“Lalu solusinya bagaimana mas…?” tanya Furqon.
“Ya solusinya, taubat, lalu kembali hidup
secara wajar, hidup secara jalan yang di ridhoi Alloh, kalau mau di
ijabah do’anya ya mendekatkan diri pada Alloh, jangan malah melanggar
dan meninggalkan-Nya, percayalah segala amalan yang tidak islam itu
merugikan diri kita sendiri.” jelasku.
“Saya ingin tanya mas…” tanya Zamrozi, temannya Furqon.
“Tanya apa?”
“Tanya soal mengirim fatekhah, dan orang
sering tawasul, apa itu ndak sama dengan apa yang di lakukan Furqon,
meminta pada jin, cuma bedanya itu orang yang sudah mati?” tanya
Zamrozi.
“Itu sama sekali beda. Ku contohkan saja,
kita ini mau pergi ke masjid, menjalankan sholat jum’at, kita naik
motor untuk sampai ke masjid, memakai sandal, memakai peci, memakai
pakaian, juga memakai pengetahuan atau ilmu bagaimana cara sholat yang
benar. Tak bisa kan sandal lengkap, pakaian lengkap, peci ada, tapi pas
mau sholat kita yang nghadap ke timur sendiri, sementara orang lain
menghadap ke barat, karena kita tak tau kalau sholat itu menghadap ke
barat, karena ilmu cara sholat itu tak sampai ke kita, karena tak adanya
yang menyampaikan ke kita, ini bisa di benarkan tidak, misal kita
menghadap ke timur, jelas malah adu kepala dengan orang lain, ya nggak?”
“Iya, tak benar. Lalu apa hubungannya dengan kirim fatekhah,”
“Ya sebentar ku jelaskan pelan-pelan.”
kataku. “Kita pergi ke masjid naik motor itu kira-kira motornya bayar
tidak sama pabriknya, kita bayar gak sama dealernya? Tentu bayar kan,
artinya kita tidak lantas minta motor lalu di kasih begitu saja….”
“Iya kita bayar..” jawab Zamrozi.
“Juga kita pakai pakaian, kita bayar kan sama pabrik pakaian atau penjual pakaian?” tanyaku.
“Iya kita bayar.”
“Juga kita pakai sarung kita membayar
pada penjual sarung, juga pada pabriknya, juga kita memakai sendal, kita
bayar pada penjual sandal dan pabriknya, membayar pabriknya itu
langsung atau tidak langsung, itu kita bayar, apalagi ilmu yang kita
peroleh. Ilmu cara jum’atan yang benar, yang sebenarnya adalah pokok
dari tujuan orang pergi ke masjid di hari jum’at, kenapa ku katakan
pokok, ya coba aja di tes, tanya orang yang pergi ke masjid di hari
jum’at itu mau pergi kemana? Pasti semua akan menjawab mau pergi sholat
jum’at, bukan mau memakai pakaian, atau sandal, atau sarung, berarti
pergi ke sholat jum’at itu adalah pekerjaan pokok, sedang pakaian dan
segala apa yang di pakai, cuma pendukung.
La yang jadi pendukung saja bayar, apalagi yang pokoknya, kita sholat
jum’at juga tanpa ilmu yang kita tahu tentang sholat jum’at kan jadinya
berabe, sholatnya bisa ada yang ngadep ke timur ada yang ngadep ke
barat, utara, selatan. Nah, ilmu itu bisa sampai ke kita adalah melewati
guru yang menyampaikan kebenaran dengan sebenar-benarnya, islam sampai
ke kita itu sampai dengan sebenar-benarnya sama dengan apa yang di
sampaikan Rosululloh, itu karena kejujuran dan kesadhiqan guru kita.
Coba kalau gurunya pada pembohong, lalu ngawur menyampaikan ilmu, apa di
dalam masjid akan ramai terjadi tawuran, karena kiblatnya beda, dan
shalatnya juga beda-beda, jadinya shalat pakai cara masing-masing sesuai
ilmu yang di terima, apa ndak jadi ramai, karena yang gurunya suka
dangdutan, sholatnya isinya jadi jogetan melulu, dan kenyataannya,
sholatnya orang semasjid semua sama, menunjukkan kalau yang menyampaikan
ilmu ke kita itu semua bertanggung jawab, dan ilmu sampai ke kita itu
masih sama dengan ilmu yang di sampaikan Nabi, apa kita tidak
berterimakasih?
Man lamyaskurinnasa, fahua lam uaskurilloh, siapa tidak bersyukur pada
manusia, maka berarti tidak bersyukur pada Alloh, la kita itu kalau sama
penjual pakaian, sepatu, sarung, peci, bayar pakai uang, maka sama
penyampai ilmu pada kita yang sudah meninggal kita syukurnya pakai apa?
Mau di kasih uang, mereka sudah meninggal, mau di kasih roti, mereka
sudah tak doyan roti, maka di kirimi fatekhah, pahalanya kita kirim ke
mereka, sebagai rasa terima kasih kepada mereka, jadi kita bukan meminta
pada mereka, agar kita bagaimana atau bagaimana.
Kenyataannya kita terima atau tidak kita terima, ilmu kita itu lewat
Nabi SAW, dan lewat para guru kita, kalau di jawa ya lewat wali songo,
kalau di tempat lain ya lewat ulama’ lain, itu kan kenyataan, maka di
namakan wasilah, wasilah itu kan bahasa arab, namanya lantaran, sebab
lantaran Nabi, ilmu, ayat Qur’an itu sampai kepada kita, makanya di
katakan kalau seseorang itu seandainya tak mau mengakui Nabi dan semua
guru kita kalau ilmu itu sampai ke kita karena mereka, jika seandainya
orang itu berhak masuk surga sekalipun, maka dia tak akan tau jalannya,
atau sekalipun dia itu fasih dalam melafadzkan do’a, maka do’anya tak
akan sampai ke Alloh, artinya do’anya akan tertolak.”
“Ternyata seperti itu ya? Jadi bukan kita meminta pada mereka?” tanya Zamrozi
“Tidak sama sekali, malah kita yang
mendo’akan mereka, ya kayak baca sholawah, Allohumma sholli ala
muhammad, semoga rahmat selalu tercurah pada Nabi Muhammad, kata semoga
itu kan do’a, jadi jangan sampai di bolak balik makna dan maksudnya.”
“ya…. Sekarang baru mengerti aku.”
“Lalu saya bagaimana kyai?” tanya Furqon.
“ya nanti ikut saja dzikir aktif di
toreqoh, sudah tak usah ikut aliran yang tak jelas, wong dalam thoreqoh
itu lengkap, mau kaya, banyak harta, ya minta saja sama Alloh, la Alloh
kan lebih kaya daripada jin manapun.”
Kedua orang itupun pulang, dengan semangat baru.
Esoknya istriku cerita, “bah kemaren
orang yang minta air, untuk kakek yang sakit dan menjerit-jerit itu,
kakeknya sekarang meninggal dunia.”
“Innalillahi wainna ilaihi rojiuun, semoga Alloh mengampuni dosanya, dan menerima amal ibadahnya.”
“Kemarin katanya habis di kasih minum,
langsung diam, diam saja, tak mengaduh-aduh lagi, baru kemudian malamnya
meninggal.” jelas Husna.
-
Sore-sore Nanang sudah datang ke rumah, dengan wajah yang kelihatannya ada masalah.
“Ada apa?” tanyaku.
“Saudaraku kena santet, perutnya mengeras.” jawabnya.
“Ya sudah bawa kesini aja, sekarang di mana?”
“Di rumah, ku bawa kesini ya…”
“Ya bawa kesini.” jawabku.
Lalu Nanang pulang, aku duduk di teras
rumah menunggu Nanang mengambil saudaranya, dua orang berboncengan
sepeda motor datang dan berhenti tepat di depan rumahku.
“Maaf mas, mau nyari rumah kyai Nur,…?” tanya yang bonceng padaku.
“Ya kalau Nur ya aku ini, tapi bukan kyai…” jawabku.
“Tapi orang yang nyuruh kesini, bilangnya kyai Nur…”
“Mungkin orang lain…” kataku. “Soalnya aku bukan kyai.”
Pas ada orang belakang rumah lewat, seorang tukang kayu.
“Pak… numpang tanya, tau rumahnya kyai Nur tidak?” tanya yang boncengkan kepada orang yang lewat itu.
“La yang sampean ajak bicara itu kyai Nur…”jawab tukang kayu.
“ooo makasih pak…” kata yang boncengin motor.
“Maaf mas, kami agak ragu, soalnya mas
ini masih muda, la masak punya kebisaan yang macam-macam, menurut yang
menyarankan kami kesini.” kata yang di bonceng motor yang lebih tua
umurnya.
“Mari silahkan duduk di sini, ada keperluan apa sebenarnya?” tanyaku mempersilahkan mereka berdua duduk di teras rumah.
“Anu mas saudara kami kerasukan, dan tadi
kami ada yang bilangi, kami di minta ke sini untuk meminta air.” jelas
yang lebih muda.
“ooo gitu, ya kalau gitu tunggu sebentar.” kataku lalu masuk ke dalam, dan mengambl air aqua.
“Namanya siapa?” tanyaku.
“Romdona mas…,”
“Bin siapa?”
“Bin Mujaid.”
Air lalu ku tiup, lalu ku memberikan air aqua yang selesai ku tiup kepada mereka berdua.
“Nanti air ini di minumkan saja yang kerasukan, dan di usapkan ke wajahnya.” jelasku.
“Ya kalau begitu terimakasih mas, sekalian kami pamit dulu.”
“Monggo-mongo silahkan.” kataku.
Pas Nanang datang membawa saudara
perempuannya yang kena santet, kelihatannya sih sehat-sehat saja, tak
kelihatan sama sekali kalau ada penyakit di badannya.
“Ayo ke dalam saja.” kataku karena tak enak dengan perempuan di depan teras rumah.
“Sakitnya bagaimana mbak?” tanyaku kepada kakak perempuannya Nanang.
“Awalnya sakit biasa saja mas, aku juga
ndak ngira kalau aku akan di santet, ini di perutku, kayak ada lempengan
besi, keras dan kayak papan, dan rasanya sakit sekali, sebenarnya sudah
di obatkan kemana-mana, malah pernah di keluarkan ada beling, silet dan
jarum, tapi kok ya ndak sembuh.” jelas Hadijah, nama kakak perempuan
Nanang.
“Walah kalau aku ya ndak bisa
mengeluarkan yang kayak gitu mbak… yang bisa mengeluarkan kayak gitu
yang punya ilmu, la saya ini orang bodo, ndak punya kelebihan yang
aneh-aneh, bisanya berdo’a.” kataku. “Maaf coba ku do’akan ya… ini masih
sakit perutnya?”
“Masih mas, sakit sekali…”
“Maaf …” ku arahkan tanganku ke perut Hadijah jarak 10 cm, lalu aku mulai berdo’a, setelah 3 menit berlalu,
“Sekarang coba di pakai nafas pakai perut, masih sakit apa tidak..?”
Hadijah pun bernafas pakai perutnya.
“Masih sakit?” tanyaku.
Dia menggeleng, “Sudah tak ada rasa sakit mas.”
“Coba di raba perutnya, masih kerasa ada lempengannya apa tidak?”
Dia pun meraba perutnya, dan menekuk nekuk badannya.
“Alhamdulillah sudah hilang mas,” jawab Hadijah dengan wajah senang.
Aku lalu ke dalam, mengambil air putih
dan ku bawa ke depan Hadijah, ini nanti air putih ini di pakai mandi di
guyuran terakhir, orang di santet itu kalau di obati sembuh, ya kalau
ndak di pager pasti di santet lagi ya kena, makanya ini nanti di pakai
mandi, insaAlloh akan menjadi pagar.” jelasku.
“Iya mas terima kasih…” jawab Hadijah.
Nanang mendekat,
“Ada apa Nang…?” tanyaku.
“Kemarin di tempat sekolahku, ada
kerasukan lagi, yang merasuk jin islam, malah di bacakan yasin, dan ayar
kursi jinnya ndak mau keluar, aku pas keluar sekolah, sedang
menjalankan tugas di luar sekolah, lalu di panggil kembali ke kelas, dan
akhirnya aku yang bisa mengeluarkan jinnya..” jekas Nanang.
“Ya sudah, itu sudah baik” kataku.
“Masalahnya bukan itu, masalahnya ada
guru yang tak suka, dia sebelumnya sudah cerita ke orang-orang, kalau
dia itu punya ilmu kesaktian macam-macam, nah pada saat aku ndak ada kan
dia ikut mencoba mengeluarkan jinnya, sudah di sembur pakai air, sudah
di pencet jarinya yang kerasukan, di banting, di apa-apakan tapi jinnya
tak keluar juga, makanya dia malu, ya karena malu itu, saat aku bisa
mengeluarkan jinnya, ee malah dia menuduhku bahwa yang merasuk itu jin
milikku, makanya hanya aku yang bisa mengeluarkan, sebab sudah di seting
seperti itu, akhirnya aku kan ndak terima di tuduh seperti itu apalagi
di depan orang banyak, kami jadi rame, dia nantang-nantang, malah bilang
siapa nanti yang lebih dulu masuk surga, la kok ya aneh, yang mati
duluan juga belum tentu masuk surga duluan… kok dia nantang-nantang
kayak gitu kami sampai debat lama.”
“Kamu juga salah, ndak usah debat-debat
segala, ndak usah banyak bicara yang ndak ada manfaatnya, segala sesuatu
itu kan yang penting buktinya, kenyataannya, ya kalau bicara, anak SD
juga bisa, harusnya kamu tinggal saja ndak usah di layani.”
“La wong saya kan panas, di tuduh tanpa bukti, di fitnah,”
“Ya kalau begitu kamu musti lebih giat
lagi menata hatimu, kalau masih keseret pada hal-hal yang sia-sia, pada
hal yang tak ada manfaatnya sama sekali, tong itu kalau kosong kan ya
keras bunyinya.”
“Ya saya juga kan punya gengsi, martabat.”
“Gengsi dan martabat yang bagaimana?”
“Gini lo Nang, manusia itu meyakinkan
dirinya melalui dua cara, pertama dengan akal dan keduanya dengan hati.
Bidang akal ialah ilmu dan liputan ilmu sangat luas, bermula dari pokok
kepada dahan-dahan dan seterusnya kepada ranting-ranting. Setiap ranting
ada ujungnya, yaitu penilaian, pemahaman, dan pengertian. Ilmu itu
secara mendasar selalu sama pada perkara pokok, bertolak ansur pada
cabangnya dan berselisih pada rantingnya atau penyelesaiannya. Jawaban
kepada sesuatu masalah selalunya berubah-ubah menurut pendapat baru yang
ditemui. Apa yang dianggap benar pada mulanya bisa jadi salah pada
akhirnya. Oleh sebab sifat ilmu yang demikian orang awam yang
berlarut-larut memperdebatkan pada sesuatu perkara bisa jadi mengalami
kekeliruan karena mengalami kekacauan fikiran dan keterbatasan pemahaman
pada dirinya, di dunia ini kan banyak juga orang yang idiot, atau lemah
akalnya. Salah satu perkara yang mudah mengganggu fikiran misal saja
masalah takdir atau Qadak dan Qadar. Jika persoalan ini diperbahaskan
hingga kepada yang halus-halus seseorang akan menemui kebuntuan kerana
ilmu tidak mampu mengadakan jawaban yang konkrit. Qadak dan Qadar
diimani dengan hati. Tugas ilmu ialah membuktikan kebenaran apa yang
diimani. Jika ilmu bertindak menggoyangkan keimanan maka ilmu itu harus
disekat dan hati dibawa kepada tunduk dengan iman akal pikiran di tutup
dari membuat penilaian sendiri. Sehingga tercipta membimbing ke arah itu
agar iman tidak dicampur dengan keraguan sebab tiada tercampuri oleh
pendapat akal yang pada kenyataannya selalu terbatas, makanya banyak
orang yang mengatakan, ah tak masuk akal, sekalipun tak masuk akal kan
kenyataanya terjadi, seperti saudara perempuanmu ini yang kena santet
sekalipun akal tak mau menerima, kan kenyataannya sudah terjadi di depan
mata, lalu aku mendo’akannya, juga kan tak masuk akal, jadi segala
sesuatu itu tak harus masuk akal dulu baru terjadi. Dan selama manusia
bersikukuh pada akalnya sendiri, maka dia hanya muter-muter pada
hitung-hitungan yang kenyatannya sering meleset dari perkiraan, mau ke
Jakarta, sudah di sediakan uang sekian rupiah, eee di jalan ternyata tak
cukup, karena ada kejadian-kejadian yang di luar perhitungan akal. Dan
apapun yang tak kita ketahui itu di namakan gaib, juga hari esok yang
belum kita ketahui itu di namakan gaib.
Selama nafsu dan akal menjadi hijab, beriman kepada perkara ghaib dan
menyerah diri secara menyeluruh tidak akan dicapai. Qadak dan Qadar
termasuk dalam perkara ghaib. Perkara ghaib disaksikan dengan mata hati
atau basirah. Mata hati tidak dapat memandang jika hati dibungkus oleh
hijab nafsu. Nafsu adalah kegelapan, bukan kegelapan yang zahir tetapi
kegelapan dalam keghaiban. Kegelapan nafsu itu menghijab dan menutupi
sedangkan mata hati memerlukan cahaya ghaib untuk melihat perkara ghaib.
Cahaya ghaib yang menerangi alam ghaib adalah cahaya roh kerana roh
adalah urusan Allah s.w.t. Cahaya atau nur hanya bersinar apabila
sesuatu itu ada perkaitan dengan Allah s.w.t.”
“Jadi egomu, rasamu merasa di sakiti dan
merasa di fitnah, itu hanya akan menutupi batinmu dari keterbukaan,
bathinmu jadi tak terbuka, dan tidak mau menerima, kalau segala sesuatu
itu sebenarnya telah dalam perancangan Alloh, nur Alloh yang melintasi
hatimu tak akan meninggalkan jejak pemahaman jika hatimu masih di liputi
rasa benci dendam, dan sibuk dengan itung-itungan, coba kau
angan-angan, jika kamu di tuduh ini-itu, yang tak kamu lakukan, kamu
kemudian terseret oleh tuduhan itu, bukankah itu akan merugikan dirimu,
seperti orang yang punya tanah, lalu di lempari kotoran orang lain, lalu
balas melempar kotoran itu kembali pada orang yang melempar, ada yang
bayar sekalipun menurutku itu bukan sesuatu yang pantas di lakukan,
karena hanya akan membuang waktumu sia-sia, juga kerugian terbesar, hati
akan di penuhi limbah kebencian, yang jelas-jelas akan membuatmu tak
tahan dengan keadaan itu, misalkan kamu bertemu dengan orang yang kamu
benci itu, segala gerak gerikmu akan tak bebas, percayalah, kalau kamu
masih mempertahankan keadaan seperti itu, sepuluh tahun kemudian kamu
tak akan makin dekat dengan Alloh, hanya akan menjadikanmu makin jauh
saja, biarlah orang lain itu mengumbar kebenciannya, kalau bisa kita itu
menebar kasih sayang, agar kedamaian di dalam diri itu terpupuk,
ketenangan dan ridho pada keadaan akan menjadikan diri tenang dalam
setiap langkah, sekalipun di sekitar kita banyak orang yang melakukan
perbuatan tercela, setiap manusia itu menjalani takdirnya sendiri, jika
di burukkan orang di fitnah, bisa jadi itu jalan Alloh mengurangi dosa
kita yang menggunung.”
“Iya mas…. saya mohon selalu di bimbing.”
“Sudah sana bawa kakakmu pulang….” kataku dan Nanang dan Hadijah pun mohon diri.
Pagi-pagi, orang yang kemarin datang minta air untuk mengobati yang kerasukan sudah datang.
“Bagaimana, sudah sembuh?” tanyaku.
“Belum mas, malah airnya tak ada efeknya sama sekali.” jawabnya.
“Lhoh kok aneh…?” kataku heran.
“Ya ndak tau mas…” jawab mereka berdua.
“ooo ini yang saudaranya kerasukan di
pabrik, la sudah mengandung masih kerasukan, jadi ngeri.” kata Kang Din
yang kebetulan lewat.
“Lhoh memangnya yang kerasukan perempuan? La kok ndak bilang kalau perempuan, ku tanya bin nya siap jawab saja,”
“Iya perempuan, malah mengandung..” jawab Kang Din
“Oalah, gimana to, ya jelas ndak ngefek,
la wong airnya ku do’akan untuk mengobati lelaki yang bernaa Romdona,
wah khodamnya bingung itu pasti ubek-ubekan mencari mana lelaki yang
bernama Romdona.”
“Lha saya ndak tau mas, kalau seperti itu ada bedanya,” kata salah seorang yang meminta air.
“Ya jelas beda, kan lelaki sudah jelas
beda sama perempuan, bodi tubuhnya saja kelihatan kalau tak sama, udah
nanti ku kasih air lagi, kalau minta obat itu yang jelas, jadi ndak
kesalahan.”
“Ya maaf mas…”
Maka ku kasihkan air isian lagi, dan di bawa pulang, dan Alhamdulillah, langsung sembuh ketika di kasih air.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda