“Bagaimana taunya kita ini sudah ikhlas atau belum?” tanya Muhsin.
“Ikhlas itu suatu proses, tak ada batas
akhir suatu keikhlasan seseorang, tapi ada batas antara orang itu ikhlas
dengan tidak ikhlas, yang penting kita berusaha beramal tidak mengharap
balasan dan menjauhkan diri dari pamrih ingin mendapatkan segala
sesuatu, selain menjalani perintah Alloh, jadi hilangkan harapan dan
tujuan ingin mendapatkan sesuatu, apapun yang di lakukan atas dasar
keinginan maka itu berarti nafsu, jadi jangan menyandarkan suatu
perbuatan ibadah karena keinginan mendapat sesuatu atau menyandarkan
keinginan kita, atau keinginan orang lain, tapi lakukan melulu karena
Alloh memerintahkan, tanda seorang itu telah
menapaki pelataran ikhlas, yaitu hati telah tidak berubah, ada atau
tidak anugerah yang di terima dari Alloh saat menjalani ibadah, hati
selalu tetap, tidak lalu bersemangat karena adanya fadhilah yang di
terima, dan malas karena tidak adanya fadhilah, semangat karena ada
hadiahnya, dan malas karena tak ada hadiahnya, dan orang ikhlas itu
tidak seperti itu, selalu konsisten, istiqomah, dan berubah-rubah
hatinya karena perubahan keadaan yang di hadapi, makanya Syaikh Abdul
Qodir mengatakan kalau Al istiqomatu afdholu min alfi karomah, istiqomah
itu lebih utama dari seribu kekeramatan seorang wali, sebab istiqomah
menunjukkan nilai keikhlasan seseorang.” jelasku.
“Wah berarti jarang orang yang bisa ikhlas dalam menjalankan ibadah?”
“Ikhlas itu bukan sesuatu yang di ucap,
sebab amaliyah hati, tak terlihat, dan tak teraba, bahkan oleh malaikat
khofdzoh yang membawa amal ibadah seseorang ke langit, bisa saja orang
yang gembar-gembor itu ikhlas, bisa juga orang yang diam tidak ikhlas,
atau sebaliknya, tapi amaliyah yang ikhlas atau tidak itu pasti ada
efeknya di jiwa, hati, ruh, dan perbuatan orang yang melakukan amaliyah,
sebab amal perbuatan itu kan pasti ada hasilnya, orang masak beras,
hasilnya, beras menjadi nasi. Jika sepuluh taun di masak kok tak jadi
nasi, berarti masaknya tak benar.
Seperti sholat saja, Alloh berfirman
dalam Alqur’an kalau sholat itu bisa mencegah yang menjalankan, mencegah
dari perbuatan keji dan mungkar, perbuatan keji, ya kayak lisan suka
menyumpah, suka membicarakan aib orang lain, suka mencela, menghasut,
mengadu domba, dan tangan suka mencuri, nyopet, pokoknya orang lain tak
aman bila di samping kita, maka jelas kita masih menjalankan perbuatan
keji, dan perbuatan mungkar atau perbuatan yang menjadi larangan agama,
kok perbuatan itu masih kita lakukan sementara kita juga sholat, maka
sholat kita itu pasti, bukan mungkin tapi pasti belum benar, sebagaimana
orang memasak beras kok sepuluh tahun di masak belum juga jadi nasi,
bisa jadi kompornya tak nyala, atau hal apapun yang menjadi kendala
perbuatan itu di lakukan dengan benar.”
“Oh ya mas ada temanku dari Maroko mau main ke kamar mas ian boleh?” tanya Muhsin.
“Boleh saja.”
“Soalnya dia juga mau minta tolong, soal anaknya, “
“Ya ajak saja kesini.”
” Apa perlu anaknya di ajak kesini juga?” tanya Muhsin.
“Tak perlu…, juga di lihat masalahnya apa dulu…” kataku.
“Oh ya juga ada orang Pakistan yang sudah sepuluh tahun tak punya anak, apa mas bisa memberi solusi?”
“Coba saja lelakinya suruh bicara denganku, soal solusi itu nanti di lihat apa kasusnya.”
——————————————-
Karena tak banyak pekerjaan yang ku
lakukan, maka aku sering ikut kerja orang lain, kadang memasang
wallpaper, atau memasang ternit, atau karpet lantai, atau mengecat pintu
dan kusen, sehingga aku sering terlihat kerja dengan banyak orang,
bahkan di bagian lain yang bukan bagianku, sebab pekerja itu di
kelompokkan dalam bagian atau section, dan bagianku adalah welfare, dan
aku sering ikut bagian general services.
Karena sering bekerja dengan pekerja
lain, maka aku cepat banyak teman dan kenalan, dari orang India,
Pakistan, Maroko, Sudan, Yaman, dan Arab, bahkan Banglades.
Walaupun aku orangnya tak banyak bicara,
sehari pun bicara bisa di hitung dengan jari, tiap kerja kebanyakan
diam, hanya bicara dengan orang yang ku rasa cocok bisa di ajak membahas
ilmu dan tukar pikiran.
Aku di pasangkan bekerja dengan orang
Maroko bernama Muhammad, orangnya tubuhnya besar dan suka berkelahi,
baru dua hari lalu dia memukul orang Banggali sampai KO.
Aku lumayan cocok dengan Muhammad sebab kalau ku ajak ngobrol dia memakai bahasa Arab baku, sehingga pembicaraan kami lancar.
Kami sering bersama entah dalam bekerja juga dalam keseharian, Muhammad juga sering main ke kamarku.
“Kamu tau ilmu dari kitab syamsul ma’arif? ” tanya Muhammad suatu hari.
“Tau…, itu dalam pesantren di Indonesia itu di namakan ilmu hikmah.” jawabku
“Itu banyak di pelajari di Maroko.” kata
Muhammad. Sambil merontokkan ternit lama karena kami dapat pekerjaan
lembur merusak internit villa, untuk di ganti internit baru.
“Ku dengar syamsul ma’arif di larang di
pelajari di Saudi, bahkan kalau ada orang yang membawa kitab syamsul
ma’arif jika ketangkap polisi akan di tangkap dan yang mengamalkan bisa
di hukum pancung.” kataku.
“Iya…, aku dengar juga begitu.” jawab Muhammad.
“Ku rasa peraturan Saudi soal itu ada
benarnya juga, karena menyangkut aqidah, lebih banyak orang yang belajar
kitab syamsul ma’arif, abu ma’sar alfalaqi, aufaq, syamsul anwar, jika
tidak kuat aqidahnya, kebanyakan akan tersesat, artinya akan terseret
pada penggantungan diri meminta pada khodam, bukan pada Alloh.” kataku.
“Kok bisa seperti itu?” tanya Muhammad,
“Iya karena khodam yang ada di amalan
yang tertera yang akan memberi kekuatan, kekuatan khodam tuju bintang
yang jadi sandaran, jadi kemudian akan di mintai tolong.” jelasku.
“Begitu ya… padahal aku belajar syamsul ma’arif sudah lama.”
“Pantesan kau memiliki pukulan yang ampuh.” kataku bercanda.
“Ilmu paling murni itu ilmu toreqoh…” kataku.
“Apa yang kamu maksud toreqoh yang tasawuf itu.”
“Tasawuf itu tata cara pengalaman ubudiyah soal hati.” jelasku.
“Dan toreqoh itu lebih luas.”
“Bisakah kau jelaskan sedikit padaku, di Maroko juga ada toreqoh tapi kok orangnya kebanyakan miskin-miskin.” kata Muhammad.
“Toreqoh itu jalan menuju Alloh, yang
punya sanad atau sandaran ilmu yang bersambung dari Nabi Muhammad SAW,
jadi ada ketersambungan guru sampai kepada Nabi, itulah keunggulannya,
sebab jika di umpamakan amaliyah, paralon itu sambungan guru, dan pompa
air yang menyala itu di umpamakan amalan kita, jika dari pompa air itu
tak menyambung kepada sumur, sumur itu umpama Nabi, dan sumber air itu
fadhilah dan anugerah Alloh, jika kita punya amaliyah, tapi tidak
menyambung pada Nabi, itu seperti sanyo yang kita nyalakan siang malam,
kita amalkan siang malam tapi tidak menyambung ke sumur, maka sekalipun
kita amalkan siang malam maka tidak akan keluar airnya, artinya fadhilah
Alloh tak akan keluar, sebab tidak menyambung ke sumur, lalu syamsul
ma’arif itu tak ada menyambung sanad dari Nabi, maka tidak ada fadhilah
Alloh akan keluar, jadi pentingnya sanad ilmu, juga menentukan hasil
pencapaian yang di raih, tapi begitu juga, dalam toreqoh itu sekalipun
guru mursyid maka mereka punya kedudukan yang berbeda, seperti wadah
air, guru itu seperti tabung penyimpanan air, jika dari atas hanya
sedikit atau kecil sambungan air, maka akan sedikit juga paralon di
bawahnya akan menerima air dari sambungan atasnya yang sedikit, maka
guru mursyid yang punya sambungan banyak amat sangat berpengaruh pada
besar kecil fadhilah yang di hasilkan murid, guruku mempunyai sambungan
toreqoh ke atas sampai kurang lebih 13 jalur, dan tertampung dalam
guruku, maka murid di bawahnya akan banyak mendapat manfaat, karena
aliran fadhilah yang besar.”
“hm masuk akal juga… jadi tertarik aku dengan toreqoh, bolehkan aku belajar lebih banyak lagi?”
“Aku sendiri juga seorang murid, orang yang mencari, dan masih berusaha istiqomah, kita saling berbagi saja.” kataku.
“Baik, tapi aku tetap mau minta di bimbing.” kata Muhammad
“Dalam toreqoh ada juga kedudukan seorang mursyid itu beda-beda.” jelasku.
“Ada yang seperti itu ya?” tanya Muhammad sambil kami terus bekerja.
“Contoh tau kan Syaikh Abdul Qodir Jailainai RA?”
“Iya tau…”
“Syaikh Abdul Qodir itu punya kedudukan
sultonul auliya’, ghousil a’dzom, quthub, ahli talkin, ahli silsilah,
ahli tawasul, ahli nasab, jadi berbagai kedudukan itu menjadi satu,
makanya banyak karomahnya, karena setiap seseorang punya kedudukan itu
maka akan dengan sendirinya mempunyai pakaian kebesaran berbagai atribut
dari kedudukan yang di miliki, seperti seorang jendral dari sebuah
ketentaraan dalam suatu negara, jika banyak tanda pangkat di sandangnya
maka akan makin banyak kelebihan yang di miliki, seperti berhak
kemana-mana membawa pistol, membawahi beberapa peleton tentara, jika
kedudukannya cuma penjaga keamanan toko tentu beda.” kataku menjelaskan
yang masuk akalnya Muhammad.
“hm… sepertinya juga masuk akal.” kata Muhammad.
“Dalam toreqoh juga ada wakil talkin,
wakil bai’at, jika kita di bai’at atau di talkin wakil talkin, maka
selamanya kita hanya akan jadi prajurit, dan karena jadi prajurit maka
tak akan meningkat pada kedudukan yang tinggi, sebab hanya prajurit,
bisa jadi orang daerahmu, orang toreqoh yang kamu sebut miskin-miskin
itu orang yang tak mempunyai kedudukan. Dalam ketentaraan juga kan orang
yang kedudukannya rendah tak punya gaji tinggi.”
“Iya bisa jadi juga.”
“Kalau ku umpamakan, seorang kalau mau
mendapat gaji dari pabrik, maka jangan hanya mengulurkan tangan di pintu
gerbang, tapi masuklah ke pabrik, daftar, dan menjadi karyawan, maka
pasti akan menerima gaji.” kataku.
“Iya itu benar, lalu apa hubungannya dengan toreqoh?” tanya Muhammad tak mengerti.
“Sama pabrik itu ku umpamakan pabrik
fadhilah dan rohmat Alloh, jika kita cuma minta dan tanpa mengikat diri
masuk dalam pabrik fadhilah dan rokhmat Alloh, cuma wira-wiri di sekitar
pabrik, berdo’a, maka kita sangat jauh kemungkinan akan di ijabah do’a
kita, tapi kalau kita masuk di talkin dan di bai’at masuk secara resmi
ke dalam pabrik, maka sekalipun tak minta, sekalipun tak berdo’a kita
akan tetap mendapat gaji bulanan, apalagi meminta, pasti Alloh tak
segan-segan memberi.” jelasku.
“hemmm… biar ku pikirkan apa yang kau katakan, soalnya aku kurang paham seluruhnya.”
“Sepertinya pekerjaan kita sudah selesai, apa kita pulang dulu?” tanyaku.
“Tidak, nanti menunggu jam pulang bareng pekerja lain, pas jam enam, ini baru jam lima lebih sedikit.” kata Muhammad.
“Lalu bagaimana jika aku ingin mengamalkan toreqoh?, Apa yang harus aku lakukan?” tanya Muhammad.
“Sebenarnya harus di talkin, di talkin
itu penyaringan seorang murid kalau dalam masuk universitas ya kayak
melakukan pendaftaran dan menjalani seleksi, setelah selama seleksi itu
seorang murid di pantau oleh guru dan ternyata tak pernah melakukan dosa
besar, maka akan di bai’at, menjadi murid secara resmi.” jelasku.
“Maksudnya dosa besar itu apa saja?” tanya Muhammad.
“Ya seperti main perempuan, main judi,
mencuri/merampok/mencopet, korupsi, semua golongan yang mengambil hak
orang lain, mabuk-mabukan, mengkonsumsi narkoba,”
“Jika tidak menjalankan dosa berarti kita bisa di bai’at ya?” tanya Muhammad.
“Iya.. tapi kalau jauh sama guru kan juga susah juga.”
“Iya aku juga mau tanya soal itu, kayak
aku di Saudi gini kan jauh susah jika mau di bai’at?” kata Muhammad
sambil menyalakan rokok putihan.
“Itu bisa menjalankan amaliyah dulu, jadi
misal nanti di bai’at atau di talkin, diri sudah ada tanah tempat
menanam ilmu, sebab puasa itu kan membersihkan tanah hati, dari segala
penyakit di sertai menyuburkannya, dan di talkin itu guru kita umpama
memberi biji ilmu yang kita tanam di hati kita, jika hati, tanahnya
sudah subur maka berbagai macam ilmu yang di tanam akan tumbuh subur.”
“Boleh aku minta amalannya?”
“Iya nanti ku catatkan, sekalipun amalan
ini sama dengan amalan dari siapapun, nilainya beda, bukan karena aku
yang memberi, tapi karena amalan ini ada sanad sambungan guru kepada
Nabi Muhammad, dari malaikat jibril, dari Alloh Ta’ala, jadi jelas
amalan walaupun sama-sama lafad Alloh, yang pemberian dari Alloh, beda
yang pemberian seorang ulama atau kyai tapi tak punya sambungan sanad
yang menyambung kepada Alloh, ya kayak paralon yang ku contohkan masuk
kedalam sumur dan menyedot air.”
“Lalu apa amalanku yang dari syamsul ma’arif ku hentikan?” tanya Muhammad.
“Ya di hentikan, sekarang gini saja,
selama ini amalan itu kamu amalkan apa yang kamu dapat? Sudah berapa
tahun kamu mengamalkan?”
“Iya sih tak ada yang ku dapat, walau sudah lima tahun aku mengamalkannya.”
“Nah nanti rasakan, kamu menjalankan amalan puasa yang 21 hari dariku, bandingkan dengan amalan yang kamu jalankan lima tahun…”
“Jadi puasanya 21 hari ya?” tanya Muhammad.
“Iya itu paling dasar, di atasnya ada 41
hari, 3 bulan, 7 bulan. dan seterusnya, seperti orang sekolah, maka
setiap meningkat ke tahapan di atasnya, maka akan memiliki kelebihan
yang di anugerahkan Alloh, entah bisa mengobati orang sakit, entah bisa
melihat gaib, mengusir jin, dan lain-lain, dan setiap orang berbeda-beda
kelebihan yang akan di dapat, tapi ingat dalam menjalankan jangan
mengharap ingin bisa sesuatu, lakukan dengan ikhlas, karena Alloh, amal
apapun itu jika tanpa adanya keikhlasan maka seperti tubuh tanpa ruh,
seperti motor tanpa mesin, maka tak bisa pergi kemana-mana, jika di
paksakan pergi, maka akan menyusahkan orang yang membawa, begitu juga
amal tanpa adanya keikhlasan maka akan menyusahkan orang yang di dekat
orang yang beramal, misal memberi uang maka uang nanti kan akan di
undat-undat, di ungkit-ungkit, diminta di kembalikan, bukankah itu
menyusahkan pada orang yang di dekat.”
“Iya…”
“Jadi amaliyah itu ada dzohir ada bathin,
keduanya harus saling melengkapi, jika ingin amal itu sampai pada
tujuan, itu namanya asbab, jadi dalam beramal seseorang itu jika masih
dalam kedudukan sebab asbab, maka dia tak lepas dari sebab, musabab, dan
akibat, seperti orang sakit kepala minum parasetamol lalu penyakitnya
sembuh, padahal sebenarnya yang menyembuhkan Alloh, maka orang tersebut
namanya masih menetap di maqom atau kedudukan asbab, artinya segala
sesuatunya membutuhkan sebab, kenyang sebab makan, dan segala sesuatunya
di kaitkan dengan sebab termasuk dalam ubudiyahnya, karena dia ibadah,
lalu dia menjadi dekat dengan Alloh, tapi ada juga orang yang sudah tak
tergantung oleh asbab, karena sudah memandang segala sesuatu itu di
kehendaki Alloh terjadinya, dan segala sesuatu itu telah di taqdirkan
terjadi, maka terjadi, sakit juga jika Alloh menghendaki sembuh, maka
akan sembuh, begitu dalam pemikiran orang yang sudah di kedudukan tanpa
sebab, karena tak ada selain Alloh itu bisa menjadi sebab kepada Alloh,
karena kesempurnaannya, semua menjadi sebab karena Alloh menghendakinya
menjadi sebab, dan Alloh itu tak membutuhkan sebab agar sesuatu terjadi,
juga seseorang itu ibadah tak akan menambah kekayaan Alloh, jika semua
orang maksiat juga tak menjadikan Alloh menjadi miskin jadi Alloh tak
terpengaruh oleh gerak gerik semua mahluk, karena semua mahluq itu
bergerak dan berhenti atas kehendak Alloh, jadi amal juga tidak bisa
mendekatkan atau menjadikan dekat dengan Alloh, jika seseorang itu
mengandalkan amalnya sendiri maka dia tak akan kemana-mana, karena jika
ruhnya di cabut nyatanya berangkat ke kuburan pun harus di pikul
rame-rame, menunjukkan bahwa amal kita itu tidak bisa menjadikan kita
dekat dengan Alloh, tapi Allohlah yang menghendaki kita menjadi dekat.”
“Lalu bagaimana kita tahu, misal aku ini di maqom asbab atau maqom tajrid?”
“Seorang yang menempatkan jati diri itu
hanya perlu berusaha istiqomah dalam ibadah, seperti orang yang kerja di
pabrik jika di jadwal jamnya jam 7 masuk dan jam 4 pulang, ya harus
konsisten, mengikuti aturan yang di tetapkan untuk dirinya, tanpa
melakukan tindakan yang menjadikan absensinya merah, soal nanti di
naikkan kedudukan menjadi manager itu bukan urusan dia, sama dengan
seorang yang beribadah pada Alloh, ada ibadah pokok, adalah waktu pokok
bekerja, dan ibadah sunnah adalah waktu lemburan, jika seseorang
mengandalkan gaji pokok atau penghasilan pokok maka di pastikan manusia
itu akan merugi, sebab kebutuhan itu selalu ada yang tidak di prediksi,
misal sakit butuh obat, hujan butuh payung, sama dengan orang yang
menyandarkan ibadah pokok, suatu saat bepergian, maka mengqodho sholat,
jadi orang yang tak merugi yang selalu sedia payung sebelum hujan,
lakukan amal dengan tekun, maka kemudian seseorang akan meningkat di
kedudukan yang di tentukan Alloh, dengan sendirinya akan menempati pada
kedudukan tanpa sebab, menyembuhkan penyakit tanpa obat, rizqi tanpa
mencari, dan menempuh tempat yang jauh tanpa proses perjalanan.”
“oh udah habis jamnya..” kata Muhammad.
Dan kami pun di jemput mobil pengangkut karyawan untuk kembali ke tempat
bagian kami masing-masing melakukan tanda tangan keluar kerja.
Tak terasa telah hampir dua tahun aku di
Saudi, waktu berjalan amat cepat, dan sudah sekali aku pulang cuti,
hutangku di PJTKI juga sudah ku lunasi, malah uang ku di kembalikan lagi
oleh PJTKI di belikan emas seharga sepuluh juta dan di serahkan pada
istriku. Aku sudah mau mengajukan Resend, berhenti dari pabrik, tapi aku
ingin Hajian agar tak percuma aku di Saudi, pas Hajian di tahun pertama
dan kedua aku baru pulang dari Indonesia sehingga tak ada uang untuk
biaya hajian, semoga di tahun ketigaku aku bisa hajian, sehingga aku
bisa segera pulang ke Indonesia.
Sebenarnya di tahun kedua Muhammad telah
membujukku untuk hajian dengan biaya di tanggung dia, tapi aku orangnya
selamanya tak mau menyusahkan orang lain, walau saat itu Muhammad
memaksa-maksa katanya sebagai tawadhuk murid kepada guru, tapi aku tetap
tak mau.
——————————————-
Pulang kerja aku langsung mandi,
setelah mandi sholat magrib, enaknya di Saudi setiap kamar ada kamar
mandi dan WC, jadi setiap orang tak perlu repot antri, cuma kamar cuci
yang mesinnya hanya satu, jadi kalau nyuci harus nunggu yang lain
selesai.
Setelah sholat hape bunyi.
“Halo… mas, minuman sama ayam bakar ku
taruh di pintu, tolong di ambil, tadi ku ketuk-ketuk gak nyahut jadi ku
taruh aja di pintu.” suara Muhsin.
“oh ya… aku tadi lagi mandi, jadi pintu kamar ku kunci.” jawabku.
Biasa Muhsin membawakanku kalau tidak
minuman kaleng, ya ayam bakar atau kepala kambing, atau babat sapi, atau
kepala ikan laut yang jika di masak seminggu gak habis-habis, sehingga
aku tak makan di kantin dan memasak sendiri, dia juga aktif membawakan
indomie sekardus, juga beras sekarung, kadang meja sampai penuh untuk
menaruh makanan.
“Nanti habis sholat isya’ mau kesitu.” kata Muhsin lagi.
“ya..” jawabku.
Ada yang mengetuk pintu, ku buka ternyata Amir Khan, orang Pakistan, tak biasa-biasanya main ke kamarku.
“Silahkan duduk.” kataku dengan bahasa Arab. “Kok tak biasanya main ke kamar?”
“ya maaf mengganggu ustad.” kata Amir
Khan, aku tak tau kenapa kebanyakan pada memanggilku ustad, padahal sama
sekali juga aku tak pernah mengajar atau menunjukkan punya ilmu
apa-apa.
“Begini ustadz, saya mau minta tolong…, sebab saya dengar ustadz sering di mintai tolong teman-teman.” kata Amir khan.
“Soal apa itu?, maaf sebenarnya aku sendiri tak bisa apa-apa, jadi kalau nantinya mengecewakan.” kataku.
“Ini soal anak saya di rumah,”
“Memangnya kenapa anaknya?”
“Saya sendiri tak tau sebab musababnya
ustadz, tiba-tiba sekitar sebulan ini anak perempuan saya yang berumur
10 tahun lumpuh, dan tak bisa berjalan.”
“Itu awalnya bagaimana?”
“Makanya itu ustadz, cerita istri anak saya itu tak panas juga tak sakit, ketika bangun tidur, begitu saja menjadi lumpuh…”
“ooo begitu, apa bisa di rumah di sediakan air?”
“Maksudnya air apa ustad.?”
“Maksudku air mineral, ya air itu di
biarkan semalam, biar ku transfer obat ke dalam air tersebut, besok pagi
airnya di upayakan di minum, dan di pakai mandi, bagaimana, bisa
tidak?”
“Sebentar, saya akan menghubungi istri saya.” kata Amir Khan, sambil mengeluarkan hape dan menghubungi rumahnya.
“oh ya sekalian suruh airnya di campurkan air untuk mengepel rumah.” kataku di antara pembicaraannya dengan istrinya.
“Iya sudah di sediakan air.” jawab Amir Khan.
“Iya nanti di tunggu saja perkembangan selanjutnya.” jelasku.
“Makasih ustad saya mohon diri dulu..” kata Amir khan.
Selang beberapa saat Muhsin masuk kamar membawa bungkusan makanan.
“Apa itu?” tanyaku menanyakan yang di bawa Muhsin.
“Ini nasi jagung plus ayam, titipan dari
orang Maroko, bernama Abduh yang ku mintakan do’a tentang anaknya dulu,
Alhamdulillah anaknya sudah baikan dan sehat.” jelas Muhsin. “ayo di
makan.”
“Wah kalau nasi jagung kurang pas kalau tak di sambelkan, biar aku nyambel sebentar.” kataku segera meramu sambel trasi andalan.
“Kayaknya tadi Amir Khan dari sini?” tanya Muhsin.
“Iya dia meminta di do’akan anaknya sakit di Pakistan sana.” jawabku.
“ooo… wah enak ya kalau mendo’akan orang sakit di mana-mana bisa sembuh.” celetuk Muhsin.
“Ya semua orang juga bisa, la wong berdo’a saja apa susahnya.” kataku.
“Tapi kan ndak semua di ijabah.” jawab Muhsin.
“Semua juga mempunyai hak di ijabah yang
sama, dan Alloh juga memberi hak di ijabah yang sama, cuma manusia
sendiri yang menjadikan do’anya terhalang oleh ijabah, nafsunya sendiri
yang menjadi penghalang terijabahnya do’a, aku sendiri kan juga bukan
orang hebat, sama doyan nasi jagung, sama doyan bakso, dan sama doyan
semua yang halal, jadi tak ada bedanya dengan orang lain, sampean atau
siapapun.”
“Itulah yang malah sulit membedakan, karena samanya, jadi sulit di lihat perbedaannya.” kata Muhsin.
“Kita sebenarnya hanya perlu melakukan
cara ibadah yang benar, yang menjauhi yang di larang dengan benar,
memakan makanan yang terjaga kehalalannya, ya sebenarnya hanya itu.”
kataku sambil memindah sambel yang selesai ku ulek.
Orang Maroko punya tradisi jika hari
jum’at mereka memasak nasi jagung, nasi jagungnya sama dengan masakan
Jawa Timur, aku yang memang suka nasi jagung, walau di Saudi, jadi
hampir setiap jum’at mendapat kiriman nasi jagung dari orang Maroko,
karena mempunyai murid orang Maroko.
——————————————-
Besok aku di kirim ke pabrik baru di
Tahamah, perjalanan dari pabrik yang ku tempati di tempuh kira-kira
delapan jam, sore hari pulang kerja aku cepat-cepat pulang ke kamar,
melewati jalan pintas gerumbul semak perdu, walau di Arab karena
kepedulian pabrik, jadi ada pengolahan air di namakan water treatmen di
mana air kotor di olah menjadi air bersih, dan sebagian di pakai
menyirami tanaman, sehingga sekitar pabrik semua tanaman tumbuh subur,
kebun mangga ada, kebun jambu, kebun pisang, kebun jeruk, yang paling
menyenangkan di sini burung bebas berkeliaran, bahkan di pohon kadang
penuh sarang burung, bergantungan, dan semua tiap pagi bernyanyi ramai
sekali, juga tiap ada tiang lampu jalan, pasti di tempati sarang elang,
atau bangau, bahkan di atap-atap pabrik, penuh sarang merpati, cuma
teman-temanku pernah mengambil banyak merpati, karena kalau di sarangnya
di tangkap tak lari, jadi mengambil merpati sampai dapat setengah
karung, herannya dagingnya rasanya langu, mungkin yang di makan bukan
biji-bijian jagung.
Yang aku heran di sini juga ada ayam
liar, atau kalau di Indonesia ayam alas, tapi bentuknya kayak kalkun,
cuma sebesar ayam kampung, juga bisa terbang, jadi sulit untuk
menangkapnya, banyak juga ayam liar, kadang mereka berkelompok. Walau
tak pernah hujan, tumbuhan tak mati karena setiap pohon mendapat jatah
air dari selang yang di alirkan sepanjang jalan. Jadi suasana amat
rimbun, cuma kalau panas ya tetap panas, walau di bawah pohon sebab
panas terbawa hembusan angin.
“Ustadz, terima kasih…” kata suara seseorang di belakangku, ternyata Amir Khan orang Pakistan yang semalam meminta tolong.
“Bagaimana kabar anaknya?” tanyaku masih tetap jalan, dan Amir Khan berjalan di sampingku.
“Alhamdulillah kata ibunya tadi pas
istirahat siang telpon, katanya anaknya sudah bisa jalan, walau
pelan-pelan, ibunya juga merasa kaget, tiba-tiba anaknya turun dari
ranjang.” kata Amir Khan.
“ya syukur kalau begitu.” jawabku.
“Ustadz, ustadz mau di belikan apa?…, katakan saja, pasti saya turuti.” kata Amir Khan.
“Aku?” tanyaku.
“Iya..” jawab Amir.
“Wah aku tak ingin beli apa-apa, sudah yang penting anaknya sehat..”
“Tapi saya mau berterimakasih pada ustadz..” kata Amir Khan.
“Berterima kasih saja pada Alloh…, aku hanya meminta pada-Nya,” jelasku.
“Bolehkah saya menjadi murid Ustad…?” tanya Amir Khan.
“Ah aku orang bodoh, tak pantas di angkat
menjadi guru, juga pas kebetulan aku berdo’a, dan Alloh pas menurunkan
kemurahannya dan anakmu di beri kesembuhan.” kataku, dan sampai di
kamar.
“Terima kasih ustadz..” kata Amir Khan karena aku akan masuk kamar.
“Sama-sama..” jawabku.
Akhirnya berangkat juga ke Tahamah, satu
mobil jeep di isi sembilan orang, sepanjang perjalanan hanya pemandangan
padang pasir, batu, gunung, dan rumah-rumah di puncak gunung, sekali
waktu berhenti di tempat makan, untuk mengisi perut, dan disini ya
paling enak makannya nasi minyak, dan ayam bakar, tanpa rasa apa-apa,
beda di Indonesia yang ada aneka makanan pilihan, bahkan bumbunya ayam
bakar juga cuma cabe utuh, itu juga kalau minta, biasanya cuma di kasih
kecap sama irisan bawang bombai. Sebenarnya jika ke pasar aku lebih suka
makan roti canai, atau roti yang kayak martabak tanpa isi telur jadi
cuma adonan tepung tapi di goreng, makannya di suwir di colek ke kare
daging, rasanya sih lumayan, mendekati rasa rendang padang, cuma
kebanyakan kunyitnya, ya daripada tak ada, ya itu termasuk makanan
lezat. Biasanya juga di jalan-jalan ada warung teh plus nyedot sisa,
rokok ala Saudi, dan tehnya dari daun menthol yang di rebus, di Saudi
namanya daun Nak-nak, rasanya di minum panas ya hangat-hangat semriwing.
Jam 2 siang, aku sampai di pabrik
Tahamah, ketemu juga banyak orang Indonesia, dan kumpul sebagian
rombonganku yang dahulu berangkat bersama dari Indonesia, cuma kemudian
yang lain di kirim ke pabrik beda daerah.
Malamnya pada main ke kamarku, ngobrol ngalor ngidul, ya menanyakan kabar dan lain sebagainya.
Pabrik Tahamah adalah pabrik baru yang
sebelumnya katakanlah daerah tanpa penduduk, hanya wilayah gunung mati,
jadi entah salah satu gunung di pangkas, di ledakkan, di datarkan,
kemudian di bangun sebuah pabrik, dan segala macam kebutuhan yang di
perlukan pabrik, sehingga jika mau ke kota maka amat jauh, di kanan kiri
depan belakang, dan kemana arah mata memandang yang ada hanya gunung
dan deretan gunung-gunung batu, pabrik ini seperti sebuah koloni di
dunia antah berantah, tak seperti di Indonesia yang gunungnya terdiri
dari pepohonan dan hutan, kalau di Saudi, maka gunungnya hanya terdiri
dari batu dan batu. Bahkan gunung itu seperti batu yang utuh.
Beberapa hari di Tahamah, bingung juga
pertama sebab ternyata soal pekerjaan sama sekali tak ada, barang-barang
yang ku butuhkan sama sekali tak tersedia, di Tahamah hampir-hampir di
kuasai oleh orang India, insinyur dan teknisinya juga orang India,
taulah orang India jika insinyur sekalipun belum tentu insinyur beneran
artinya ijazah dari beli, jadi soal kerja sama sekali tak mengerti.
Bahkan aku sendiri ikut di pekerjakan
melayani tukang batu, memang apes kalau bekerja dengan India, apalagi
orang Saudi yang tak mengerti ijazah palsu atau bukan, jadi ingat orang
India yang kerja di klinik, sakit apapun di beri obat parasetamol,
padahal ijazahnya dokter. Ah tak taulah yang penting tak menyalahi
aturan Alloh, mau orang lain menyalahi aturan bukan urusan diri.
Untung ada tukang-tukang dari Maroko,
sehingga aku tak di minta bekerja berat, karena tau menjadi pelayan
tukang batu bukan bidangku.
Sementara untuk mulai bekerja di
kaligrafi entah harus menunggu kapan, untuk meminta meterial dan
peralatan yang ku butuhkan prosesnya sangat ribet, tak ada yang
mengurus, dan aku harus mengurus sendiri, mengajukan permintaan kepada
bagian yang anehnya semua tak merasa membawahi pekerjaanku, aku jadi
ketawa sendiri, la aku harus minta pada siapa? sungguh pabrik besar yang
semrawut.
Padahal material yang ku butuhkan tak seberapa harganya.
Daripada nganggur, mending aku jadi
tukang sapu, aku tak rela memakan gaji buta, walau ini pabrik, tak rela
rasanya tanpa mengeluarkan keringat lalu menerima gaji, biarlah aku
menyapu gudang tiap hari, sampai sebulan dua bulan, aku hanya menyapu
ruangan yang panjangnya hampir limapuluh meter persegi.
Sampai Muhsin telpon, menanyaka kabarku,
“Bagaimana pekerjaan di sana?” tanya Muhsin.
“Kerja apaan… di sini sampai sekarang cuma jadi tukang sapu..” jawabku.
“Lhoh kirain sudah mulai kerja kaligrafi?” tanya Muhsin.
“ya aku ngajukan minta material yang ku
butuhkan juga belum di kasih, malah sampai sekarang ndak jelas, ini aku
ikut general services apa ikut welfare section, semuanya tak jelas, jadi
aku cuma jadi tukang sapu.”
“Wah memang kalau di pegang orang India semua pekerjaan semrawut, nanti aku menghadap manager.” kata Muhsin.
HP pun di tutup, sebenarnya aku sudah perduli, mau kerja apa juga, asal tak terlalu berat.
Selama di pabrik baru aku, ternyata semua
orang Indonesia juga terkena penyakit telpon-telponan sama TKW, malah
ada yang sampai ketemuan, janjian, padahal di Indonesia punya anak dan
istri, nyatanya semua orang tak tahan banting.
Dulu aku merasa kaget waktu di Jakarta,
melihat teman pesantrenku tak pada sholat, padahal mereka jebolan
pesantren Lerboyo, ada juga yang jebolan pesantren Sarang Rembang, tapi
begitu di Jakarta, sholat sudah di tinggalkan.
Yang baru ku sadari, ternyata setiap
tempat itu mempunyai karakter cobaannya sendiri-sendiri, di Saudi
mungkin saja sholat di lakukan tapi keluarga kemudian di hianati.
Aku tak ambil pusing dengan apa yang
mereka lakukan, karena aku tau betul jika aku mengingatkan mereka maka
itu sama sekali tak akan membuat mereka sadar, malah bisa jadi aku malah
akan di musuhi.
Ada beberapa orang yang tak terseret oleh
godaan saling telpon dengan TKW, dan ada dua kelompok yang tak suka
main telponan dengan TKW, yang satu berkumpul di kamar yang ada TV nya,
yang lain yang sering main ke kamarku, ya kalau di kamarku paling ku
setingkan internet gratis dan sedikit ku ajak ngobrol tentang ilmu.
Dan sebagian meminta amalan, dan
menjalankan puasa. Ada salah satu orang meminta satu kamar denganku
namanya Lukman, katanya ingin biar bisa lebih dapat ku bimbing.
Aku tau Lukman mempunyai banyak masalah,
di keluarganya, dan aku tau kalau dia ingin sekamar denganku hanya ingin
agar bisa ngobrol berdua membicarakan masalahnya. Dan dugaanku tak
meleset, saat semua orang sudah tak ada main di kamarku. Lukman mulai
mengungkap unek-uneknya padaku.
“Mas…! terus terang aku punya masalah
yang ingin ku sampaikan ke mas ian…” kata Lukman yang kurus dan tubuhnya
ceking, tapi tinggi semampai.
“Masalah apa?, ya kalau aku bisa
membantu, insaAlloh akan ku bantu mencarikan solusinya, tapi jika aku
tak bisa membantu, ya aku minta maaf.” kataku, yang tidur di ranjang
satunya.
“Ini yang bisa membantu hanya mas ian…, “
“Wah kok bisa gitu?, kan yang lain banyak teman-teman kita, kenapa musti aku?” tanyaku heran.
“Kan mas ian yang punya ilmu trawangan, melihat dari jarak jauh.” kata Lukman.
“Wah kata siapa?, itu mengada-ada…”
“La buktinya kan banyak, misal soal mas
Sarno, trus kemaren kan ada tukang kayu yang pasahnya hilang, kan juga
yang nunjukkan di taruh di atas lemarinya orang Arab kan juga mas ian,
akhirnya pasahnya di temukan.”
“Ah itu sih kebetulan, pas tukang kayu
orang Indo pasahnya hilang, dan dia habis ngerjain rumahnya orang Arab,
ya ku bilang saja pasahnya di atas lemarinya orang Arab, dan pas
kebetulan di cari di atas lemari pas ketemu, jadi bukan berarti aku bisa
trawang atau melihat dari jarak jauh.”
“Ah mas aja yang merendah.”
“Bukan, memang aku tak punya ilmu seperti itu, jika pas kebetulan itu juga kan bukan berarti aku punya ilmu seperti itu.”
“Jadi mas ian tak mau membantu masalahku?”
“Bukan tak mau, aku mau saja membantu
jika aku mampu, kenapa tak mau membantu orang lain, tapi itu jika mampu,
kalau tidak mampu lalu membantu bukankah akan malah menambah susah
saja.”
“Baik begini mas, aku punya istri, punya anak satu yang masih kecil.”
“Lalu?”
“Kalau bisa di lihatkan bagaimana istri saya?, Soalnya hati saya tak enak sekali.” kata Lukman.
“Lebih baik bekerja dengan baik, dan tak terlalu menyangka yang tidak-tidak, hanya akan membuat hati tak tenang.” nasehatku.
“Ya tolong di lihatkan mas..” Lukman merajuk.
Lukman lalu mengeluarkan foto istri dan anaknya.
“Ini mas, foto istriku…” Lukman menyodorkan foto ke arahku.
“Kamu itu hanya rindu pada keluarga, dan
semua orang yang bekerja di Saudi itu pasti mengalami cobaan itu,
namanya juga jauh dari keluarga, jadi jangan kemudian menjadikan diri
terseret pada prasangka dan bayangan yang membuat diri tak tenang.”
“Tidak mas, ini masalahnya lain…”
“Sudahlah tenangkan saja diri, banyak-banyak dzikir, minta pada Alloh agar hati tenang.” kataku.
Malam itu tetap saja tak ku jawab kemauan
Lukman, diriku memang serba susah, apalagi menyangkut rumah tangga
orang, aku sama sekali tak ingin ikut campur dalam rumah tangga orang.
Besoknya pulang kerja seperti biasa
banyak orang yang berkumpul di kamarku, ada yang tua ada juga yang muda,
dan setiap waktu ada saja orang yang biasanya tak pernah ikut main ke
kamarku, lalu tiba-tiba saja main, pasti ada maksudnya.
Ini ada tiga orang yang biasanya tak main
ke kamarku, dan kali ini main, ada Iwan, pak Purwanto, dan Sodikun, pak
Purwanto orangnya sudah umur 50 an tahun, juga Sodikun sekitar umur 50
an tahun. Iwan masih muda.
“Mas… saya mau ada perlu..” Sodikun mendahului bicara.
“Ada apa pak ?” tanyaku.
“Ini soal anak perempuan saya.” jawab Sodikun.
“Kenapa anak perempuannya?”
“Anak perempuan saya kemaren di bawa ke rumah sakit, dan di vonis mengidap kanker rahim.”
“hm… trus..?” kataku sambil membuang abu rokok mallboro merah di asbak.
“Maksud saya pengen minta bantuan mas, minta di do’akan supaya penyakitnya sembuh tanpa harus operasi.” jelas Sodikun.
“ya ndak papa, saya do’akan, wong
mendo’akan juga ndak bayar kok, tinggal minta saja sama Alloh, yang di
rumah di suruh saja sedia air, nanti obatnya saya transfer ke air itu…,
sana di telpon dulu yang di rumah.” kataku.
“Iya mas , makasih sebelumnya.” kata Sodikun kemudian menelpon rumahnya.
“Ini ada apa wan kok gak biasanya main ke kamarku?”
“Anu mas, saya juga mau minta tolong…” kata Iwan.
“Wah lama-lama aku di anggep dukun ini di Saudi.. ” candaku.
“Ya beda to mas, kalau dukun kan pakai
menyan, kembang, sesajen, la panjenengan kan minta langsung sama
Alloh..” sela pak Purwanto.
“Ada apa dengan nenekmu wan?” tanyaku.
“Nenekku itu sudah lima tahun lumpuh tak bisa jalan, mas…”
“Lalu?”
“Ya saya minta mas mendo’akan nenek saya
itu di beri kesembuhan oleh Alloh, soalnya selama ini sudah di obatkan
kemana-mana juga hasilnya nihil, sudah banyak biaya yang kami
keluarkan.”
“Ya suruh saja di rumah sedia air mineral, biar obatnya ku transfer ke air itu… sudah sana yang di rumah di hubungi.” kataku.
“Iya makasih mas sebelumnya.” kata Iwan lalu berlalu menelpon rumahnya.
“Ini pak Pur ada apa?” tanyaku pada pak Purwanto.
“Sama mas, mau minta do’anya untuk anakku yang di rumah, anak lelakiku sebesar mas tapi pikirannya kayak terganggu.”
“Terganggunya bagaimana pak?” tanyaku.
“Dulu pernah mengalami kecelakaan motor dan sejak sa’at itu jadi sering diam, kayak orang bengong gitu…”
“hm… ya sama kalau begitu di rumah di suruh saja sedia air mineral, biar obatnya nanti ku transfer ke air itu.”
“Ya mas makasih, biar saya telpon ke rumah.” kata Purwanto.
Sodikun sudah menghadap lagi,
“Sudah saya suruh sedia air mas.” kata Sodikun.
“Bapak tulis nama dan nama bapak di
kertas, besok pagi airnya suruh minum ke anak bapak, moga saja sembuh.”
kataku. Dan Sodikun pun menulis nama anaknya dan nama dia.
“Nanti airnya di minum waktu pagi ya mas?” tanya Sodikun.
“Iya minumnya waktu pagi, sebelum makan
atau minum apapun, insa Alloh kalau Alloh mengijinkan sembuh, nanti
tumornya akan hancur, terbuang lewat jalan pembuangannya.” kataku. “Jadi
kalau keluar daging dan darah banyak tak usah terkejut dan kaget.”
“Iya mas… makasih..” kata Sodikun, dan minta diri dari kamarku.
“Ini mas, airnya sudah di sediakan,” kata Iwan.
“Suruh saja besok pagi di minum nenekmu,
dan di usapkan di kakinya, tapi wan, belum tentu kesembuhan itu membawa
kebaikan., ” jelasku.
“ya mas, asal nenekku sembuh, kasihan dia sudah sakit sejak lama…” kata Iwan.
“Moga-moga saja sembuh.” kataku.
“Makasih mas, ” kata Iwan.
“Iya sama-sama”
“Airnya sudah di sediakan mas.” kata pak Purwanto.
“Iya besok, airnya di minumkan ke anaknya, dan di pakaikan mandi.” kataku.
“Besok pagi ya mas..? “
“Iya besok pagi, moga saja di beri kesembuhan oleh Alloh.”
“Makasih banyak mas… semoga Alloh membalas kebaikan mas ian.”
“amiin.” pak Pur pun berlalu, dan masih beberapa orang yang ngobrol ngalor ngidul tak karuan.
Aku tertidur, dan tak tau orang-orang
sudah pergi, ketika bangun, segera menjalankan sholat isya’, dan
mendo’akan yang minta di do’akan.
Lukman masuk, baru pulang kerja lembur,
wajahnya nampak kusut. Aku melanjutkan dzikirku. Setelah selesai dzikir,
aku membuat indomie, karena perut keroncongan. Ku buatkan sekalian
Lukman yang masih mandi.
“Ayo makan indomie.” kataku ketika Lukman selesai mandi.
“Makasih mas, gak nafsu makan.” katanya tak semangat.
“Lhoh jangan gitu, ini sudah terlanjur ku
buat dua, sudah ada masalah bisa di pikirkan dengan perut kenyang,
kalau perut lapar, masalah kecil juga tak akan selesai, jangan karena
satu masalah lalu diri terseret dalam arusnya, tenangkan diri, hanya
hati yang tenang yang mampu menyelesaikan masalah, ayo makan..” akhirnya
Lukman mau, dan kami makan.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda