Suasana sangat sepi, hanya satu dua orang
lalu lalang, aku tak sadar telah tertidur pulas, aku terbangun dan
kaget, ketika tangan hangat membelai pipiku, aku segera bangun dan
melihat perempuan setengah baya, duduk di dekat kepalaku.
“ada apa mbak?” tanyaku masih mencoba memperjelas mata yang perit,
“tak butuh kehangatan mas?” kata perempuan itu yang berbau autan.
“wah kalau butuh, aku lebih butuh autan
mbak?, autannya masih ada?” tanyaku tanpa buruk sangka. Dia mengeluarkan
autan dari balik bajunya, dan menyodorkan padaku.
“minta sedikit ya…” kataku, dia manggut, wajahnya tak cantik walau tak jelek, ku taksir umurnya empat puluh tahunan.
“mas tak butuh kehangatan?” tanyanya lagi sambil memegang pahaku, sementara aku masih mengoles autan.
“kehangatan apa? Apa aku mau di kasih kopi?, wah aku mending tidur daripada minum kopi, nanti tak bisa tidur,” kataku nyantai,
“maksudku tidur denganku…” katanya tanpa malu,
Aku baru berpikir kalau dia pelacur.
“ah enggak mbak…” kataku mencoba tenang. Walau ucapanku tetap saja rasanya terhenti di tenggorokan.
“ayolah mas, tak usah bayar…!” katanya merajuk sambil mencoba meraih pahaku.
“embak ini punya anak?” tanyaku mengalihkan pembicaraan dari pikirannya yang kotor,
“punya.” jawabnya,
“punya suami?”
“punya.” jawabnya lagi.
“lalu kenapa bekerja seperti ini?” tanyaku.
“yah suami tak bekerja, aku dan anakku butuh makan,”
“lalu kalau aku tak bayar, mbak tak dapat uang?”
“gak papalah, kalau untuk mas yang ganteng, aku relakan, tak usah bayar, aku kan juga butuh kesenangan.” katanya enteng.
“apa embak ini tau akibatnya kalau embak ini bekerja kayak gini?” tanyaku.
“yah paling kalau ada razia, kita ketangkap, itu juga kalau polisinya kita kasih, kita di lepas lagi.” katanya enteng.
“wah bukan hanya itu mbak, mbak bisa
terkena penyakit kelamin, nanti kalau embak tua juga tak ada yang mau,
nanti mau kerja apa? Kalau tak di mulai dari sekarang merintis pekerjaan
yang halal, dan mbak kalau meninggal akan di siksa di dalam kubur
sampai hari kiamat, kiamat itu masih lama, dan semua orang sudah pasti
mati, andai mbak menjual diri di zaman nabi Adam, sampai sekarang masih
di siksa, bayangkan ribuan juta tahun, apa siksanya, kemaluan di tusuk
besi yang membara tembus sampai ke mulut, mbak tentu bertanya, apa bener
siksa itu ada?, ya nyatanya semua orang akhirnya meninggal juga, itu
berarti siksa di sana ada,” kataku panjang lebar, untuk menggugah,
hatinya yang membatu.
“lebih baik mulai sekarang, menyadari
diri, memutar arah ke jalan yang benar, sebelum terlambat, kalau orang
mau ke jalan yang benar, pintu rizqi akan di bukakan oleh Alloh. Alloh
memberi makan pada semua orang aja mampu, kalau di tambah embak dan
keluarga, tentu tak berat bagi Alloh, asal embak bener-bener berniat
menjadi orang baik-baik.”
“apakah Alloh mau menerima taubatku,” katanya berlinangan air mata.
“aku ini teramat kotor.”
“mbak pintu taubat Alloh, itu lebih luas
dari langit bumi seisinya, semua orang di dunia yang seperti embak mau
bertobat semua, pintu taubat masih lebih luas lagi,” kataku, dan
perempuan itu nangis mengguguk, lalu berdiri dan lari keluar dari peron.
Aku cuma menatap kepergiannya dan berdoa,
agar Alloh membuka dan melapangkan hatinya, menuju ke taubatan nasukha.
Malam itu aku tidur di kursi, dengan mensyukuri kesendirianku,
kesepian, kemiskinan, dan melepas segala beban kepunyaan, kemilikan,
betapa damai dunia, jika kita tak terbebani apa-apa, tak perlu
memikirkan dan mengkawatirkan. Lepas seperti bayi yang tak tau apa-apa.
Pagi setelah sholat subuh aku melanjutkan
perjalanan, ke arah Ngawi, melangkah satu-satu, tenggelam dalam
wiridku. Tenggelam teramat dalam, sampai waktu maghrib aku tak tau telah
nyampai di mana? Ku hampiri masjid, untuk mengikuti sholat berjamaah,
lalu wirid menunggu shola isyak, aku telah lupa, seharian perutku tak
terisi apa-apa. Setelah sholat isyak, aku masih tenggelam dalam dzikir,
tiba-tiba seseorang menghampiriku, seorang lelaki yang tadi jadi imam di
masjid.
“Assalamualikum..” salamnya sembari mengulurkan tangan.
“waalaikum salam warokhmatulloh.” jawabku menerima uluran tangannya untuk berjabat tangan.
“anak ini dari mana?” tanyanya setelah duduk di dekatku.
“saya dari daerah Senori Tuban pak..”
jawabku, sambil memperhatikan perawakan orang ini, tinggi sedang,
tubuhnya kelihatan kuat, wajahnya biasa, tapi jenggotnya memanjang
sampai ke dada, dan rambutnya panjang di ikat tapi di masukkan ke dalam
baju.
“jauh dengan daerang Sendang?” tanyanya lagi.
“wah itu malah desaku.” jawabku yakin.
“wah kok kebetulan begitu, aku punya kenalan di daerah itu, namanya pak Mustofa, apa kamu tau dik?”
“pak mustofa yang mana ya?”
“rumahnya belakang pesantren Daruttaukhid.” kata orang itu.
“wah itu ayahku…” kataku juga terkejud dan heran, kenapa jadi kebetulan seperti ini.
“lhoh kamu ian? Febrian? Anak pak Mustofa, cucu kh. Khusain.?”
“benar pak…” seketika orang itu memelukku, dan mengucek-ucek rambutku.
“walah sudah besar kamu nak, dulu aku terakhir melihatmu masih umur 4 tahun, masih suka nangis.”
“bapak siapa?” tanyaku karena sejak tadi tak tau namanya.
“namaku Fadhol, aku teman sekolah
Ayahmu.., sudah-sudah, ayo ke rumah, bicara dan ceritanya nanti saja.”
kata pak Fadhol, mengajakku kerumahnya, yang tak jauh dari masjid, hanya
melewati jalan raya dan masuk gang 25 meteran.
“nah ini rumahku nak ian” kata Pak
Fadhol, rumah yang sederhana, dari kayu tanpa di cat, di depan rumah
juga ada dudukan dari kayu sebesar lengan orang dewasa, terjejer, hingga
membentuk dudukan yang rapi, dan halus bukan karena di plitur tapi
karena sering di duduki, di dalam rumah tak ada perabot yang mewah, cuma
meja besar dari kayu tebal, yang kuno sekali juga kursi kayu kasar. Pak
fadhol segera mempersilahkan aku untuk duduk, sementara dia masuk
kedalam memanggil istrinya, bernama ibu Zulaikhah. Tak lama kedua orang
itu keluar.
“oh ini anaknya pak mus? Wah bener-bener sudah besar” kata bu zulaikhah.
“udah bu sana siapkan makan…” kata pak fadhol, dan sambil nunggu makan di siapkan aku pun ngobrol dengan pak Fadhol,
“kok kamu sampai di sini, sebenarnya mau ke mana nak ian?” tanya pak Fadhol.
“yah beginilah pak, saya cuma mengikuti langkah kaki, kemana mau membawa.” jawabku.
“ee alah wong turunan orang yang suka
tirakat, ya jadi suka tirakat…., jadi tak punya tujuan pasti to? We
kalau begitu mau kan nginep di sini barang 3, 4 hari.?”
“wah jadi merepotkan bapak..”
“endak, nggak merepotkan kok, mau ya,?”
“baik lah pak.”
“nah gitu dong.”
Bu Zulaikhah pun memanggil kami untuk
makan. Nasi, sayur kangkung, tempe goreng kering tanpa tepung, sambel
jeruk, pindang, wah nikmat sekali untuk perut yang lapar. Semalaman aku
dan pak Fadhol ngobrol,
“ngger, sebenernya apa yang kamu cari dalam lelakumu ini?” tanya pak Fadhol, sambil mengebulkan asap rokok sukun kretek.
“ah saya juga tak tau pak…, sebenarnya
saya ingin lepas dari belenggu keinginan, tapi kok ya malah tercebur
pada keinginan yang lain.” jawabku, sembari mengambil rokok sukun
kretek, karena melihat betapa nikmatnya pak Fadhol ngerokok jadi aku
juga kepingin.
“maksudmu apa to ngger?”
“maksudku, aku ingin menghilangkan rasa
ingin di mulyakan, punya kedudukan, punya kekayaan, punya derajat di
hormati masyarakat, punya istri yg cantik, dan sholeh, juga ingin lepas
dari tindihan nafsu kenikmatan panca indra, tapi aku kok malah
terperosok pada keinginan baru, yaitu keinginan ingin lepas dari ingin,
bukannya aku malah lepas, tapi malah tambah saja keinginanku, yang
membuatku makin terkhijab dengan Alloh.
“we ladalah, aku kok malah mumet to mendengar penuturanmu?” kata pak fadhol, mengerutkan kening, dan tangannya memegangi kepala.
“saya aja yang mengucapkan mumet, apalagi
sampean..” kataku, dan kami tertawa berdua. Kira-kira saat itu jam 1
dini hari, tiba-tiba pak Fadhol mengajakku ke kebun jagung belakang
rumah, ku kira mau membakar jagung. Sementara bulan di langit terang
mengapung di angkasa. Ini tanggal 19, sehingga bulan masih penuh. Sampai
di kebun, tiba-tiba pak Fadhol menghentakkan kaki dan tubuhnya meloncat
seperti belalang, melenting ke pucuk pohon jagung, ringan seperti
kapas, kemudian berlarian di pucuk-pucuk pohon jagung, lalu kembali ke
depanku.
“apa ilmu begini ini yang kamu cari
ngger?” kata pak Fadhol masih berdiri di pucuk pohon jagung, dan daun
itu cuma bergoyang sedikit.
Aliran di pusarku mengalir deras,
mengalir cepat ke seluruh urat di tubuhku, sehingga seketika tubuhku
terasa enteng. Tapi aku cepat-cepat minta perlindungan pada Alloh, dan
minta di sembunyikan siapa aku, di jauhkan dari pamer dan takabur.
“ah ndak butuh ilmu seperti itu aku pak Fadhol.” jawabku.
“lho memangnya kenapa? Semua pemuda
menginginkan ilmu seperti ini.., kok kamu enggak?” kata pak Fadhol
sambil melayang ringan ke sampingku.
“punya ilmu kayak gitu juga buat apa
kalau hidup susah, hati nggrengseng, yang ku inginkan ketenangan batin,
sehingga saat aku beribadah pada Alloh pikiran dan batinku tak
kemana-mana.”
“weh kamu ini cita-citanya sebenarnya
sepele, tapi setelah ku pikir kok teramat tinggi, dan di atas
kewajaran.” kata pak Fadhol sambil melangkah memetiki jagung muda.
“sebenernya itu keinginan wajar, seperti keinginan orang pada umumnya, tapi…”
“tapi apa ngger?” tanya pak Fadhol,
tangannya tak henti mengupas jagung, dan membersihkan, lalu menyalakan
api pada tempat pembakaran, yang sepertinya sudah biasa di pakai, aku
pun dengan cekatan membantu meletakkan jagung di api yang mulai
membesar.
“ya tapi mewujudkannya dalam nyata yang susah, apa itu cuma ada di batin?”
“aku sendiri tak tau ngger, dulu aku juga
sering lelaku sepertimu, tapi yang ku cari ilmu kanuragan, aji
kesentikan. eh besok ayo ke tempatnya H. Ibrahim.”
“mau apa pak?, apa dia juga kenalan ayahku?”
“weh bukan kenalan lagi, sudah seperti saudara malah, dia pernah ngomong mau njodohkan putri satu-satunya denganmu…”
Ah kenapa lagi-lagi soal jodoh… apa memang aku sudah saatnya menikah?
“kenapa?” kata pak Fadhol melihatku melamun.
“ah tak papa kok pak…”
“kamu ragu ama anaknya pak Ibrahim?, ee..
kalau nanti sudah melihat orangnya kamu pasti bilang he-eh, orangnya
cantik, pinter, jebolan nggontor, mau apa lagi, kekayaan ada.”
“ya nantilah pak.” kataku supaya Pak
Fadhol tak cerita terlalu banyak. Malam itu, setelah sholat magrib, aku
di ajak pak Fadhol ke tempatnya pak Ibrahim, naik motor honda cdi,
rumahnya tak terlampau jauh cuma 2 km. Sampai di rumah pak Ibrahim,
hampir isyak, pekarangan rumahnya luas, berpagar besi, dan bertutup
viber, halamannya luas, aneka pohon dan bunga tertata rapi, sebagian
halaman tertutub batako, dan sebagian tertutup rumput jepang di antara
beraneka tanaman bunga. Bangunan rumah mewah dan berkelas, dengan tiang
besar-besar dan bundar. Rumah bercat kuning gading, dan lantai dari
marmer. Dari situ aja udah membuatku grogi, bukan karena aku yang
miskin, aku hanya berpikir jika anak pak Ibrahim jadi istriku, tentu
mahal biayanya merawat anak orang kaya.
Tapi ya udahlah, tapi aku benar-benar
berdoa, moga-moga, dia bukan jodohku. Kami mengucap salam, dan pak
Ibrohim keluar, menyambut, orangnya perawakannya tinggi besar dan gagah,
umurnya mungkin 50 tahun, tak kelihatan tua, juga ibu Aminah, istri Pak
Ibrohim keluar menyambut, orangnya cantik, berkerudung lapis dua, aku
jadi berpikir ah kalau ibunya aja secantik itu apalagi anaknya. Kami di
persilahkan duduk,
“wah ada angin apa ini, kok kang Fadhol
dolan kemari, padahal sudah lama kami sekeluarga ingin ketemu.” kata pak
Ibrohim dengan suara berat.
“pertama, ya biasa pengen silaturrahmi,
dan kedua… Ini, ngajak putranya pak Mustofa main ke mari.” kata pak
Fadhol tanpa banyak basa basi.
“anaknya pak Mustofa Tuban maksudmu kang?”
“la iya, pak mus yang mana lagi?”
“ini…” tangan pak Ibrohim menunjukku.
“iya pak…” kataku agak grogi.
“weh sudah sebesar ini..?” kata pak Ibrohim, entah untuk basa basi atau apa, aku tak tau.
Aku pun di tanya sama pak Ibrohim, seperti polisi mengintrograsi penjahat, tak satupun pertanyaan terlewat, seakan aku ini benar akan jadi menantunya, sampai ibu Aminah keluar dengan seorang pembantu membawakan makanan dan minuman,
Aku pun di tanya sama pak Ibrohim, seperti polisi mengintrograsi penjahat, tak satupun pertanyaan terlewat, seakan aku ini benar akan jadi menantunya, sampai ibu Aminah keluar dengan seorang pembantu membawakan makanan dan minuman,
“ini lo bu, anaknya pak Mus…” kata pak Ibrohim di tujukan pada istrinya.
“weh kok bisa kebetulan… Apa sudah di kasih tau?” kata bu Aminah.
“ya sudah to bu…” kata pak Ibrahim.
“la kalau sudah, tunggu apa lagi?, mbok
yang tua pada ke dalam biar yang muda berkenalan.” tambah bu Aminah,
membuatku makin kikuk aja.
“laya…!, kesini…” bu Aminah memanggil.
Dari dalam terdengar sahutan, dan keluarlah gadis jangkung, berjilbab
hitam dengan motif bunga, pakaiannya berwarna ping juga dengan motif
bunga, di pergelangan tangannya berhias hitam putih renda.
“ayo-ayo yang tua ke dalam, mari pak
Fadhol, nak iyan, disini aja ya, Laya sana nak iyan di temani ngobrol.”
kata bu Aminah. Laya panggilan dari nama lengkap Ulfa nurul layali.
Gadis itu duduk di kursi depanku, banyu
minyak wangi lembut segera menerobos hidungku, ku pandang sekilas
wajahnya rupanya dia juga melirikku, mata yang bening seperti embun,
alis mata yang tebal, pipi kemerahan, hidung yang mancung kecil, bibir
nan merah dengan lipstik tipis, dagu yang lancip. Dia duduk menunduk,
kulihat tangannya putih, terkulai di pangkuan, jari jemari lentik saling
bertautan, ah denganku teramat jauh, tentu saat itu aku betapa hitam,
karena berhari-hari berjalan di terik matahari, sempat mandi juga waktu
di rumah pak Fadhol, tentu wajahku berminyak, sepeti wajan dan
penggorengan. Ah sudahlah dia tak mau denganku juga Alkhamdulillah apa
yang musti di kawatirkan. Aku juga tak ingin kelihatan gagah di muka
dia. Perduli amat, batinku, memompa rasa percaya diri. Lama juga kami
terdiam, seperti radio yang menunggu di nyalakan.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda