku menghadap lagi, dan
ternyata dia bilang: kenaikan gaji itu bukan hakku, itu hak kantor pusat
di ABHA, jadi aku tak bisa memberi kenaikan.
Aku geleng-geleng kepala, ah dia telah salah memilih orang untuk di dzolimi.
Ku katakan pada Muhsin, “Managermu telah
salah memilih orang untuk di dzolimi, ini ingat kata-kataku sebentar
lagi pabrik akan mengalami kebangkrutan, perlahan akan hancur,”
Dan belum sampai setahun, pabrik
benar-benar mengalami kebangkrutan, export di tutup pemerintah, biasanya
yang beli semen sampai ngantri berkilo meter, jadi sepi, karyawan mulai
di pecati, yang tua di pulangkan, lembur di wajibkan tapi tak di bayar,
manager sudah kayak orang setres, tukang kayu di suruh jadi tukang
kebun, tukang kebun di suruh jadi tukang kayu, apalagi di tambah perang
yang terjadi di sekitar pabrik antara pemberontak kuti Yaman, dengan
tentara Saudi, keadaan pabrik makin merosot.
Profesionalisme memang bukan sifat orang Saudi, maka jangan percaya dengan kata orang Saudi.
——————————————-
“Katanya sudah menghadap manager soal kenaikan gaji, bagaimana hasilnya?” tanya Muhsin.
“Ya dia janjikan nanti setelah masa training.” jawabku.
“Ya nanti di tunggu saja, lalu bagaimana syaratnya menjadi muridnya mas?”
“Tak ada syaratnya, harus ikhlas saja
menjalankan amalan yang ku berikan, ini amalannya sudah ku tuliskan.”
kataku sambil menyodorkan kertas bertuliskan amalan.
“Ini hitungannya 10 ribu ya mas?” tanya Muhsin.
“Iya.”
“Apa ndak salah nulis nolnya?”
“Salah di mananya?, nolnya empat kan?” tanyaku.
“Iya empat.”
“Kalau empat berarti benar, kan sepuluh ribu enolnya empat,” jelasku.
“Iya kali saja tiga aja nolnya…, “
“Lhoh itu wirid sepuluh ribu, wirid paling ringan.” tekanku.
“Kan sudah ku katakan menjadi muridku itu
berat, kalau mau menjadi orang ampuh ya harus kuat duduk, itu kan
melawan kehendak nafsu, menyelesaikan dzikir, seseorang itu di ijabah
atau tidak di ijabah do’anya hanya melewati lapisan nafsunya, di buka
hijab tutup makrifatnya sehingga di beri pengetahuan ilmu-ilmu Alloh, ya
hanya melewati lapisan nafsunya, semakin seseorang itu sibuk meladeni
nafsunya, maka makin jauh orang dengan Alloh, artinya orang itu
menjadikan nafsunya sebagai Tuhannya, ILAHAHU HAWAHU, segala macam
amaliyah itu hanya dengan maksud kita bisa menundukkan nafsu dan
menempatkannya pada kerangkeng yang bernama mutma’inah, nafsu menjadi
tenang, tidak bergejolak ingin di penuhi, orang itu jika masih punya
keinginan mulia di sisi manusia, jangan harap punya pangkat di sisi
Alloh, orang itu kalau masih mengharap pada manusia dan kebendaan maka
jangan harap do’anya di ijabah Alloh, karena sebenarnya dia tidak
meminta kepada Alloh, tapi meminta kepada ketakutan dan harapannya
sendiri, kadang seseorang merasa telah benar ibadahnya, dan tanpa di
sadari ibadahnya telah melenceng jauh, sehingga bukan fadhilah atau
anugerah buah ibadah yang di terima, tapi yang di rasakan adalah
kesesakan hati, suntuk dan makin jauh dari Alloh, lalu berlari ke
kubur-kuburan, mencari jawab atas kemandekan ibadah yang selama ini di
lakukan tidak mendapat apa-apa.”
“Iya mas…”
“Sebenarnya ibadah yang menghasilkan buah
ibadah itu tak sulit, amat simpel, dan tak bertele-tele, tapi manusia
punya nafsu, dan manusia harus menaklukkan nafsunya, Nabi saja
mengatakan perang uhud itu perang kecil, kita akan pergi dari perang
kecil ke perang besar, dan perang besar itu adalah memerangi hawa nafsu,
di katakan besar karena kita memerangi diri sendiri, dan umumnya tak
ada orang yang mau menahan keinginan yang menggebu-gebu, yang ada
manusia yang selalu ingin keinginannya di puaskan.
Padahal kepuasan, ketamakan itu tak ada
ujung pangkalnya, puasnya ya MATI, orang punya istri satu, pengen dua,
punya dua ingin tiga, orang punya rumah satu ingin punya dua, punya dua
ingin punya tiga, dan terus berkelanjutan, punya sapi satu ingin dua,
punya dua ingin tiga, punya mobil satu ingin punya yang paling mewah
dua, dan seterusnya, kalaupun punya pulau satu, maka ingin dua pulau,
punya dua pulau ingin punya tiga pulau, makanya sejak dulu kerajaan
saling ingin menguasai yang lain,
Dan tak ada cara mencegah berkobarnya
nafsu kecuali dengan memperkecil nyalanya, bukan memadamkan tapi
menyalakan di tempat yang semestinya, kalau nafsu sahwat padam, kasihan
istri kalau istrinya impoten, jadi keinginan atau nyalanya nafsu itu di
tempatkan sesuai tempatnya, seperti api di tempatkan di lilin atau
kompor, sehingga bisa di manfaatkan, nafsu sahwat di tumpahkan pada
istri, dan nafsu itu hanya bisa di tenangkan dengan mengenali
jalur-jalur keluarnya, jalur keluarnya nafsu itu di namakan latifah,
kelembutan sumber keluarnya nafsu, dan sumber itu kita sumbat perlahan
dengan dzikir, ala bi dzikrillahi tatma’inul qulub, ingatlah hanya
dengan mengingat Allohlah hati itu bisa tenang. Bagaimana siap tidak
menjalankan?”
“Ya mas saya siap..”
“Tidak ada manusia, wali, Nabi sekalipun,
jin, juga malaikat atau setan itu hebat, kecuali Alloh mengijini dan
menganugerahkan kehebatan, maka jangan sekali-kali menyandarkan pada
selain Alloh, orang alim, kyai, nabi, jin, malaikat, semua itu ciptaan
sama dengan kita, kalau kita menyandarkan pada sama-sama ciptaan yang
punya kekurangan, maka jelas salah kita, bertawakal dan bersandarlah
hanya pada Alloh, semua ciptaan selain kita, itu tidak bisa memberi
manfaat dan bahaya, kecuali Alloh mengijinkan menjadikannya memberi
manfaat, dan bahaya.”
“Hm… mumet mas…”
“Hehehe ya ndak papa, besok di lanjut lagi.” kataku,
Setiap gerak, setiap kejadian, dan setiap
apapun yang bergerak dan berhenti itu tak lepas dari kehendak dan
taqdir berlaku di dalamnya, mungkin aku akan terlihat lebih diam dari
pohon mati dan lebih tak bergerak dari batu yang keras, karena aku
sering tenggelam dalam penyelaman dunia hatiku, di saat orang bercanda
dan tertawa-tawa, aku mungkin akan seperti manusia yang tak ada, tak
terseret oleh candaan siapapun, dan lebih suka menyendiri menyelami
tentang ilmu Alloh, rasanya setiap waktu ku gunakan kepahaman walau
telah berhari-hari aku menyelam, namun dasar kepahaman tak juga ku
capai, hanya keheningan tanpa aksara, dan aku mencoba menghindari
menyalahkan siapapun manusia, sebab aku amat yakin semua telah di
program menempati taqdir-taqdirnya, seperti layangan yang di tarik
benang, dan di terbangkan dengan arah angin yang di kehendaki kemana
hembusannya.
Bahkan aku mendapat teman sekamar, karena
kunci hanya satu, dan di bawa temanku, sehingga hampir tiap hari aku
harus masuk kamar lewat jendela atau aku harus sering ketinggalan kerja
karena teman yang mandinya berjam-jam, semua adalah proses, semua
manusia punya sisi buruk, dan pasti tak jarang orang tak suka denganku,
karena sisi burukku yang mengemuka, dan cenderung aku tak menyadari
keburukan diri sendiri.
Alloh selalu menciptakan orang lain bisa
jadi untuk melatih kesabaran orang lainnya, seperti menciptakan syaitan,
guna di jadikan penguji bagi manusia, agar keimanan tertempa, agar
keteguhan teruji, dan siapa yang pantas dan tak pantas mendapat anugerah
dan pahala akan terlihat jelas.
Kerja di pabrik semen mungkin sama dengan
kerja di pabrik lain, soalnya aku tak pernah kerja di pabrik manapun.
Di pabrik semen yang ku tempati, ada sistim kerja yang namanya drama,
lhoh kok bisa? Aku sendiri pertama kaget ada kerja model kayak gitu, tau
kan drama? Drama berarti ya gak bekerja beneran, pura-pura kerja tapi
tak menghasilkan apa-apa tapi kelihatan paling sibuk.
Contoh, misal nancepkan paku, paku di
tancepkan separo, lalu sibuk mukul, tapi yang di pukul kanan kiri paku,
jadi tak di kenakan pakunya, sebentar istrirahat, nanti kalau ada mandor
datang, pakunya di pukul beneran, tapi juga jangan sampai ambles, ya
satu paku jatahnya satu hari lah, malah bisa juga di ambil lemburan
dalam rangka menancapkan satu paku itu.
Aku sendiri kaget, aku penulis kaligrafi,
dalam menyelesaikan kaligrafi ya menurutku sih santai saja, ee ternyata
di Arab yang ku selesaikan dalam sehari itu bisa di selesaikan oleh
penulis sebelumnya dalam masa sebulan, jadi karena pabrik membuat ukuran
sebelumnya, jadi aku di beri tugas menyelesaikan tugas tulisan untuk
satu bulan, ya aku selesaikan dalam sehari, karena tak tau, akhirnya
dalam masa sebulan aku nganggur, berangkat kerja, cuma ngisi absen, dan
duduk seharian waktu dzuhur pulang, jam satu balik kerja, lalu duduk
sampai jam 4 sore, dan pulang, lama-lama jenuh juga, maka mulai itulah
tulisan SANG KYAI ku tulis, apalagi aku bisa menjadikan internet Saudi
gratis, walau dengan hp tulisan sang kyai mulai ku tulis sedikit demi
sedikit, padahal di Saudi internet amat mahal, sekali masuk 4 real, satu
real sama dengan dua ribu empat ratus rupiah, untung aku bisa
menjadikan internet gratis, semua teman menganggap aku gila, ngayal,
karena mengatakan internet bisa gratis, padahal aku katakan ke yang
lain, aku sendiri telah menggunakan gratisan ada setengah tahunan, tapi
setelah semua ku ajari caranya, maka semua mengikuti.
Drama, ya memang sudah jadi kebiasaan
kerja drama, aku tidak ikutan drama maka di salahkan yang lain, padahal
jelas itu amat tak sesuai dengan nuraniku, uang itu ku makan, di makan
anak istriku, menjadi darah, mencuci hati, menjadi daging, aku
membayangkan, jika anak istriku ku beri makan dari hasil kerja mendrama,
yang tak halal, aku membayangkan anakku akan susah ku nasehati, istriku
akan jadi orang keras kepala, ah tak sanggup aku membayangkannya, dan
rasanya ingin pulang saja.
Tapi aku sudah di Saudi, belum hajian
lagi, apalagi keberangkatan ke Saudi uangnya harus ku ganti, karena
biaya keberangkatanku di tanggung PJTKI.
Hari kamis, libur, paling enak tidur, di
hari biasa saja di tempatku sudah tak ada kerjaan, maka jangan harap aku
mendapat lembur, sementara yang lain pada lembur.
Setelah sarapan pagi, siap-siap untuk tidur, hp bunyi.
“Lagi apa mas?” suara Muhsin.
“Ya biasa tidur.” jawabku malas karena sudah setengah tidur.
“Gak lembur?”
“ah mana ada lembur, apa yang mau di lemburkan?”
“Umroh yuuk..”
“Umroh?, ah ndak punya uang, mau umroh pakai apa?” jawabku.
Bagaimana mau umroh, gaji saja belum di
terima, ah ada-ada aja si Muhsin. aku melanjutkan tidur lagi, tapi
sebentar hp bunyi lagi, ku angkat.
“Mas aku sudah di depan kamar.” suara Muhsin.
“Iya sebentar ku bukain.” karena kamar ku
kunci, aku telah pindah kamar dari sekamar dengan orang yang cuma punya
satu kunci, pindah ke kamar yang punya dua kunci, barengan orang
Madura. Kamar ku buka.
“Ayo mas umroh…, masih tidur?” tanya Muhsin.
“Iya…” jawabku dengan mata memicing,
karena silau oleh cahaya masuk ke kamar, maklum di Saudi itu kalau pagi
matahari sudah terik kayak di Indonesia di waktu siang tengah hari.
“Ayo siap-siap.” ajaknya.
“Aku ndak punya uang..” kataku.
“Tinggal berangkat aja kok mas.., itu taksinya sudah nunggu di depan.”
“Wah ini serius.?” tanyaku.
“ya iyalah..”
“Tapi aku ndak punya pakaian umroh.”
“Udah ku sedia’in semua, tinggal bawa pakaian ganti.”
“Ya kalau gitu aku ambil pakaian ganti.”
kataku sembari berjalan ke lemari, ambil tas dan memasukan pakaian
ganti, sabun dan pasta gigi.
“Trus besok sabtu kerja bagaimana itu?” tanyaku.
“Kan berangkat dari sini pagi, besok jam
segini sampai di Makkah, lalu siang hari jum’at berangkat ke Mekkah,
malam jam tigaan kan sudah sampai di sini, istirahat sebentar kan
sabtunya sudah bisa kerja.” jelas Muhsin.
Ternyata taksi sudah ada di luar, dan di
dalam taksi sudah ada Munif, orang Indo dan sopir Raju, sopir taksi juga
pekerja pabrik, yang juga mau umroh.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda