Kakak iparku Abdullah menelpon.
“Ada kesibukan apa di rumah?” tanya Abdullah.
“Ya nganggur, ndak ada kesibukan apa-apa.” jawabku.
“Bagaimana kalau bekerja di Saudi arabia?, ya itung-itung bisa hajian,” kata dia.
“Ya ndak papa, karena kalau di rumah
terus kok kayaknya gak banyak pengalaman, lalu bagaimana sistimnya?”
tanyaku yang memang awam soal kerja di Saudi.
“Besok datang saja ke PT, karena besok ada manager dari sana yang langsung melakukan survei.” jelas Abdullah.
“Baik nanti malam aku berangkat dengan travel.”
Malamnya aku berangkat ke PJTKI untuk
ikut wawancara. Sampai di PJTKI aku ketemu Macan, yang menjadi bapak
asuh penjaga semua TKI.
“Ngapain ke sini?” tanya Macan.
“Bekerja di saudi.” jawabku.
“Hahaha kamu mau kerja di saudi?”
“Apanya yang salah, kodok itu harus
keluar dari tempurung Can, biar tak mengira kalau dunia itu hanya dalam
tempurung.” kataku berdalih membela kepentinganku.
“Ya kau memang paling bisa membuat alasan.”
“Tapi kenyataannya kan kayak gitu…, kalau mau ikut jangan malu-malu..”
“Byuh aku ini kalau pisah sama istri
seminggu saja nekak nekuk gak karuan, kalau setahun apa ndak nanti
pulang dari Saudi ndak dalam keadaan setres ?.”
“Ya kalau gitu jangan ikut, daripada kamu setres, aku juga yang ngurus…”
Di PJTKI aku berkenalan dengan seorang
TKI suami istri yang sudah lama bolak-balik kerja di Saudi, namanya
Najib. Dia dan istrinya ketemunya juga di Saudi, dan pulang ke Indonesia
kemudian menikah. Najib dari Ciamis dan istrinya orang Makasar.
“Mas ini ya yang katanya adiknya pak Abdullah..?” tanya Najib.
“Iya… ada apa mas?”
“Maaf, kenalkan dulu mas, namaku Najib,” kata Najib memperkenalkan diri, mengulurkan tangannya.
“Namaku Febrian,” ku jabat tangannya.
“Lagi main ke PJTKI ya mas?” tanya dia.
“oo tidak, aku mau ikut wawancara kerja di Saudi.”
“Wah kerja di sana berat mas.” jelasnya,
“Saya ini sudah 6 kali bolak-balik ke Saudi, jadi tiap dua tahun pulang,
jadi di sana sudah 12 tahun mas.”
“Wah lama juga ya. Berarti sudah banyak dong uangnya.”
“Uangnya habis di jalan mas.”
“Lho kok bisa gitu?”
“Ya uang dari sana itu kayak ndak berkah mas, mudah habis, tak tau kenapa kok gitu, ya uang kayak menguap begitu aja.”
“Trus kamu sama istri kerja di sana ini kerjanya apa?”
“Saya jadi sopir, dan istriku jadi
pembantu rumah tangga mas, ini menunggu dapat Visa yang butuh
suami-istri dalam satu majikan, la mas sendiri kerja apa?”
“Aku juga belum tau kerjanya apa, dan di
mana, katanya denger-denger kerja di pabrik semen, kurang tau pasnya.”
jelasku yang memang kurang tau.
Tiba-tiba Najib mengeluarkan kertas dari
tasnya, “Maaf mas, ini kertas perjanjian kerja saya, saya juga belum tau
ini majikannya baik atau tidak, entah bagaimana orangnya, saya minta
mas mau meniup kertas ini, biar saya mendapat majikan yang baik.” kata
Najib menyerahkan kertas perjanjian kerja padaku.
“Maksudnya niup itu bagaimana?” tanyaku tak mengerti.
“Istriku tau dari banyak TKW, kalau mas
sering di mintai do’a kalau ada TKW mau berangkat ke Saudi, supaya di
beri keselamatan, mendapat majikan yang baik, dan pulang dengan
selamat.”
“ooo itu, iya sih memang banyak yang minta ke rumah, dan memang kebetulan juga kabarnya selalu mendapat majikan yang baik.”
“Makanya saya minta ini di tiup mas…, biar saya juga dapat majikan yang baik.” jelasnya.
Kertas ku ambil lalu ku tiup, dan
sebentar kemudian aku telah berpisah dengan Najib, karena dia di panggil
sebab pesawat keberangkatannya jamnya sudah sampai.
Malam pertama, setelah sholat isya’ aku
memilih nongkrong di pos penjagaan, tidak kumpul dengan para TKL, tempat
TKL ada di penampungan bagian depan, di samping ada penampungan lain,
di daerah Cipinang, sementara penampungan belakang di isi para TKW, jadi
ingat waktu di pondok ramai wanita, kalau ini ingin merubah jalan
hidupnya, merubah ekonominya, sementara di pesantren para santri ingin
mendapat ilmu. Tiba-tiba seorang pegawai kantor menemuiku dengan
tergopoh-gopoh.
“Mas… mas ian ada TKW yang yang kerasukan…!” kata petugas itu.
“Di mana?” tanyaku.
“Ya di penampungan putri.” jawab dia sambil tangannya menunjuk penampungan putri.
“La si Macan kemana?” tanyaku.
“Mas Macan keluar.., tolong mas kasihan.”
“Aku pun ke dalam penampungan putri, di iringi satpam dan petugas kantor yang jaga.”
Masuk ke dalam, di dalam ramai sekali
perempuan dengan berbagai macam, ribut mengerungi yang kerasukan. Tapi
baru sekitar jarakku dengan yang kerasukan masih lima meteran, yang
kerasukan sudah tersadar.
“Permisi-permisi, tolong di kasih jalan,
biar yang kerasukan ku lihat.” kataku meminta agar perempuan yang
mengerubuti menyingkir, bau khas perempuan amat pekat.
Ku lihat yang kerasukan, ku dekati, sudah tak ku rasakan getaran jin, ku pagar tubuhnya.
“Sudah-sudah ndak papa, ayo di bawa ke
kamar.” kataku, kepada yang mengerubuti, dan tubuh perempuan itupun di
bawa masuk ke kamar.
Sementara aku kembali ke depan, ke pos satpam, ngobrol sama yang lain yang ikut nongkrong di pos.
“Apa sering terjadi kerasukan kayak gitu? ” tanyaku pada satpam.
“Sering juga mas…, ” jawab satpam.
“Harusnya Macan memagar tempat ini,
jangan di biarkan angker, soalnya ini kan tempat kumpul para orang yang
punya latar belakang beda-beda, ada yang setres, ada yang punya kasus di
rumah, jadi akan amat mudah kerasukan.” jelasku.
“Mas mau besok membersihkan tempat penampungan yang satunya, soalnya di sana juga banyak yang menampakkan diri hantunya.”
“Ndak papa, nanti di bersihkan, tentunya kalau aku ada waktu.”
Malam makin larut, sudah sekitar jam 12
malam, aku memilih sholat isya’ dan kemudian dzikir di dalam ruang tidur
pos satpam, yang terletak di belakang pos penjagaan.
Hujan rintik-rintik, baru setengah jam
duduk dzikir, pintu gerbang penampungan ada yang mengetuk, aku tetap
dalam dzikirku, tak tau tamu mana yang masuk, baru seperempat jam tamu
masuk, tiba-tiba petugas dari dalam mendatangiku.
“Mas-mas tolong mas, ada TKW ngamuk…” kata petugas itu.
“Lhoh apa yang kerasukan tadi?” tanyaku.
“Bukan mas, ini yang baru datang tadi…” kata satpam yang menyertai.
“Ngamuknya kenapa?” tanyaku. Wah kok malah aku yang ngurusi TKW…
“Dia di dalam mas, sedang di pegangi
orang banyak, soalnya kepalanya di bentur-benturkan ke tembok, sampai
berdarah-darah, katanya mau bunuh diri.” jelas satpam.
Aku segera beranjak berdiri, tapi
tiba-tiba dari dalam ada perempuan yang berlari, di kejar sama TKW lain.
Semua segera berusaha menangkap, seperti mau menangkap kambing kurban
yang lepas, karena ogah di sembelih, aku melihat saja, sampai TKW itu di
tangkap.
“Coba bawa ke pos satpam.” kataku.
Lalu TKW itu pun di bawa ke pos satpam,
dan tetap berusaha berontak. Ku tempelkan tanganku ke kepalanya, dan ku
salurkan hawa penenang ke pikirannya. Perlahan perempuan muda itu mulai
tenang. Lalu nangis sesenggukan.
“Ya Alloh berdosanya aku, aku perempuan
kotor, bagaimana suamiku, bagaimana dia mau menerima aku, ya Alloh…!”
kata perempuan itu meracau, nampak di jidatnya berdarah. Mungkin
jidatnya itu yang di bentur-benturkan ke tembok.
“Aku mati saja…, mati saja..huuu..huu..” kata perempuan itu berulang-ulang, di antara tangisnya sampai tubuhnya terguncang.
“Ada apa to mbak, ada masalah bisa di
selesaikan, apa mati itu bisa menyelesaikan masalah? Apalagi kalau mati
bunuh diri, bisa jadi di sana akan di siksa sampai hari kiamat, apapun
masalah itu, maka ada jalan menyelesaikannya.” hiburku masih tetap
menempelkan tanganku ke kepalanya, agar tenaga prana menenangkan
pikirannya dan memang perlahan tapi pasti dia mulai berhenti menangis.
“Kau tak ikut merasakan yang aku alami di
saudi mas… jadi tak merasa sedih.” katanya yang mulai tenang, sementara
beberapa lelaki di pos satpam tetap berjaga, takutnya perempuan itu
kabur.
“Ya aku mungkin tak ikut mengalami, tapi
kalau mbak mungkin punya pengalaman pahit dan tak tahan memendamnya
sendiri, bisa di ceritakan padaku, jika aku sanggup membantu mencarikan
solusinya, maka akan ku bantu dengan sekuat tenagaku.” kataku, dengan
nada datar takut mengejutkan kejiwaannya yang terguncang, pasti tak
ringan yang di alaminya di sana.
“Aku ini baru berangkat ke Saudi sebulan
kemaren mas, dan sampai di majikanku, dan mas tau aku di sana cuma di
jadikan pelampiasan nafsu di gilir tiap hari oleh, ayah, anak, paman dan
keluarga mereka, yang aku tak tau, aku selalu di sekap, di pegangi, di
perkosa ramai-ramai huuu…huuu… betapa malangnya nasibku… cabutlah
nyawaku ya Alloh.. bagaimana dengan suamiku, dengan kekotoranku ini…”
Aku ikut menitikkan air mata, tak terbayangkan akan yang di alami oleh perempuan di depanku, wajar bila jiwanya terguncang.
“Ya tenangkan diri mbak, mbak mengalami
itu bukan karena keinginan sendiri, jadi mbak orang yang di dzolimi,
bukan orang yang dengan sengaja melakukan perbuata keji, lalu bagaimana
mbak bisa pulang?”
“Aku kabur mas, kabur melewati jendela,
ini lihat tanganku bekas di ikat.” katanya sambil menunjukkan tangannya,
dan memang ada bekas luka ikatan.
“Lalu sampai di Indo?”
“Aku kabur ke kedutaan mas, dan di pulangkan.” jelasnya.
“Sudah sekarang tenangkan diri, yang menimpa nanti di urus.” kataku menenangkan.
“Aku ingin ganti baju mas.” katanya,
memang tadi bajunya kotor karena lari-larian jatuh bangun. Seorang TKW
segera menyerahkan tas berisi baju pada perempuan itu, dan perempuan itu
di antar ke kamar mandi yang ada di belakang pos satpam.
Aku masuk lagi ke dalam kamar satpam.
Sepuluh menit berlalu, seperempat jam
berlalu, di luar adem ayem saja. Aku keluar kamar, dan ku lihat satpam
juga petugas PJTKI masih ngobrol.
“Lhoh mana perempuan tadi?” tanyaku.
“Ya masih di kamar mandi mas.” jawab satpam.
“Lhoh, gimana to, yaaa kabur pasti, ” kataku memperingatkan.
Kamar mandi segera di gedor, tapi tak ada sahutan.
“Udah di dobrak saja.” kataku.
Kamar mandi pun di dobrak, dan dalam keadaan kosong, nampak jejak di dinding, pertanda perempuan itu telah kabur.
Aku hanya geleng-geleng kepala, tak taulah, apa yang terjadi, padahal sudah jam 2 dini hari.
Paginya wawancara dengan manager pabrik
semen berjalan lancar, aku di tes membuat aneka motif aliran kaligrafi
dan aku di nyatakan lulus, aku tinggal ikut medical, BAP, dan menunggu
terbang.
“Ayo ke penampungan lama mas.” kata seorang pegawai PJTKI.
“Jadi mau di pindah di penampungan baru ya?” tanyaku.
“Wah mas ian lupa, kan mas mau bersihkan tempat itu dari gangguan jin?” kata pegawai yang bernama Arif Rahman.
“Di penampungan itu kosong kok mas, ndak
ada penghuninya, cuma ada sopir suami istri, juga yang mau berangkat ke
Saudi.” jelas Arif rahman.
“oo kirain mau di pindah…”
“Mari mas, berangkatnya ku bonceng motor.” ajak Arif.
Akupun di bonceng Arif, meliak liuk di
antara mobil yang terjebak kemacetan Jakarta, kadang harus masuk gang
sempit, dan becek, juga menyerempet tong sampah, memang begitulah
Jakarta, kebersihannya dan tak macetnya terlanjur menempel di lidah para
gubernur dan walikotanya, sehingga mengurainya harus mengelupasnya dari
lidah mereka.
Dua jam perjalanan akhirnya sampai,
mungkin sebenarnya jika di tarik garis lurus, dari awal perjalanan yang
ku tempuh dengan tujuan yang ku tuju, paling berjarak 1 km, tapi jadi
jauh, karena kemacetan.
Sampai di penampungan sudah sore, memang
di penampungan ada penghuni suami istri saja, selain penjaga
penampungan, karena penampungan ini penampungan lama, yang sudah tidak
di pakai lagi.
Sedang TKL yang bertemu denganku bernama Tejo, aku tak tau nama istrinya.
“Katanya mau membersihkan penampungan ini dari pengaruh jahat ya mas?” tanya Tejo yang duduk bicara denganku setelah magrib.
“Iya..”
“Wah kebetulan” kata Tejo.
“Kebetulan kenapa?”
“Ya kebetulan ketemu orang pinter.”
“Wah orang pinter mana?, ketemu di mana?” tanyaku heran.
“La mas ini kan orang pinternya…” jelas
dia sambil tertawa, Tejo orangnya kurus kekar, ku lihat dia biasa
bekerja keras, dan bicaranya juga ceplas ceplos.
“Wah saya ndak punya kelebihan apa-apa,
jika ada ilmu itu juga anugerah dari Alloh, saya cuma di titipi, jadi
bisa kapan saja di ambil.” jelasku.
“Maaf mas, mbok saya ini di lihat kenapa,”
“Kenapa apanya?”
“Begini mas… sejak saya remaja, saya ini
sudah bekerja sebagai sopir truk kontainer, awalnya sih saya kenek, tapi
lama-lama saya belajar dan bisa, kemudian saya jadi sopir, sudah sekian
tahun, sampai saya punya istri, kok ndak ada sama sekali rizqi yang
nyantol, saya malah miskin ndak punya apa-apa, padahal sekali kirim
barang, uang 4 ratus ribuan pasti saya dapat, tapi kok ya seperti hilang
gak tau kemana, trus kalau sama istri saya selalu bertengkar, kalau
sudah bertengkar, apa-apa bisa saya banting, sepertinya saya merasa
hilang kendali.” jelas Tejo panjang lebar.
Ku raba tubuhnya indraku…
“Sampean habis bacok orang ya di kampung?” tanyaku.
“Kok sampean tau?” tanya Tejo balik.
“Iya apa enggak?” tanyaku
“Iya mas… ceritanya begini, di kampung
ada maling yang di kejar-kejar orang kampung, waktu itu aku lagi di
sawah, ee kok malingnya lari ke arahku, mau ku tangkap ngelawan, ya
terpaksa ku bacok kakinya.” cerita Tejo.
“Kamu pernah Nyupang di Laut selatan ya?” tanyaku lagi.
“Kok tau juga mas…”
“La iya apa ndak?”
“Iya mas…, tapi awalnya aku cuma nganter
orang, yang mau nyupang ngambil pesugihan di pantai laut selatan,
ceritanya begini.” kata Tejo mulai berccerita.
“Saat itu aku karena sopir travel, aku
mendapat rombongan penumpang mengantar rombongan orang yang mau
mengambil pesugihan ke laut selatan, ya aku awalnya ndak tau, ku kira
orang yang mau rekreasi, aku mengantar mereka, sampai di pantai kok aku
di minta mengantar ke juru kuncinya, dan aku antar, ya aku pengen tau
juga apa sebenarnya yang mereka lakukan, maka sekalian aku ikuti, sampai
kemudian semua pada melakukan sesaji di laut selatan, di Parangtritis,
malam-malam, aku juga ikut, nah dalam melakukan sesaji dan persembahan
itulah, dari laut muncul ular besar sekali.” cerita Tejo.
“Kamu melihat ularnya.?” tanyaku.
“Ya melihat mas., ular besar sekali dan
anehnya wajahnya wajah nenek-nenek, dia menggigit sesuatu benda, lalu
benda itu di lepas, ternyata berupa bambu yang di ikat, banyaknya sesuai
banyaknya kami yang hadir, lalu sama juru kunci bambunya di terima dan
di bagikan pada kami, lalu kami di suruh berjanji untuk mempersembahkan
bayi sebagai ganti permintaan kami jika sudah berhasil, ya aku ndak mau
mas, tapi bambu tanda permintaan kami sudah di berikan, setelah ular
besar berkepala nenek-nenek itu memberi pesan kepada kami, maka ular itu
masuk lagi ke dalam air, dan kami semua pulang, dan bambu milikku ku
buang, ya walaupun aku bukan orang yang beragama, tapi aku ndak mau
masuk neraka, mempersembahkan bayi, lalu sampai rumah bambu sebesar jari
itu ku buang, na sejak saat itu hidupku amat susah, keluarga selalu
cekcok, malah aku seperti sering hilang kendali, juga istriku hilang
kendali, rizqiku juga sama sulit, sementara orang yang ku antar itu
semuanya menjadi orang yang kaya raya.” Tejo mengakhiri kisahnya.
“Kamu pernah menjalankan amalan kejawen?” tanyaku lagi.
“Waduh mas kok tau semua to…”
“Ya di jawab, iya apa enggak.” kataku.
“Iya mas, ceritanya begini mas, aku ini
kan sopir, sopir kontainer, mas tau sendiri, kontainer itu membawa
barang kadang berharga, la tak jarang kami itu di hadang bajing loncat,
belum lagi kami sering di mintai polisi-polisi nakal di jalan, sehingga
pendapatanku sering tinggal seratus ribu, karena di minta polisi-polisi
itu, kami kan juga punya keluarga, anak yang perlu di hidupi, pada suatu
hari temanku bilang biar tidak di hadang bajing loncat, atau polisi
nakal, maka aku di sarankan meminta keselamatan pada seorang yang
linuweh di daerah dekat alas roban, maka aku di antar ke sana, dan aku
di beri isi dan amalan, lalu ku amalkan, memang dalam perjalanan kami
selalu aman, teman-teman yang lain di hadang bajing loncat, tapi aku tak
pernah di hadang, juga tak pernah di mintai polisi-polisi nakal,
sehingga uangku utuh.”
“hm gitu…”
“Iya mas itu kisahnya.”
“Kalau ilmu kejawen, jin yang dari pantai
selatan itu semua ku ambil dari tubuhmu, dan nanti kamu tobat, terus
menjalankan hidup yang islami mau?” tanyaku.
“Mau-mau mas, asal hidupku tentram… Alhamdulillah aku di pertemukan dengan mas, Alloh telah mengirimkan mas padaku.”
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda