Soal tower makin ramai, sebenarnya
permasalahannya orang ingin agar tower berdiri di rumah mereka, atau di
tanah mereka, sehingga bisa mendapatkan uang dari pembangunan tower,
jeleknya jika pembangunan tower itu tidak di bangun di tanah mereka atau
di bangun di lahan orang lain dan mereka tidak kebagian uang, maka
mereka lebih memilih tower itu tidak di bangun, jadi kalau mereka tidak
mendapat uang, lebih baik siapa pun tak dapat uang juga, sungguh ironis,
memang begitulah kalau hati di liputi iri dengki, jika diri kaya maa
sah saja, tapi jika orang lain kaya maka tidak boleh, sebenarnya sifat
iri dengki itu hanya merusakkan hati sendiri, jika aku mengungkap
buruknya iri dengki menurut pendapatku, maka mungkin orang akan
mengatakan bahwa aku ini melakukan pembelaan atas diriku sendiri, maka
aku akan kutip beberapa tulisan, sebagai sandaran apa yang ku tulis
nantinya tak di tuduh membela keberadaanku.
Apa yang disebut sifat dengki?
“Menginginkan hilangnya kenikamatan dari orang lain/pemiliknya, baik kenikmatan (yang berhubungan dengan) agama maupun dunia.”
Dari pengertian di atas kita dapat
memahami bahwa iri dengki tidak hanya menyangkut capaian-capaian yang
bersifat duniawi, seperti rumah dan kendaraan, melainkan juga menyangkut
capaian-capaian di lingkup keagamaan, misalnya dakwah. Ini juga berarti
bahwa penyakit dengki bukan hanya menjangkiti kalangan awam. Iri dengki
itu ternyata dapat menjalar dan menjangkiti kalangan yang dikategorikan
berilmu, pejuang, dan da’i. Seorang da’i atau mubalig, misalnya, tidak
suka melihat banyaknya pengikut da’i atau mubalig lain. Seorang yang
mengikuti kepada kelompok atau jama’ah tertentu sangat benci kepada
kelompok atau jama’ah lain yang mendapatkan kemenangan-kemenangan. Dan
masih banyak lagi bentuk lainnya dari sikap iri dengki di kalangan para
“pejuang”.
Tapi bagaimana ini bisa terjadi?
Imam al-Ghazali r.a. menjelaskan,
“Tidak akan terjadi saling dengki di kalangan para ulama. Sebab yang
mereka tuju adalah ma’rifatullah (mengenal Allah). Tujuan seperti itu
bagaikan samudera luas yang tidak bertepi. Dan yang mereka cari adalah
kedudukan di sisi Allah. Itu juga merupakan tujuan yang tidak terbatas.
Karena kenikmatan paling tinggi yang ada pada sisi Allah adalah
perjumpaan dengan-Nya. Dan dalam hal itu tidak akan ada saling dorong
dan berdesak-desakan. Orang-orang yang melihat Allah tidak akan merasa
sempit dengan adanya orang lain yang juga melihat-Nya. Bahkan, semakin
banyak yang melihat semakin nikmatlah mereka.”
Al-Ghazali melanjutkan, “Akan tetapi,
bila para ulama, dengan ilmunya itu menginginkan harta dan wibawa mereka
pasti saling dengki. Sebab harta merupakan materi. Jika ia ada pada
tangan seseorang pasti hilang dari tangan orang lain. Dan wibawa adalah
penguasaan hati. Jika hati seseorang mengagungkan seorang ulama pasti
orang itu tidak mengagungkan ulama lainnya. Hal itu dapat menjadi sebab
saling dengki.” (Ihya-u ‘Ulumid-Din, Imam Al-Ghazali, juz III hal. 191.)
Jadi, dalam konteks perjuangan, dengki
dapat merayapi hati orang yang merasa kalah wibawa, kalah
popularitas/ketenaran, kalah pengaruh, kalah pengikut. Yang didengki
tentulah pihak yang dianggapnya lebih dalam hal wibawa, polularitas,
pengaruh, dan jumlah pengikut itu. Tidak mungkin seseorang merasa iri
kepada orang yang dianggapnya lebih “kecil” atau lebih lemah. Sebuah
pepatah Arab mengatakan, “Kullu dzi ni’matin mahsuudun.” (Setiap yang
mendapat kenikmatan pasti didengki).
Penyakit dengki sangat berbahaya. Tapi
bahayanya lebih besar mengancam si pendengki ketimbang orang yang
didengki. Bahkan realitas membuktikan, sering kali pihak yang didengki
justru diuntungkan dan mendapatkan banyak kebaikan. Sebaliknya, si
pendengki menjadi pecundang.
Di antara kekalahan-kekalahan pendengki adalah sebagai berikut.
Pertama, kegagalan dalam perjuangan.
Perilaku pendengki sering tidak
terkendali. Dia bisa terjebak dalam tindakan merusak nama baik,
mendeskreditkan, dan menghinakan orang yang didengkinya. Dengan cara itu
ia membayangkan akan merusak citra, kredibelitas, dan daya tarik orang
yang didengkinya dan sebaliknya mengangkat citra, nama baik, dan
kredibelitas pihaknya. Namun kehendak Allah tidaklah demikian.
Rasulullah saw. bersabda:
Dari Jabir dan Abu Ayyub al-Anshari,
mereka mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun
yang menghinakan seorang Muslim di satu tempat yang padanya ia dinodai
harga dirinya dan dirusak kehormatannya melainkan Allah akan menghinakan
orang (yang menghina) itu di tempat yang ia inginkan pertolongan-Nya.
Dan tidak seorang pun yang membela seorang Muslim di tempat yang padanya
ia dinodai harga dirinya dan dirusak kehormatannya melainkan Allah akan
membela orang (yang membela) itu di tempat yang ia menginginkan
pembelaan-Nya.” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan Ath-Thabrani)
Kedua, melumat habis kebaikan.
Rasulullah saw. bersabda, “Hindarilah
dengki karena dengki itu memakan (menghancurkan) kebaikan sebagaimana
api memakan (menghancurkan) kayu bakar.” (H.R. Abu Dawud).
Makna memakan kebaikan dijelaskan dalam
kitab ‘Aunul Ma’bud, “Memusnahkan dan menghilangkan (nilai) ketaatan
pendengki sebagaimana api membakar kayu bakar. Sebab kedengkian akan
mengantarkan pengidapnya menggunjing orang yang didengki dan perbuatan
buruk lainnya. Maka berpindahlah kebaikan si pendengki itu pada
kehormatan orang yang didengki. Maka bertambahlah pada orang yang
didengki kenikmatan demi kenikmatan sedangkan si pendengki bertambah
kerugian demi kerugian. Sebagaimana yang Allah firmankan, ‘Ia merugi
dunia dan akhirat’.” (‘Aunul-Ma’bud juz 13:168)
Ketiga, tidak produktif dengan kebajikan.
Rasulullah saw. bersabda, “Menjalar
kepada kalian penyakit umat-umat(terdahulu): kedengkian dan kebencian.
Itulah penyakit yang akan mencukur gundul. Aku tidak mengatakan bahwa
penyakit itu mencukur rambut melainkan mencukur agama.” (H.R.
At-Tirmidzi)
Islam yang rahmatan lil-’alamin yang
dibawa oleh orang yang di dadanya memendam kedengkian tidak akan dapat
dirasakan nikmatnya oleh orang lain. Bahkan pendengki itu tidak mampu
untuk sekadar memberi senyum atau, mengucapkan kata ‘selamat’, atau
melambaikan tangan bagi saudaranya yang mendapat sukses, baik dalam
urusan dunia maupun terkait dengan sukses dalam perjuangan. Apa lagi
untuk membantu dan mendukung saudaranya yang mendapat sukses itu. Dengan
demikian Islam yang dibawanya tidak membawa kebaikan alias gundul.
Keempat, menghancurkan harga diri.
Ketika seseorang melampiaskan kebencian
dan kedengkian dengan melakukan propaganda busuk, hasutan, kepada pihak
lain, jangan berangan bahwa semua orang akan terpengaruh olehnya. Yang
terpengaruh hanyalah orang-orang yang tidak membuka mata terhadap
realitas/kenyataan, tidak dapat berpikir objektif, atau memang sudah
“satu watak” dengan si pendengki. Akan tetapi banyak pula yang mencoba
melakukan tabayyun, mencari informasi pembanding, dan berusaha berpikir
objektif. Nah, semakin hebat gempuran kedengkian dan kebencian itu, bagi
orang yang berpikir objektif justru akan semakin tahu kebusukan hati si
pendengki. Orang yang memiliki hati nurani ternyata tidak senang dengan
fitnah, isu murahan,. Di mata mereka orang-orang yang bermental kerdil
itu tidaklah simpatik dan tidak mengundang keberpihakan.
Orang yang banyak melakukan provokasi
dan hanya bisa menjelek-jelekkan pihak lain juga akan terlihat di mata
orang banyak sebagai orang yang tidak punya program dalam hidupnya. Dia
tampil sebagai orang yang tidak dapat menampilkan sesuatu yang positif
untuk “dijual”. Maka jalan pintasnya adalah mengorek-ngorek apa yang ia
anggap sebagai kesalahan. Bahkan sesuatu yang baik di mata pendengki
bisa disulap menjadi keburukan. Nah, mana ada orang yang sehat akalnya
suka cara-cara seperti itu?
Kelima, menyerupai orang munafik.
Di antara perilaku orang munafik adalah
selalu mencerca dan mencaci apa yang dilakukan oran lain terutama yang
didengkinya. Jangankan yang tampak buruk, yang nyata-nyata baik pun akan
dikecam dan dianggap buruk. Allah swt. menggambarkan prilaku itu
sebagai prilaku orang munafik. Abi Mas’ud al-Anshari r.a. mengatakan,
saat turun ayat tentang infaq para sahabat mulai memberikan infaq.
Ketika ada orang Muslim yang memberi infaq dalam jumlah besar,
orang-orang munafik mengatakan bahwa dia riya. Dan ketika ada orang
Muslim yang berinfak dalam jumlah kecil, mereka mengatakan bahwa Allah
tidak butuh dengan infak yang kecil itu. Maka turunlah ayat 79
At-Taubah. (Al-Bukhari dan Muslim)
Keenam, gelap mata dan tidak termotivasi untuk memperbaiki diri.
Pendengki biasanya sulit melihat
kelemahan dan kekurangan diri sendiri dan tidak dapat melihat kelebihan
pada pihak lain. Akibatnya pula jalan kebenaran yang terang benderang
menjadi kelam tertutup mendung kedengkian. Apa pun yang dikatakan, apa
pun yang dilakukan dan apa pun yang datang dari orang yang dibenci dan
didengkinya adalah salah dan tidak baik. Akhirnya dia tidak dapat
melaksanakan perintah Allah swt. sebagaimana yang disebutkan dalam ayat,
“Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling
baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.S.
Az-Zumar 39: 18)
Di sisi lain, pendengki —manakala
mengalami kekalahan dan kegagalan dalam perjuangan— cenderung mencari
kambing hitam. Ia menuduh pihak luar sebagai biang kegagalan dan
bukannya melakukan muhasabah (introspeksi). Semakin larut dalam
mencari-cari kesalahan pihak lain akan semakin habis waktunya dan
semakin terkuras potensinya hingga tak mampu memperbaiki diri. Dan tentu
saja sikap ini hanya akan menambah keterpurukan dan sama sekali tidak
dapat memberikan manfaat sedikit pun untuk mewujudkan kemenangan yang
didambakannya.
Ketujuh, membebani diri sendiri.
Iri dengki adalah beban berat.
Bayangkan, setiap melihat orang yang didengkinya dengan segala
kesuksesannya, mukanya akan menjadi tertekuk, lidahnya mengeluarkan
sumpah serapah, bibirnya berat untuk tersenyum, dan yang lebih bahaya
hatinya semakin penuh dengan marah, benci, curiga, kesal, kecewa, resah,
dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Nikmatkah kehidupan yang penuh
dengan perasaan itu? Seperti layaknya penyakit, ketika dipelihara akan
mendatangkan penyakit lainnya. Demikian pula penyakit hati yang bernama
iri dengki. “Di dalam hati mereka ada penyakit maka Allah tambahkan
kepada mereka penyakit (lainnya).” (Q.S. Al Baqarah 2: 10)
Kiranya cukup ku lanjutkan cerita,
sebab ada sebagian pembaca yang mengatakan aku ini hanya membela diriku
sendiri, dan menyudutkan kyai lain, padahal sampai-sampai kyai Askan
menuduhku nantinya jama’ahku akan ku suruh memegang kemaluanku, sungguh
kata-kata seorang yang jika aku tak sabar, niscaya aku marah, tapi aku
tau jika Alloh di belakangku, membelaku, maka kata seperih apapun ku
diamkan saja, jika aku layani maka aku sama saja gilanya, seperti orang
waras yang di tuduh gila sama orang gila, lalu balik menuduh gila kepada
orang gila itu, sehingga saling tuduh tak berhenti, dan saling
otot-ototan dan sulit di bedakan sebenarnya siapa yang gila.
Askan menyebar undangan, agar semua
orang di ajak unjuk rasa, dia sangat sunguh-sungguh berusaha agar tower
itu tak sampai berdiri, karena dalam anggapannya aku ini mendapat uang
dari tower itu, padahal sama sekali tidak, dan apa yang di anggap itu
dinyalakan sendiri, wamro’atuhu khamalatal khatob, dan perempuannya
membawa kayu bakar membakar kesana-kesini, dan berusaha membakar hati
siapa saja yang di temui, bahkan dalam pemikirannya, aku membangun
majlis adalah uang dari tower itu, la apa urusanku dengan tower, maka
Askan mengumpulkan orang di masjid, di beri undangan untuk di ajak
bersama-sama unjuk rasa, padahal tower tinggal berdiri, dan semua besi
sudah ada di tempatnya, pengcoran tanah pembuatan pondasi sudah selesai
tinggal nunggu keringnya, tapi ketika orang-orang pada berkumpul
memenuhi undangan Askan, dan polisi, camat juga datang, malah Askan
bersembunyi tak datang, malah dia sama sekali tak kelihatan batang
hidungnya, aku cuma ketawa, jadi ingat seorang calo bis di Pulo Gadung,
kalau bis belum berangkat, dia paling ribut, tapi pas bus berangkat, si
calo malah tak ikut menumpang.
Aku sendiri sudah mengira akan hal itu,
karena aku tau betul siapa itu Askan, walau Askan sendiri tiap hari
menjelek-jelekkanku selama ini juga tak berani bicara apa-apa jika di
depanku, itu kan namanya jago katai, beraninya lempar batu sembunyi
tangan, karena sudah membuat resah dan dia sendiri tak muncul, lalu
polisi datang kerumahnya, dan memberikan peringatan, kalau dia tetap
memprofokasi warga, maka akan di tangkap, dan jika tower tak jadi maka
uang yang telah di bagikan ke warga sekitar tower sebagai konpensasi,
dan biaya pembangunan akan di mintakan ganti rugi Askan, di depan
polisi, dia jawab iya, iya… tapi selanjutnya apa dia diam, sama sekali,
tidak, Askan kembali melakukan gerilya, dari rumah kerumah, agar
orang-orang berunjuk rasa, dan agar tower tak jadi di bangun, padahal
kalau dia tau, dan mau bertanya dengan sebenarnya, kalau Aku sama sekali
tak mendapat uang apa-apa. mungkin dia akan berhenti untuk menyuruh dan
meminta orang untuk unjuk rasa, tapi Askan itu selalu mengukur sesuatu
dengan pandangan dan pendapatnya sendiri, dan tak pernah mau menerima
pendapat orang lain, aku ingat ketika menegur dia, karena memerintah
orang-orang agar pasang susuk, jawabannya juga: la emas-emasku sendiri,
yang di susuk juga aku sendiri, apa urusanmu melarang, sehingga ketika
waktu harga minyak mau naik, dia menimbun berbaler-baler minyak tanah,
aku diamkan saja, ya biarlah dosa di tanggung sendiri.
Malah ketika Askan tau, kalau aku akan
membangun majlis, dan orang yang membicarakan, di bilang, mengeluarkan
kotoran dari mulut, dalam bahasa jawa : ojo kebangeten nek ngetokne tai
ko cangkem.., orang miskin mau bangun majlis dari mana?, begitu selalu
kata-kata yang di ulang-ulangnya, itulah kenyataan dunia, betapa
pentingnya merawat hati, dari penyakit hati, dan penyakit hati itu
timbul dari makanan yang kita konsumsi, makanan itu masuk ke mulut dan
di proses di perut di ambil saripatinya, dan sebagian menjadi zat-zat
yang di perlukan tubuh, dan juga menjadi asupan bagi hati, maka hati
yang di beri makan enak sekalipun tapi dari makanan haram, di jamin hati
akan nifak, dan di penuhi kepalsuan dan penyakit, yang sebenarnya
penyakitnya itu bukan hanya menyusahkan diri sendiri tapi juga akan
menyusahkan orang lain.
Semoga Alloh memberi kekuatan bagiku,
diriku yang masih muda, dan belum tahan banting, lemah tak berdaya,
tiada sandaran siapapun, hanya Alloh tempatku bersandar, dan Alloh
insaAlloh akan selalu menjadi penolong bagiku, selama aku selalu dalam
ruang lingkup kebenaran, aku ini seperti panglima tanpa tentara,
sendiri, dan robbi la tadarni fardan, wa-anta khirul warisiin, wahai
Alloh Tuhanku, jangan biarkan aku ini sendiri, dan Engkaulah
sebaik-baiknya pewaris. Itu yang selalu ku yakini, Alloh maha mengetahui
dan maha melihat hati, segalanya tak lepas dari kuasa dan
pengaturanNya, jika aku tak lulus dengan cobaan ini , maka aku juga akan
di beri cobaan yang sama bentuknya, aku selalu meminta pada Alloh, agar
aku di beri kekuatan untuk sabar, dan mengalah, di beri kekuatan untuk
menerima, dan teguh pendirian.
Sampai di sini cerita ini ku tulis,
saat cerita ini ku tulis, dan saat tanganku memencet huruf, jam
menunjukkan jam 12 malam kurang 5 menit (5-6-2012), sore tadi unjuk rasa
di balai desa atas prakarsa Askan ramai sekali, aku hanya melihat dari
kaca jendelaku, karena aku sendiri tak ada urusan, karena juga aku
sedang menjalani tak ketemu manusia, dan tak bicara, bahkan sama
keluargaku, atau istri dan anakku, memang itulah keseharianku, kadang
depan rumah sekalipun seharian tak kulihat sama sekali, aku hanya
mengungkung sendiri di dalam kamarku, seperti orang lumpuh yang tak
kemana-mana…. (karena tak menerima tamu, maka tak ada cerita yang ku
tulis, jadi nanti insaAlloh, kyaiku memanggilku ke Banten, insaAlloh aku
di minta menyaring cerita orang yang punya pengalaman sepertiku, nanti
akan ku kumpulkan, dan ku tulis di cerita ini, sehingga bisa di jadikan
sekedar bacaan, atau pelajaran, bagi yang mau menilai hidup dari sisi
kenyataan, karena bagaimanapun hidup ini kenyataan….). sekali lagi ku
katakan ini tak seluruhnya cerita nyata, dan jika di katakan hayalanku
juga boleh… jadi boleh siapa saja menilai dengan penilaiannya
masing-masing karena ini sekedar cerita.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda